Berkat kepemimpinan KH Hasyim Asy’ari, NU menjadi gerakan keagamaan yang paling ber- pengaruh terutama di Jawa dan beberapa daerah di Indonesia Timur. Kiai ini pula yang berhasil membendung gagasan-gagasan “modern” yang dikembangkan Kiai Ahmad Dahlan dan Syekh Soorkati tidak sampai ke pedesaan.
Ketika mendirikan NU pada 1926, KH Hasyim Asy’ari mungkin tidak pernah menyangka bahwa di penghujung tahun abad ke-20 organisasi itu bakal menguasai negara di bawah kepemimpinan cucunya, Presiden KH Abdurrahman Wahid. Orang menyebut sekarang era NU, era santri, era wong cilik. (Meski kurang tepat karena sebetulnya NU hanya menguasai cabang eksekutif. Kabinet pun terbagi secara merata). Sekarang, NU juga punya orang nomor dua di republik ini: Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin. Ia meneruskan kiprah wapres sebelumnya, M. Jusuf Kalla, yang juga orang NU meskipun tidak menempati posisi struktural di organisasi ini.
Jangankan punya ancang-ancang seperti itu, bahkan NU konon didirikan hanya untuk mendukung perutusan Komite Hijaz (karena kalau tak mengatas-namakan organisasi, komite itu dianggap kurang berwibawa). Komite Hijaz adalah misi ke Arab Saudi guna meminta kepada Raja Ibnu Saud agar tidak membatasi kaum muslimin dalam melaksanakan ajaran mazhabnya.
Atau, paling banter, organisasi itu untuk membendung pemikiran-pemikiran yang hendak mengenyahkan cara bermazhab yang dijalankan kaum muslimin di persada Nusantara. Ternyata, di bawah kepemimpinannya, NU berhasil mengembangkan sayap sehingga mengakar dalam masyarakat, terutama di Jawa dan beberapa bagian lainnya di Indonesia Timur. Sekarang, warga NU diperkirakan mencapai 30 juta orang. Kekuatan ini sudah ditunjukkan, baik pada pemilu 1955 (NU urutan ketiga), 1971 (urutan kedua setelah Golkar) dan pemilu lalu (PKB, yang didirikan NU, menempati urutan ketiga dari segi perolehan suara).
Dari situ saja sudah terlihat bagaimana sosok KH Hasyim Asy’ari sebagai salah satu dari dua tokoh Islam yang paling berpenga- ruh sepanjang abad ini. NU yang didirikan oleh para kiai, dengan bentuk awal dan niat yang begitu sederhana, dalam perjalanannya berhasil mewarnai perjalanan bangsa ini.
Timbul persoalan, bukankah ide pendirian organisasi yang menghimpun para ulama datangnya dari KH Wahab Hasbullah?
Bukankah kiai ini pula yang jadi utusan ke Mekah, dan dia pula yang menyampaikan hasil misinya di masjid-masjid, dihadiri ribuan orang? Bukankah kiai ini pula yang mendorong Kiai Hasyim agar memelopori pembentukan wadah para ulama? Artinya, kalau kebesaran NU dipakai sebagai barometer untuk mengukur kadar pengaruh, mestinya Kiai Wahablah yang berhak ditokohkan di sini.
KH Wahab Hasbullah memang sangat berperan (mungkin paling berperan) dalam pendirian NU. Tapi kalau dia memilih Kiai Hasyim Asy’ari untuk menarik gerbong-gerbong para ulama bukan tanpa alasan. Dan alasan itu bukan sekadar karena kedekatan hubungan seorang murid dan kiainya, melainkan ketokohan Kiai Hasyim yang sudah dikenal oleh para kiai, khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Berkat figur ini- lah sehingga para kiai itu dan para pengikut mereka mau mendukung pendirian organisasi baru ini. Para ulama itu juga kemudian sepakat untuk mempercayakan organisasi yang baru terbentuk kepada Kiai Hasyim — seorang kiai yang luar biasa, yang oleh para kiai di seluruh Jawa digelari Hadhratusy Syekh (Tuan Guru Besar).
Pengakuan akan ketokohannya juga diberikan kalangan di luar NU. Itulah sebabnya, kaum modernis dan tradisionalis sepakat untuk memilihnya sebagai ketua ketika mereka membentuk konfederasi Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI).
Biasanya, masa paling kritis yang harus dijalani organisasi apa pun adalah masa-masa awal pertumbuhannya. Inilah masa-masa yang menentukan apakah suatu organisasi bakal menjadi besar, tetap kecil atau malah mati. Jangan dikira tentangan terhadap kelahiran NU ini tidak ada. Bukan hanya dari luar, tapi juga dari dalam komunitas basis massa tradisional NU. Antara lain, kala itu masih berkembang anggapan, di kalangan banyak kiai, organisasi itu tak perlu. Ternyata, Kiai Hasyim berhasil melewati masa-masa ini. Ia berhasil meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi pembentukan organisasi yang besar. Bahkan, kiai kelahiran 14 Februari 1871 ini sempat melihat kebesaran organisasi yang dipimpinnya sebelum tutup usia pada 1947.
Masa-masa awal abad 1920-an adalah masa-masa berkembangnya pemikiran- pemikiran Islam modern. Pemikiran yang dibawa oleh KH Ahmad Dahlan (Muham- madiyah), Syekh Soorkati (Al-Irsyad) dan A. Hassan (Persis) serta tokoh-tokoh lainnya. Pemikiran-pemikiran ini menyebar cukup pesat di kalangan kaum muslimin. NU di bawah Kiai Hasyim berhasil membendung pengaruh ini, terutama di desa-desa. “Sejak pembentukannya, Nahdhatul Ulama menjadi penghadang bagi penyebaran pikiran-pikiran İslam modern ke desa-desa di Jawa,” tulis Zamakhsyari Dhofier. “Dan sejak tahun 20- an tersebut tercapai suatu status-quo di mana kaum modern memusatkan misinya di lingkungan perkotaan, sedangkan NU cukup puas menarik pengikutnya terutama mereka dari daerah pedesaan.”
Akhirnya, Kiai Hasyim adalah peletak dasar doktrin yang kini dikembangkan NU. Antara lain lewat pokok-pokok pikirannya yang disampaikan pada Muktamar 1930, dan kemudian dikenal sebagai Qaanun Asaasi Jam’iah NU alias Undang-Undang Dasar Jam’iah NU. Kiai Hasyim-lah, selaku rais akbar, yang telah berhasil menyatukan para ulama tradisional untuk berhimpun dalam wadah organisasi. Jangan dikira bahwa di antara mereka tidak pernah muncul perbedaan. Tapi semua perbedaan itu berhasil dia kelola, berhasil dia redam, sehingga tidak sempat memunculkan organisasi sejenis yang jadi tandingan di daerah basis NU.
Sumber: Panji masyarakat No 40 tahun III Edisi Khusus tahun 2000, dengan tambahan informasi yang relevan.