Bintang Zaman Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro (2): Peran Edukatif Sang Nenek

Avatar photo
Written by Iqbal Setyarso

Di antara sejumlah elan kewiraan Diponegoro, tak cukup bekalan dari orangtuanya. Secara historis, elan itu dieksplorasi dari trah yang diwariskan justru dari nenenda Diponegoro, guratan edukasi dari sang nenek, Niken Ayu Yuwati (1735-1803 M) banyak memiliki impak bagi kepribadian Diponegoro.


Adalah Peter Carey, sejarawan Inggris kelahiran Myanmar, yang menekuni studi tentang Diponegoro (selain menulis tentang Timor Timur dan Birma/Myanmar), yang mengungkapkan pandangannya tentang relasi nenek Diponegoro dengan pangeran Jawa itu. Pandangan sosial itu berakar pada keyakinan agamis mendalam dan hubungan yang luas dengan masyarakat santri di Jawa Tengah Selatan. Hubungan yang tidak umum bagi Pangeran yang berasal dari kalangan Keraton. Hubungan sosial dan keyakinan agamis ini yang akan membentuk gaya kepemimpinan Diponegoro selama Perang Jawa (1825-1830 M) dan terhadap karisma atau sifat kepahlawanan dirinya (Carey, 2012).


Tentang transformasi karakter yang membekas dalam pribadi Diponegoro, diungkap pada manuskrip yang ditulis sendiri oleh Diponegoro. Dalam dua larik syair, ia menggambarkan kehidupan bersahaja nenek buyutnya. Neneknya senang berada di tengah masyarakat tani sekitar Tegalrejo, sehingga banyaknya santri yang tertarik datang ke sana. Larik syair itu berbunyi:
Kanjeng Ratu winarni/ pan tetanen remenipun/ sinambi lan ngibadah/ kinarya nawur puniki/ lampahira gen bronta marang Yang Sukma. Langkung kerta Tegalreja/ mapan kathah tiyang prapti/ sangnya angusi tehdi/ ingkang santri ngungsi ngelmu/ langkun rame ibadah/ punapa dene wong tani (Babad Diponegoro II, 1983).


Sang Nenek pernah memberikan pengaruh yang besar terhadap Pangeran secara pribadi dan sebagai sumber ilham. Pada zaman itu, kerabat perempuan secara psikologis malah lebih penting dalam membangun karakter dan pandangan sosial Pangeran, yang khusus pada masa kanak-kanak dan remaja beliau.


Sejak kecil, kaum perempuan yang memiliki sifat agamis yang kental, –membesarkan sang Pangeran. Hal ini nanti akan menyumbang sifat feminin terhadap diri sang Pangeran yang tampil tidak lumrah di kalangan masyarakat Jawa semasanya. Dalam hal ini, orang berpikir tentang kepekaan dan mata-batin yang terpantul dalam bakatnya membaca watak seseorang melalui raut mukanya.


Diponegoro selama kecilnya mengalami hidup bersama seorang perempuan tua terkemuka. Perempuan tersebut berpandangan sangat kritis terhadap perkembangan istana Kesultanan Yogyakarta di bawah kekuasaan putranya yang angin-anginan dan tidak terampil dalam memimpin.


Nenenda Diponegoro, Ratu Ageng Tegalrejo, putri seorang kiai terkemuka di daerah Sukowati (kini Kabupaten Sragen). Ratu Ageng Tegalrejo dapat kita lacak silsilah keturunannya sampai ke Sultan Bima di Sumbawa. Ratu Ageng merupakan perempuan yang sangat tangguh. Ia mendampingi Sultan Pertama Pangeran Mangkubumi dalam seluruh pertempuran melawan Belanda dalam Perang Giyanti (1746-1755 M).


Setelah Kesultanan Yogyakarta terbentuk pada 1755 M, Ratu Ageng menjadi Panglima pasukan kawal istimewa perempuan, atau semacam korps “Srikandi” kerajaan. Satu-satunya barisan pasukan militer yang membuat Marsekal Herman William Daendels terkesan ketika berkunjung ke Keraton Yogyakarta pada Juli 1809 M.


Ratu Ageng juga terkenal sebagai perempuan yang salihah. Ia suka membaca kitab-kitab agama, juga tekun merawat adat tradisional Jawa di keraton. Pengabdiannya yang kukuh terhadap tradisi adat Jawa akan terwariskan kepada cucu buyutnya. Ia kemudian mencerminkan “seorang yang segala segi merupakan seorang Jawa yang mematuhi adat-istiadat Jawa”.


Carey menulis: “Saat Diponegoro tinggal bersama nenek buyutnya ini, perempuan tua yang saat itu memasuki usia enam puluh tahun tetap sebagai perempuan yang berkemauan baja. Yang pasti sangat mengagumkan bagi seorang anak laki-laki yang berusia tujuh tahun.” (Kuasa dan Ramalan – Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, Carey, 2012)


Sifatnya yang keras tanpa kompromi dalam adat istiadat Jawa dan ajaran agama membuat Ratu Ageng bertindak seperti ibu tiri yang keras terhadap diri Sang Pangeran. Walau demikian, gambaran diri sang Nenek membuat kita menangkap –dalam Babad itu—justru mencitrakan sosok nenek yang penuh kasih sayang.


Neneknya senang berada di tengah masyarakat tani sekitar Tegalrejo, sehingga banyaknya santri yang tertarik datang ke sana. Larik syair itu berbunyi:
Kanjeng Ratu winarni/ pan tetanen remenipun/ sinambi lan ngibadah/ kinarya nawur puniki/ lampahira gen bronta marang Yang Sukma. Langkung kerta Tegalreja/ mapan kathah tiyang prapti/ sangnya angusi tehdi/ ingkang santri ngungsi ngelmu/ langkun rame ibadah/ punapa dene wong tani (Kami Perikan Ratu Ageng/ betapa ia senang bertani/ bersama dengan tugas rohani/ ia kerjakan tanpa pamrih/ di jalan cintanya pada Hyang Sukma. Tegalrejo jadi sangat bersahaja/ karena banyak orang datang/ semua mencari makan/ sedang santri mencari ilmu/ di sana banyak amal dan doa/ terlebih pada petaninya (Babad Diponegoro II, 1983).


Dua larik syair ini menceritakan bagaimana Ratu Ageng sebagai perempuan yang penuh kharisma. Ia bisa mengantarkan Tegalrejo menjadi desa yang makmur dan bersahaja. Banyak orang datang ke sana untuk bertani dan mencari ilmu, khususnya bagi para santri.


Dengan suasana desa seperti ini, Diponegoro terdidik di suasana yang sangat jauh berbeda dengan suasana di keraton. Kebersahajaan desa yang melekat di Tegalrejo akhir abad XVIII mengajarkannya sejak kanak-kanak untuk bergaul akrab dengan lapisan masyarakat Jawa. Ia menjalani hidupnya dengan santai tanpa merasa diri paling tinggi.


Cara penataan Ratu Ageng yang cermat dan kerelaannya dalam berniaga juga telah memberi kesan yang mendalam dalam diri sang Pangeran. Kita ketahui, Diponegoro dengan pangeran lainnya, dalam soal penghasilan dalam bidang pertanian, tidak pernah sedikit pun memeras masyarakat pada saat itu.
Tidak saja demikian, Pangeran sendiri amat tekun dan ulet dalam mengelola persawahan yang ada di Tegalrejo. Tujuannya demi kekayaan pribadinya yang nanti membantu dirinya dalam membiayai pada awal-awal Perang Jawa. Ia juga sangat berhati-hati dalam masalah keuangan. Sampai-sampai Residen Belanda di Manado pada saat itu memandangnya kikir.


Dalam soal religiusitas, Ratu Ageng mendidik Diponegoro sejak kecil untuk meniru keteladanan para kiai dengan cara berziarah ke makam-makam orang suci, seperti ke Kota Gede dan Imogiri, guna mengambil hikmah dari sosok pemuka agama yang orang kunjungi. Bahkan tidak itu saja, Ratu Ageng juga mengajarkan kitab-kitab klasik pesantren dalam soal fikih dan tasawuf serta mengajarkan puji-pujian kepada Tuhan.


Dalam hal ini, Ratu Ageng merupakan perempuan utama yang mengasuh, menginspirasi, dan membentuk karakter sang Pangeran. Ia kemudian tumbuh menjadi Pangeran Diponegoro yang gagah, berani, dan kharismatik pada saat itu, terutama pada saat Perang Jawa.


Dengan menjadikan Diponegoro seperti demikian, Belanda takut dan mengalami kerugian yang begitu besar. Eksistensi Ratu Ageng pada diri sosok Diponegoro tidak bisa kita hilangkan walaupun tidak ada literatur yang khusus terkait dirinya atau gambaran visualisasi mengenai sosok Ratu Ageng.
Dari sang nenek itulah, Diponegoro mewarisi jiwa nasionalis, agamis, humanis, pemberani untuk kebenaran. Berbudaya sekaligus moralis, peduli lingkungan untuk kelestarian bumi, menciptakan kemakmuran bagi rakyat, dan mendidik muda-mudi menjadi generasi yang unggul serta anti-kolonialis. Tidak lupa pula mengajarkan kepada siapa saja bahwa manusia pada dasarnya lemah di hadapan Tuhan sebagai sang pencipta. Sehingga tidak menyombongkan diri atas: adigang, adigung, dan adiguna. (Bersambung)

About the author

Avatar photo

Iqbal Setyarso

Wartawan Panji Masyarakat (1997-2001). Ia antara lain pernah bekerja di Aksi Cepat Tanggap (ACT), Jakarta, dan kini aktif di Indonesia Care, yang juga bergerak di bidang kemanusiaan.

Tinggalkan Komentar Anda