Benar, nama Diponegoro seakan tak pernah benar-benar hilang dari perbincangan masyarakat Indonesia. Banyak sudut penceritaan dalam episode-episode kehidupan dan kiprahnya yang menstimulasi narasi tentang Diponegoro. Berikut ini salah satu eksplorasi mengenai beliau.
Sejarawan Saleh A. Djamhari mengemukakan, Diponegoro luput dari perbincangan dari sisi yang jarang dikemukakan, karena keterbatasan rujukan. Dalam satu makalahnya, dosen FIB UI ini menyatakan bahwa di kerajaan Jawa, peranan spioen sudah amat dikenal sekalipun bukan melaksanakan kontra intelijen namun untuk kepentingan kelompok (intrik). Peran spioen yang terkenal pada pertengahan abad 19 adalah berhasil dibunuhnya Sultan Hamengkubuwono IV (Desember 1822). Peristiwa ini menggemparkan masyarakat, selain mempertajam konflik antar banhsawan kelompok Kasepuhan dan Karajan. Tuduhan kuat dialamatkan kepada Diponegoro, sekalipun dalam tingkat rumor. Peristiwa pembunuhan ini salah satu causal factor pecahnya Perang Diponegoro. (Saleh A. Djamhari, Peringatan Satu Sengah Abad Wafatnya Pangeran Diponegoro, Lustrum VIII Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang, 27 Desember 2005).
Sejak ayahnya naik takhta, sebagai Hamengkubuwono III, Diponegoro mengisolasi diri, karena tidak setuju kebijakan ayahnya, namun tidak menentangnya secara terbuka. Ia mempunyai visi dan cita-cita sendiri tentang suatu negara dan masyarakat. Pemerintah Kesultanan Yogyakarta yang dipimpin ayahnya yang kemudian digantikan adiknya dianggapnya “menyimpang” dari nilai-nilai budaya Jawa dan melanggar hukum agama Islam serta menyerahkan kedaulatannya kepada Pemerintah Hindi Belanda. Ia bercita-cita membangun suatu masyarakat baru yang baru yang terwadahi dalam balad (negara) Islam. Perubahan masyarakat hanya bisa dilakukan dengan perang sabil.
Kehidupan pada masa remaja, membentuk pribadinya menjadi manusia fanatik yang taat beragama, teguh pendiriannya, teguh memendam rahasia, yang tecermin pada perilaku dan praktik kepemimpinannya. Untuk merealisasikan cita-citanya, Diponegoro dengan cermat membanhgun jaringan rahasia dengan merekrut spioen, membangun kekuatan militer, menyusun strategi dan rencana-rencana operasi perangnya, melatih prajurit-prajurit secara clandestine, yang dalam sejarah militer dikenal sebagai conspiracy silence, tanpa diketahui dan bisa dibuktikan aktivitasnya oleh apparat keamanan Kesultanan dan Pemerintah Hindia Belanda. Makalah Saleh A. Djamhari menyebutkan, bagaimana Diponegoro mendidik spioen, juga tidak ada sumber yang ditemukan, karena aktivitas dan kemampuan mereka luar biasa.
Para spioennya berhasil melakukan disinformasi dalam berbagai hal, bahkan memperkuat kesam negatif aktivitasnya. Conspiracy of silence yang berlangsung hampir 12 tahun, baru disadari oleh pejabat pemerintah Hindia Belanda pada bulan Juli 1825, bahwa dirinya tertipu setelah pasukan Diponegoro berhasil memasuki Yogyakarta. Pasukan Hindia Timur terkepung di dalam kota dan pemberontakan meletus di pelbagai tempat di wilayah Kesultanan. Demikian Saleh A. Djamhari mengemukakan sisi silence war yang diperankan Diponegoro. (Bersambung)