Ads
Tasawuf

Tasawuf dan Seni (3): Merenungi Ayat-ayat Pelukisan Alam

Avatar photo
Ditulis oleh A.Suryana Sudrajat

Dalam tulisannya di Harian Republik (5 Juni 2012), Nasaruddin Umar mengajukan pertanyaan yang menarik: apakah seni menjadi faktor dalam proses pencapaian target kaum sufi atau karena perilaku sufi yang mengekspresikan nilai seni, atau keduanya saling berkontribusi? Artinya, seni bisa membantu melahirkan suasana batin yang halus, indah, dan estetis. Pada saat bersamaan, jiwa sufi yang halus, lembut, dan estetis mengekspresikan sesuatu yang bernilai seni.


Dia mengemukakan, dalam lintasan sejarah dunia Islam, banyak sekali sufi yang seniman dan seniman yang jadi sufi. Bahkan, terkadang ada di antara mereka sulit membedakan mana di antara keduanya lebih menonjol pada diri seorang sufi, apakah dia sebagai sufi atau sebagai seniman. Ia mencontohkan Jalaluddin Rumi, yang dikenal bukan hanya sebagai sufi yang mampu menjadi komposer seni musik, tetapi juga melalui puisinya yang terekam di dalam master piece-nya, Matsnawi, yang oleh pengikutnya disebut sebagai ‘Al-Qur’an dalam bahasa Persia’ atau wahyu tentang makna batin Al-Qur’an. Filosof Hegel menganggap Rumi sebagai penyair dan pemikir terbesar dalam sejarah dunia. Pujian senada dituturkan Maurice Barres, penulis Prancis. Setelah bergelut dengan puisi-puisi Rumi, ia menyadari akan kekurangan Shakespeare, Goethe, dan Hugo. Sedangkan RA Nicholson, setelah menerjemahkan Matsnawi ke dalam versi Inggris, menyebut Rumi sebagai penyair mistik terbesar sepanjang abad (the greatest mystic poet of any age).


Menurut Nasaruddin Umar, sejak semula, Islam dan dunia seni memang bagaikan sebuah mata uang yang memiliki dua sisi. Islam tanpa seni dan seni tanpa Islam tidak akan mencapai kesempurnaan. Islam merupakan ajaran Tuhan yang memerlukan seni di dalam mengartikulasikan kedalaman aspek kebatinan dari ajaran itu. Kata dia, seni merupakan bagian dari sisi dalam manusia yang membutuhkan lokus untuk mengaktualisasikan nilai-nilai estetisnya. Islam dan seni menuntut ekspresi rasa yang amat mendalam dari manusia. Islam berisi ajakan kelembutan, kedamaian, kehalusan, dan harmoni kepada pemeluknya, sedangkan seni menawarkan ajakan-ajakan itu.
Perenungan tentang Keindahan


Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengajak kita untuk merenungi keindahan alam semesta. Misalnya, ’’Tidakkah kau lihat bahwa Allah menurunkan dari langit air hujan, lalu kami keluarkan dengan itu buah-buahan bermacam warna? Dan di antara gunung-gunung ada garis-garis putih dan merah aneka rona, di samping yang hitam kelam. Adapun dari manusia, hewan melata dan hewan ternak, terdapat pula yang berbeda-beda di dalam warna. Sesungguhnya yang gentar kepada Allah di antara para hamba-Nya hanyalah para ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun’’ (Q. 35:27-28).


Seperti dikemukakan Syu’bah Asa (Panjimas, Agustus 2003), yang menarik ialah setelah menyebut air hujan, ayat-ayat itu melukiskan alam secara khusus dari segi warna tidak hanya warna buah-buahan, tapi juga warna-warni manusia, gunung-gunung, binatang, dan ternak. Harap diketahui, kata mufasir yang juga seniman ini, bahwa perhatian Al-Qur;an kepada warna ini sangat menarik, dan umumnya di luar kesadaran kita. Dia mencontohkan, salah satu pertanyaan yang di ajukan kepada Musa a.s. oleh umatnya, ketika ia menyampaikan perintah Allah kepada mereka agar menyembelih sapi, adalah “apa warnanya’’ (Q. 2:69). Di antara tanda-tanda Allah yang diangkatkan-Nya kepada kita, dalam Al-Qur’an, adalah “perbeda-bedaan lidah kamu dan warna kamu (bahasa kamu dan warna kulit kamu)” (Q. 30:22). Madu, yang keluar dari perut lebah, juga dikatakan “berbeda-beda warnanya”’ (Q.16:69). Sedangkan tanaman-tanaman disebutkan “beraneka macam warnanya, kemudian layu dan kaulihat menjadi kuning” (Q. 39:21). Pokoknya, ’’apa yang disediakan-.Nya untuk kamu di bumi berlain-lainan di dalam warna’’ (Q. 16:13).


Dan bagaimana dengan warna gunung-gunung? Syu’bah mengutip mufasir Abdullah Yusuf Ali yang menyatakan, “Bicara tentang gunung-gunung, kita berpikir tentang warnanya yang biru azura dari kejauhan, yang diakibatkan oleh efek-efek atmosferik, dan efek-efek atmosferik ini menuntun pikiran kita ke keagungan awan-awan, ke saat-saat matahari tenggelam, ke berbagai sinar dan cahaya ekliptik, aurora borealis, dan semua jenis perarakan indah yang disediakan alam.


Di tengah panorama warna-warni itulah “ulama” berada: orang-orang dengan penghayatan yang intens, dengan kualitas nurani dan pikiran tertentu. Mohammed Marmaduke Pickthall menerjemahkan al-ulamaa itu dengan the erudite, “orang terpelajar’’ (The Meaning of the Glorious Koran, 313). Yousuf Ali (h.1161) menyalinnya dengan who have knowledge, “orang berilmu”. Tidak satu kitab tafsir pun bermaksud membatasi pengertian kata yang, dalam bentuk seperti itu, hanya satu kali disebutkan dalam Qur’an, itu dengan “ahli agama”, atau kiai, ustaz, atau mubalig, meski orang-orang ini boleh sangat layak mempunyai penghayatan seperti itu.


Adapun pembukaan ayat pertama itu berbunyi, “Tidakkah kamu lihat ….” Dan dalam gaya Al-Qur’an, kata Syu’bah, itu berarti tantangan kepada pikiran. Ini hakikatnya, ayat yang mengasung orang kepada penyadaran akan kebesaran Allah lewat pemikiran alam, dan di sinilah tiba-tiba kata “ulama” itu menjadi terasa paling layak didudukkan


Berita mengenai diturunkannya air hujan, di awal ayat, segera saja disambut dengan pemaparan warna-warni itu sebuah panorama inderawi. Tetapi ada tahap berikutnya, rangsangan itu bukan lagi terutama kepada indera. Yakni dalam ayat, “Sesungguhnya dalam penciptaan seluruh langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, kapal-kapal yang berlayar di lautan dengan barang-barang yang bermanfaat untuk manusia, di dalam hujan yang diturunkan Allah dari angkasa, lalu dihidupkan-Nya bumi dengan itu sesudah kematiannya, dan disebarkan-Nya di situ segala jenis binatang melata, dalam perkisaran berbagai angin, dan awan yang berkendalikan antara langit dan bumi, terdapat tanda-tanda bagi kalangan yang menggunakan akal.” (Q.2:164).


Dalam pandangan Syu’bah Asa, penciptaan langit dan bumi, dalam ayat di atas, bukan sasaran indera. Juga pergiliran malam dan siang. Kapal-kapal di lautan memang bisa di lihat, tapi yang juga diterakan di situ bagaimana kapal-kapal itu mengangkut “barang-barang yang bermanfaat bagi manusia.” Dengan kata lain arti ekonomis perjalanan kapal-kapal itu. Seperti itu juga hujan dari langit bisa dilihat, juga dialami, tapi bahwa hujan menghidupkan bumi sesudah matinya, dan dengan itu menyediakan makanan bagi segala makhluk hidup yang disebarkan Tuhan di situ, bukan masalah mata, melainkan otak. Tiupan angin juga bisa dirasakan, tetapi perkisaran angin-angin, yang berhubungan dengan musim maupun iklim, serta formasi dan jenis-jenis awan, adalah masalah ilmu alam. Begitulah, ini ayat keilmuan yang tak lagi bergerak pada tataran indera.


Lalu pada ayat Surah Ali Imran dinyatakan: “Sesungguhnya dalam penciptaan seluruh langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi mereka yang mempunyai akal: mereka yang menyebut nama Allah sambil berdiri, duduk, maupun berbaring, dan merenungkan penciptaan seluruh langit dan bumi: ’Tuhan kami, tidaklah engkau menciptakan ini degan sia-sia’.” (Q.3:190-191).
Ayat ini hanya memuat dua tanda (petunjuk) ketuhanan: penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam. Sedangkan ayat sebelumnya memuat enam tanda:penciptaan alam, pergantian siang dan malam, kapal di lautan, air hujan, angin dan awan. Maka menurut mufasir Fakhruddin Ar-Razi, sebagaimana dikutip Syu’bah, “Tidak boleh tidak, orang yang menempuh jalan kepada Allah pertama kali akan membutuhkan banyak tanda, tetapi bila hati telah bersinar dengan cahaya makrifat Allah, jadilah kesibukannya dengan tanda-tanda itu justru penghalang bagi ketenggelamannya dalam makrifat Allah.”


Mufasir itu melihat gerak maju — dari banyak tanda ke sedikit tanda — dalam konteks perjalanan mistis. Untuk menjelaskan jalan pikiran mufasir itu, kita bisa melihat gerak maju itu dari dua hal. Pertama, dari kenyataan menyederhanakan tanda, yang disebut Razi, itu sebagai suatu perangkuman: sesuatu yang sudah dikuasai rinciannya tinggal diberikan garis besarnya. Dua tanda dalam ayat terakhir di atas (penciptaan alam dan pergiliran malam dan siang ) sesudah mewakili semua yang tersebut terdahulu: penciptaan mewakili dunia benda, yang membentuk ruang, sementara malam dan siang mewakili waktu. Jadi, ruang dan waktu. Tetapi gerak maju juga, sebagai tambahan buat Razi, kita lihat dari kalimat doa pada ayat terakhir itu: “Tuhan kami, tidaklah engkau menciptakan (seluruh alam) ini dengan sia-sia.” Inilah doa yang mengandung rahasia dan perintah pemanfaatan alam yang telah diciptakan Tuhan untuk kita. Sebab, “tidak sia-sia” berarti punya tujuan. Dan tujuan itu bisa kita dapatkan misalnya dari ayat ini: “Tidakkah kalian lihat bahwa Allah menundukkan untuk kalian semua yang ada di seluruh langit dan yang di bumi, dan melengkapkan atas kalian anugerah-Nya, yang lahir maupun yang batin?” (Q. 45:13). Berarti, seluruh langit dan bumi ditundukkan Allah kepada kita. Itulah tujuannya. Dan itu berarti tugas pemanfaatan di pundak kita.

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda