Tasawuf

Tasawuf dan Seni (2): Perjalanan Menuju Puncak Kedalaman

Avatar photo
Written by A.Suryana Sudrajat

Seperti kita ketahui, ajaran Islam bisa dilihat dari berbagai aspek. Pertama, menyangkut sistem kepercayaan seperti tentang eksistensi Tuhan dan kehidupan setelah mati, pahala dan dosa atas segala perbuatan di dunia, yang pengejawantahannya dalam bentuk ibadah seperti sembahyang, puasa dan naik haji. Semua ini berkenaan dengan aspek hubungan manusia dengan Tuhan alias hablum minallah. Yang kedua adalah sistem moralitas dan etika yang menyangkut aspek hubungan antarmanusia, yang manifestasinya mewujud terutama dalam institusi-institusi kemasyarakatan dan hukum seperti perkawinan, warisan, muamalat dan jinayat. Aspek ini sering disebut hablum minannas
Hubungan vertikal manusia dengan Tuhanlah yang memberi dimensi spiritualitas pada kehidupan manusia. Bentuk-bentuk peribadatan hanyalah aspek fisikal dari hubungan tersebut, dan justru hubungan vertikal itulah yang memberi dimensi spiritualitas pada prinsip-prinsip moral dan realisasinya dalam sistem kemasyarakatan dan hukum.


Kontak batin dengan Tuhan yang dihayati dalam pengalaman itu merupakan ruh yang menjadikan agama bukan sekadar seperingkat kepercayaan dan seremoni ritual. Jika aspek kedalaman atau spiritualitas itu absen, maka agama ibarat badan tanpa nyawa karena sudah kehilangan ruhnya. Karena itulah hubungan langsung antara manusia dan Tuhan sering pula disebut nafas dan nyawa agama. Sebab dalam pengalaman keagamaan atau religius itulah Tuhan bukan sekadar ide – tapi hadir.
Kita ketahui, segala hal ihwal yang berkenaan dengan pengalaman keagamaan atau sering juga disebut pengalaman mistik itu, dalam tradisi disiplin keagamaan Islam disebut Tasawuf atau Sufisme. Oleh karena itu tasawuf atau sufisme sering pula disebut sebagai aspek esoteris atau kedalaman dari ajaran Islam.


Menurut Buya Hamka, tasawuf mengajak untuk mengenal rahasia besar yang tersembunyi di dalam, yakni mengenal Allah dengan jalan menghaluskan perasaan. Kata dia, dengan ajaran tasawuf jiwa terpenuhi dengan zikir, mengingat kepada Allah. Sehingga ingatan kepada benda (materi) menjadi berkurang. Rasa cintanya kepada Allah menginsafkannya bahwa dunia ini hanyalah tempat tinggal sementara. Namun jika cinta telah tertumpah kepada dunia, maka pudarlah jalan menuju Allah.


Prinsip asasi sufisme adalah bahwa tidak ada wujud mutlak kecuali Allah, dan jiwa manusia adalah limpahan dari wujud-Nya. Dia sendirilah secara substansial yang Maha Baik, Maha Benar, Maha Indah, Maha Sempurna, dan kecintaan kepada Dia sajalah yang merupakan cinta suci dan murni, sementara cinta kepada selain-Nya fana dan maya. Cinta, mahabbah, kepada Ilahi memang merupakan esensi dari tasawuf. Tumpahan kerinduan kepada Al-Khalik sebagai Sang Kekasih bisa kita baca dalam ungkapan-ungkapan personal yang sangat indah dari mistikus besar Rabi’ah Al-Adawiah.

Hubungan antara tasawuf dan seni dapat kita lihat dari karya sastra, lukisan kaligrafi, dan musik-musik bergenre religi. Banyak ulama dan intelektual yang menulis pemukirannya dalam bentuk sajak, seperti Jalaludin Rumi, Rabi’ah Al-Adawiyah, Al-Hallaj, Umar Khayyam, Fariduddin Attar, Idries Shah, Al-Manfaluthi, Muhammad Iqbal, sampai kepada sastrawan dan penyair Indonesia lasik seperti Hamzah Fansuri, dan Amir Hamzah.


Rumi (1207-1273), misalnya, terkenal dengan Matsnawi-nya, yang terdiri atas enam jilid, setebal 2000 halaman, 26.000 baris, berupa untaian puisi yang sangat menarik. Buku ini merupakan untaian perjalanan kerohanian Rumi dalam mencari kekal. Dalam pendahuluan bukunya, Matsnawi, Rumi menyatakan:


Aku tidak menyanyikan Matsnawi agar supaya orang membawanya dan mengulang-ulangnya pula, tapi agar orang meletakkan buku itu di telapak kaki dan terbang bersamanya. Matsnawi adalah tangga pendakian menuju kebenaran. Jangan engkau pikul tangga itudi pundakmu, sambil berjalan kaki dari satu kota ke kota lain. (Abdul Hadi WM. 1993).


Perjalanan transendental yang dianjurkan Rumi, kata Abdul Hadi, adalah perjalanan dari diri (yang rendah) ke diri (yang tinggi) – dari lower self ke higher self. Jadi ia merupakan perjalanan mendaki alias vertikal, bukan perjalanan horisontal, dan bukan perjalanan astronaut yang meninggi menuju bulan, tapi perjalanan hati menuju puncak kedalaman hati dari batin sendiri.


Kemudian Umar Khayyam (1044-1131) terkenal dengan Ruba’iyat-nya, yaitu sajak dua bait yang masing-masing terdiri atas dua baris dengan pola sajak akhir AAAA atau AABB. Dalam sebuah sajaknya Umar Khayyam menulis: “Inilah cawan yang dilempar akal cipta, seratus ciuman lembut ia tekankan pada pipinya, demikian pembuat tembikar semesta membikin piala, jarang serupa ini, lantas menghancurkan lagi menjadi tanah.” Dalam sajak itu Khayyam menggambarkan Tuhan sebagai pembuat tembikar dan pelukis (almushawari), dan kefanaan hidup manusia. Ia menyitir anggapan manusia dan makhluk lain di alam semesta ini didasarkan pada cinta Tuhan kepada perbendaharaan ilmunya yang tertinggi. Namun, sebagaimana juga keramik, manusia pada akhirnya juga hancur.
Muhammad Iqbal (1873-1938) juga terkenal dengan sajak-sajaknya Iqbal menulis: terpujulah Nabi suci kita terpujilah ia yang memberikan segumpal debu ini Tuhan mengasahmu lebih tajam dari pedang dia menjadikan pengendali unta jadi pengendara nasib takbirmu, salatmu, jihadmu, pada semua inilah tergantung nasib timur dan barat.


Iqbal menulis sajaknya itu pada tahun 1932 setahun setelah menghadiri konferensi Islam yang antara lain membahas masalah Palestina. Ia sangat prihatin terhadap kondisi dunia Islam, khususnya dunia Arab. Sementara bangsa-bangsa besar saling memamerkan kepentingannya, dunia Arab tak mengetahui nilai gurun dan kebudayaan sendiri. “Dulu kau bangsa yang satu, kini terpecah belah. Kau sendirilah yang memecah belah dirimu,” tulis Iqbal.


Begitu pula Hamzah Fansuri, sastrawan sufi Melayu abad ke-16 dan ke-17 menulis sebagian pemikirannya dalam bentuk syair.


Kuatnya kecenderungan sufistik juga sangat terasa pada karya-karya sastrawan kontemporer kita, seperti Danarto, Kuntowijoyo, Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, M. Fudoli Zaini, Taufiq Ismail, Emha Ainun Najib, Zawawi Imron, Ibrahim Sattah, Ahmad Nurullah, Ahmadun Y. Herfanda, Ajamuddin R. Tifani, Hamid Jabbar dan lain-lain. Seperti dikemukakan Abdul Hadi WM, kecenderungan sastra sufistik ini mulai tampak pada tahun 1970-an dan meluas lagi pada taun 1980-an.


Kecenderungan sufistik dalam sastra Indonesia ini, menurut dia, karena semangat dan pandangan dunia yang melatari kecenderungan ini memiliki pertalian dengan semangat yang ada di dalam tasawuf atau sufisme. “Ini tidak mengherankan apabila kita mengetahui, bahwa sudah sejak semula para pendukung kecenderungan ini memiliki hubungan dengan tasawuf dan khazanah sastra sufi, sebagai sumber penghayatan keagamaan dan budaya. dalam kaitan ini Kuntowijoyo, sebagaimana dikutip Abdul Hadi, menyatakan: “Saya kira kita memerlukan juga sebuah sastra transendental. Oleh karena tampak aktualitas tidak dicetak oleh ruh kita, tetapi dikemas oleh pabrik, birokrasi, kelas sosial dan kekuasaan, maka kita tidak menemukan wajah kita yang otentik. Kita terikat pada semata-mata yang bersifat konkret dan empiris yang dapat ditangkap oleh indra kita. Kesaksian kita kepada aktualitas dan sastra adalah sebuah kesaksian lahiriah yang sangat terbatas. Maka pertama-tama kita harus membebaskan diri dari peralatan indrawi kita. “


Menurut Kuntowijoyo, tanpa kesadaran transenden, akan sulit bagi seorang pengarang, sastrawan atau penyair, untuk menyumbangkan gagasan yang berarti bagi pembentukan suatu pandangan dunia atau world view baru yang segar.


Hubungan tasawuf dengan seni juga terlihat pada lukisan, khususnya pada lukisan kaligrafi. Lukisan kaligrafi modern mula-mula muncul di irak dan iran pada tahun 1950-an kemudian berkembang pula di Negara-negara Islam lainnya, termaksud diindonesia di antara pelopor lukisan kaligrafi modern adalah Shakir Hasan (Irak) Hosssein Zenderoudi (Iran) Quraishi (Palestina).


Di Indonesia kaligrafi mulai muncul pada akhir 1960-an dan kian luas mendapat sambutan pada akhir 1970-an. Para pelukis yang dapat dipandang sebagai pelopor adalah Ahmad Sadali, A,D Pirous, Amang Rahman, Amri Yahya. Kemudian beberapa pelukis muda juga ambil bagian dan segera menonjol sebagai pelukis kaligrafi yang terkemuka, di antaranya Syaiful Adan, Hatta Hambali, Hendra Buana dan Abay Subrana. Abay Subrana, perupa dari ITB, merupakan pelopor lukisan kaligrafi tiga dimensi. Lukisan kaligrafi muncul dengan corak yang salin berbeda, tetapi mempunyai tujuan yang sama yaitu menyajikan semangat estetik bercorak religius dan sufistik. (Bersambung)

About the author

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda