Konon, batas antara seniman dan sufi itu tipis. Pernah seseorang bertanya kepada Junaid Al-Baghdadi mengenai pendapat yang mengatakan bahwa perempuan adalah “tali setan” untuk memperdaya manusia.
Sufi besar itu menggelengkan kepala dan berkata, “Biarlah orang mengatakan perempuan tali setan yang memperdaya manusia. Adapun bagiku kecantikan wanita adalah tali Allah, untuk memperteguh iman dan kepercayaanku kepada Allah.”
Bagi Junaid, seperti dikatakan Buya Hamka (Ensiklopedi Buya Hamka, 2019), kecantikan wanita merupakan salah satu cabang keindahan, anugerah Illahi. “Sama juga keindahan kembang yang mekar, indah dilihat tapi jangan diganggu. Jangan dirumpunkan rasa keindahan dari seni dengan syahwat hawa nafsu,” katanya.
Kita ketahui, Hamka adalah salah seorang ulama terkemuka Indonesia yang antara lain menulis Tafsir Al-Azhar dan Tasauf Moderen dan ketua umum MUI Pusat yang pertama. Ulama pembaru ini juga masyhur sebagai sastrawan, yang antara lain menulis Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijk.
Syahdan, pada tahun 1957 Hamka melawat ke Bali dan di sana ia menyempatkan diri berkunjung ke studio Agus Djaya (nama lengkapnya Agoes Djajasoeminta) untuk “menikmati lukisan-lukisan yang dipamerkan, di antaranya ada lukisan wanita telanjang,” kata Hamka. “Pelukis tersebut meminta maaf, maaf saya Kyai tidaklah layak saya memperlhatkan lukisan ini kepada Kyai. Dengan senyum saya menjawab, disamping seorang kyai, saya ini pun seorang pecinta seni. Seni Anda tersalur kepada cat dan kuas, dan seniku pada lisan dan tulisan. Jika kulihat lukisan ini dari rasa seni, samalah untukku seperti melihat kembang mekar juga. Aku melihat indahnya, tapi tak akan aku cabut ia dari tangkainya. Keindahan kembang pun dipagari oleh Allah dengan duri atau miang. Apabila kupatahkan kembang itu dari tangkkainya, hendak kucari ke mana keindahannya? Lalu kukupas kelopaknya sejurai demi sejurai , niscaya akan habislah ia berantakan ke muka bumi. Kurusakkan keindahan yang asli karena nafsu ingin tahu, padahal aku tak mampu menyusun balik.”
Buya melanjutkan: “Demikian jugalah kecantikan wanita. Aku kagum melihat keindahan bentuk badan yang Saudara lukiskan, campuran warna, tapi percayalah aku hanya menikmati keindahan lukisan dan tidak hendak memegang lukisan Saudara dengan tanganku karena kalauterpegang sedikit saja oleh tanganku yang berlumur debu, rusaklah keindahan gambar Saudara. Melihat alam pun demikian pula, aku resapkan ke dalam hati keindahan alam sekeliling. Amat teratur, seragam, seimbang, tidak ada cacat lagi. Demi aku termenung melihat keindahan itu maka terdengarlah di telingaku firman Allah: “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumisetelah diciptakan dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang yang berbuat kebajikan.” (Qur’an Al-A’raf/7:6). Saudara Agus Djaya memegang erat tanganku dan air matanya menggelenggang.”
Seni yang sampai pada puncaknya, kata Hamka, ialah gabungan antara rasa keindahan (Jamal) dan rasa kesempurnaan (kamal) dan rasa kemuliaan (jalal). Ia menegaskan, “Seni yang bernilai tinggi menyebabkan seniman lebur di bawah cerpu telapak kaki budi (etika) dengan kebenaran (al-haqq). Seni yang tinggi membawa seniman fana (hilang) ke dalam baqa.” Bukankah itu pula yang dialami para sufi?”
Bagi Hamka, hubungan antara tasawuf dan seni memang sangat tipis. (Bersambung)