Ads
Tafsir

Sudah Pernah Berzina, Belum?

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Tidak satu kitab tafsir pun, yang muktbar, dari zaman ke zaman, yang memandang ayat tentang ‘perkawinan pezina’ (lihat: Hukum, Bukan Undang-undang) sebagai berbicara tentang syarat sah nikah. Qurthubi misalnya, dari abad ke-7 hijriah, mencatat tidak kurang dari enam pendapat.


Ayat itu celaan luar biasa kepada zina. Yang dimaksud “tidak menikah” di situ: tidak bersenggama—seperti diriwayatkan sebagai pendapat ibn Abbas r.a. Jadi, bukan ayat tentang perkawinan.
Ayat itu berhubungan dengan pelacur bernama Anaq, yang oleh Nabi dilarang dikawini oleh Martsad r.a karena ia kafir (riwayat Abu Dawud dan Turmudzi). Kata Khathathabi: “kalau pezinanya muslimah, akad dengan dia tidak rusak.”


Ayat ini khusus untuk laki-laki muslim tertentu yang dilarang Nabi mengawini ratu pelacur bernama Umm Mahzul dengan syarat (dari si perempuan). Ia akan menanggung penghidupan si laki-laki, seperti dituturkan Amr ibnul-Ash r.a.


Ayat itu berhubungan dengan Ahlush Shuffah (para sahabat miskin yang tinggal di masjid), yang dilarang Nabi melaksanakan pikiran untuk mengawini para pelacur Madinah dan turut makan dari mereka—dituturkan oleh ibn Abu Shalih.


Pezina dalam ayat di atas, pria-wanita, hanya mereka yang sudah dijatuhi hukuman hadd (cambuk)—dari penuturan Al-Hasan.


Ayat di atas sudah dihapuskan (di-naskh) oleh Q.S. 24: 32.: “Dan nikahkanlah/nikahilah, mereka yang sendirian di antara kamu dan mereka yang layak di antara para budak laki-laki dan budak perempuan kamu”. Itu pendapat Sa’id ibul-Musaiyab dan Ibn Amr r.a. Kata yang terakhir itu: para pezina perempuan itu masuk dalam ”orang-orang yang sendirian”. Kata ibn Uma, Salim, Jabir ibn Zaid, Athaa, r.a,Thawus, Abu Hanifah, Malik: siapa yang menzinai seorang perempuan punya hak mengawininya. Yang lain juga punya hak. Hanya saja, kata ibn Mas’ud r.a. dan Malik, kalau dua orang berzina dan langsung kawin tanpa disesali masa jeda (untuk “membersihkan air”), “mereka terhitung berzina selama-lamanya”. (Al-Jaml’ ll-Ahkamil Quran, XII: 167-170).


Tafsir-tafsir lain, seperti Lubatul Ta’will darI Al-Khazin (III:314), dari abad ke-8 Hijriah, atau Fathul Qadir Syaibani (IV:5) dari abad ke-13, menafsirkan ayat tersebut secara tidak berbeda.

Penulis: Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Sumber: Panji Masyarakat, 30 Juni 1997

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda