Tafsir

Hukum, Bukan Undang-undang (2)

Written by Panji Masyarakat

Pernah dulu, pada zaman ketika kita masih mempunyai beberapa partai Islam, seorang juru kampanye partai menyerang partai lain yang banyak warganya terdiri atas kalangan Islany yang dianggap “suka mengambil hukum langsung dari Qur’an dan Hadis”. Ia memberi contoh dengan ayat: “Maka bila kalian bertemu mereka yang kafir, maka pancungan pada leher…” “Bagaimana jika kita,” kata sang jurkam, “dengan hanya melihat bunyi ayat itu, langsung keluar ke toko-toko Cina dan memotong leher mereka?” Tentu, pihak yang diserang bukan tidak tahu bahwa potongan ayat di atas berada dalam konteks pembicaraan perang. Kelanjutan ayat tersebut: “Sehingga kamu sudah menghancurkan mereka, tambatkan ikatan. Maka boleh jadi anugerah sesudah itu, dan boleh jadi tebusan, sampai perang meletakkan seluruh bebannya” (Q.S. 47: 4).


Ayat itu berisi teguran kepada sikap bala tentara muslimin yang menghindari membunuh musuh dan memilih berusaha menawan mereka, semata- mata karena pertimbangan tebusan—hal yang berbahaya, tentu saja, dalam perang frontal, sebelum musuh benar-benar dilumpuhkan. Karena itu Allah menyuruh lebih dulu menghancurkan kekuatan lawan (maka pancungan pada leher), dan baru tambatkan ikatan (tawanan). Sesudah itu dipandang bagus memberi mereka anugerah (pembebasan) atau pembebasan dengan tebusan.


Tetapi memang ada ayat-ayat tertentu yang, walau-pun dibaca dalam konteks, benar-benar bisa mengelirukan kalau orang hanya melihat kalimat Qur’an. Contoh: “Laki-laki pezina tidak menikah kecuali dengan perempuan pezina atau yang musyrik, dan perempuan pezina tidak menikah kecuali dengan laki-laki pezina atau musyrik, dan diharamkan yang demikian itu bagi orang-orang beriman” (Q.S. 24: 3). Layaknya, semangat “fundamentalis” akan—mengingat tabiatnya yang “streng”—mendorong orang langsung memakai ayat ini. Sebaliknya, adakah pejabat pernikahan, di mana pun di dunia, yang akan bertanya kepada kedua calon pengantin: “sudah pernah berzina, belum?”


Kenyataan bahwa ketentuan hukum bisa berlainan dengan bunyi (bahkan kandungan) ayat, seperti juga bahwa tidak semua hal pokok dijelaskan secara agak gamblang, memungkinkan orang, seperti Coulson, menyimpulkan bahwa “Konsep-konsep Al-Qur’an tidak lebih dari semacam mukadimah dari suatu kitab hukum Islam” (Coulson, op.cit., 24). Atau, lebih tepat sebenarnya, andai Qur’an sebuah kitab undang-undang, “kitab hukum” itu petunjuk pelaksanaannya. Dalam hal ini “kitab hukum” harus dipahami sebagai fikih. Dan dari fikih itulah disusun undang-undang yang sebenarnya.


Tetapi fikih tidak hanya bersumber pada Qur’an. Juga pada Sunnah Nabi, yang kedudukannya terhadap Qur’an merupakan penguat di satu sisi dan penafsir di sisi lain—di samping fungsinya sebagai pembangun sandaran hukum baru (Wahbah Zuhaili, op.cit., 55,56,57). Itu dengan mengingat bahwa Qur’an juga menjelaskan dirinya sendiri. Kitab-kitab tafsir mengenai metcde ‘penafsiran Qur’an dengan Qur’an’. Sedangkan firman seperti “Bulan Ramadan, yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, petunjuk bagi manusia, penjelasan tentang petunjuk serta pembeda” (Q.S. 2: 185) mengimplikasikan pembagian ayat-ayat itu sendiri menjadi yang induk’ dan `yang penjelas’.


Jadi, andai Al-Qur’an kitab undang-undang, penamaan itu hanya tepat dalam pengertian bahwa di dalamnya termasuk penjelasannya. Hadis, dalam pada itu, tidak hanya menjelaskan ayat-ayat ‘induk’, tapi juga ayat-ayat ‘penjelas’ sendiri: wudu, misalnya, yang rinciannya diberikan dalam Qur’an, belum akan bisa dipraktikkan secara akurat tanpa keterangan Hadis. Lebih dari itu adalah jumlah salat wajib yang lima waktu—yang keterangannya, terutama dari praktik Nabi, datang kepada kita secara mutawatir, diriwayatkan oleh “semua orang” kepada “semua orang”, sehingga praktik salat dalam garis besar sama di seluruh dunia. Juga kesamaan, penafsiran para ulama mengenai ayat tentang perkawinan pezina mendapat sumbernya dari hadis-hadis. Fungsi hadis yang sebuah itu diakui sendiri dalam Qur’an: “Dan kami turunkan kepadamu peringatan agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka” (Q.S. 16: 44). Di situlah kedudukan Sunnah dipahamai sebagai mutlak. Qur’an memang tidak pernah dimaksudkan untuk berdiri sendiri. Dan itu likmah Allah Ta’ala.


Pikiran Sontok. Abdallah Yousuf Ali, dalam pengantar tafsirnya, The Glorious Qur’an, cukup bagus ketika mengatakan betapa orang tidak bisa mendekati Qur’an dengan persepsi seperti terhadap kitab lain yang mana pun. Ini misalnya menyangkut keilyataan yang juga dimengerti Coulson, tentang ayat-ayat yang berhubung-an dengan hukum, yang biasanya “diturunkan berkaitan dengan apa yang sedang terjadi atau memunculkan “ketidakterpaduan sistematika legislasi Al-Qur’an” (lihat Coulson, op.cit., 16).
Tidak jelas apakah bekal yang ada di kepala Coulson bayangan sebuah buku universitas. Yang pasti, ia toh tahu bahwa (untuk menjadi “karya” dengan “sistematika terpadu”) ayat-ayat hukum dalam Qur’an hanya berjumlah 600 buah (sebagian ulama bahkan menyebut angka 500), itu pun kebanyakannya mengenai hukum-hukum yang oleh Wahbah Zuhaili dimasukkan ke dalam kelompok ‘amalah ibadah’. .Adapun “yang membicara-kan topik hukum,” alias ‘muamalah’, seperti dikatakan-; nya “tak lebih dari delapan puluh buah” (Coulson, ibid.,15).


Akankah, dengan 80 (di antara 6.236) ayat, kita membayangkan Al-Qur’an memiliki bab hukum tersendiri, sementara ayat-ayat selebihnya dikelompok-kelom-pokkan ke bab masing-masing? Tetapi bagaimana caranya, sementara diyakini bahwa Qur’an “mengandung semua hal”, dan ini bukan sekadar dogma? Bahkan Maurice Bucaille (yang buku-bukunya diterjemahkan di Indonesia, seperti Qur’an, Bibel, dan Sains Modern, atau Asal-usul Manusia) terkejut melihat bahwa bukan hanya temuan-temuan mutakhir dalam ilmu kealaman modern, atau evolusi manusia, misalnya, bahkan beberapa problema yang dirasakan ada belum terpecahkan, sudah tersedia—sebagai “misteri”—dalam kitab dari zaman 16 abad yang Ialu itu. Dan jika semuanya diguratkan selintas-selintas, terpisah-pisah, dalam suasana kewahyuan yang puitis, dengan getaran ritualitas yang kuat, dalam suatu himpunan yang bruto, disajikan persis seperti aslinya, tanpa ditapis, tanpa diedit, maka hanya pikiran sempit dengan prakonsepsi yang sontok yang mendorong orang menuntut Qur’an menyusun ayat-ayat hukumnya menurut model buku sekolah.


Toh ia, Al-Qur’an, untuk segi huk um, menjadi sumber segala-galanya—dan bukan mukadimah. Ketidakmungkinan untuk selalu hanya mencabut satu ayat dan memaksakan penerapannya, seperti yang menjadi pintu masuk perbincangan ini, tidak hanya berhubungan dengan tuntutan elementer berkenaan dengan konteks, tapi juga pertama kali dengan Sunnah, sebelum penafsiran. Dan dalam hal penafsiran, masalahnya bisa menjadi lebih muskil jika jenisnya bukan lagi tafsir bil-maitsur (berdasarkan riwayat), dan bukan sekadar tafsir birra’y (dengan penalaran) berdasarkan yang ma’tsur, melainkan sudah lebih khas penalaran sehubungan dengan konteks zaman yang berubah. Prof. Ibrahim Hosen, ketua Komsi Fatwa MUI, misalnya mengingatkan orang akan pemakaian pendekatan zawajir dalam pelaksanaan hukum pidana. Ini teori tentang hukuman sebagai alat pendidikan—berbeda dengan pendekatan zawajir yang mendasarkan hukuman pada pembalasan atau penebusan dosa.


Dengan pendekatan zawajir, orang tidak akan me-nuntut penjatuhan hukuman persis seperti yang tersebut dalam Qur’an—asal saja hukuman itu, menurut konteks aktual, diniiai memenuhi syarat bagi tercapainya maksud edukatif. (Lihat Prof KH Ibrahim Hosen dan Pembaharuan Hukum di Indonesia, 127). prinsip yang jelas bertolak belakang dengan semangat yang disebut “fundamentalis”. Dan ini hanya satu contoh pengembangan dari hasil penjelajahan dimensi hukum Al-Qur’an.

Penulis: Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Sumber: Panji Masyarakat, 30 Juni 1997

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda