Dari balik jeruji besi, satu-dua orang “fundamentalis” berteriak-teriak sambil mengacung-acung-kan sesuatu. Itu pemandangan sebuah mahkamah model Mesir yang sedang mengadili kasus pembunuhan—pemberondongan besar-besaran—terhadap Presiden Anwar Sadat dan para petinggi negaranya, lebih dari satu dasawarsa yang lalu. Peradilan itu memang dilaksanakan dengan seluruh terdakwa ditaruh di dalam sebuah kerangkeng besar. Dan yang diacung-acungkan para pemuda itu, dengan tangan-tangan keluar dari jeruji, tak lain mushaf Qur’an kecil. Sebagai salah satu jawaban kepada penuntut umum, agaknya, mereka bersuara tinggi-tinggi sambil menunjuk-nunjuk ayat pada kitab Qur’an yang terbuka. Pemandangan ini bisa disaksikan berjuta-juta orang lewat tayangan televisi yang dipancarkan ke seluruh dunia waktu itu.
Kita paham yang mereka maksudkan. Para pemuda itu telah menggunakan Al-Qur’an dari salah satu seginya yang esensial—yaitu hukum. Khususnya bagi gerakan-gerakan kontemporer, dari yang modernis sampai yang menurut ungkapan Barat, “fundamentalis”, Al-Qur’an semata-mata berarti kandungannya. Dan dari situ, khususnya oleh kalangan yang disebut terakhir, aspek hukum diberi tekanan yang memang semestinya.
Qur’an sendiri menyatakan dirinya sebagai kitab hukum. “Sungguh kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab dengan kebenaran, agar engkau memberi hukum di antara manusia dengan apa yang telah diperlihatkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau demi kepentingan orang-orang khianat menjadi penantang” (Q.S. 4: 105). “Dan berikanlah hukum di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah. Jangan ikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap kemungkinan mereka memalingkan engkau dari sebagian yang diturunkan Allah kepadamu” (Q.S. 5: 49). Lihat juga Q.S. 13: 37 dan 42: 10.
Kualitas Etik
Hukum amaliah itu pun hanya bagian kedua dari hukum Al-Qur’an. Yang pertama, dan yang menjadi dasar, adalah hukum-hukum akidah. Hukum, menurut Al-Qur’an, tidak sesempit kandungannya seperti hukum di dunia profan. Hukum profan atau “sekular” hanya menyangkut muamalah, hubungan antarmanusia. Sementara muamalah dalam hukum Al-Qur’an merupakan butir kedua dari kandungan hukum amaliah. Butir pertama adalah hukum-hukum ibadah. (Lihat Wahbah Zuhaili, Al-Qur’anul Karim, Bunyatuhut Tasyri’iyat wa Khashaishul Hadhariyat; terjemahan oleh Risalah Gusti). Zuhaili memasukkan juga “hukum etika” di antara hukum akidah dan hukum amaliah. Tentu saja etika bukan hukum, sedangkan bagian etika yang melahirkan kode yang bisa menyangkut sanksi bisa dimasukkan ke dalam hukum amaliah muamalah.
Dari diktum akidah itu kita pahami betapa semua ketentuan hukum dalam Al-Qur’an tidak hanya bersanksi duniawi, tetapi juga keakhiratan. Dengan bahasa lain, pada hukum Qur’an “kualitas etik begitu dominan” (Noel J. Coulson, The History of Islamic Law, terjemahan oleh P3M, hlm.15). Dan bersama dengan kualitas etik, bagi mereka yang bertekad hendak berperilaku sesuai dengan kehendak “Al-Qur’an adalah kitab hukum yang sederhana dengan persyaratan langsung” (Ibid, 21).
Itulah sebabnya banyak dari kita, dan tidak hanya para tertuduh dalam pembunuhan Anwar Sadat di muka, merasa dapat demikian saja mencuplik ayat Qur’an dan menyodorkannya di depan hidung orang. Mereka bisa saja benar, tentu dan bisa salah—tergantung ayatnya. Hanya saja pencuplikan langsung suatu ayat hukum dan desakan pemakaiannya sering sekali menandai sikap yang mendekati Qur’an secara parsial. Berbeda dengan pendekatan. sebagai kebulatan, yang memungkinkan orang melihat bahwa, sebagai sumber hukum, menurut Coulson, “Al-Qur’an menampilkan banyak permasalahan” (Coulson, ibid).
Salah satu butir yang ditampilkan Coulson adalah “kenyataan bahwa hal-hal yang lepas dari perhatian legislasi Al–Qur’an” (ibid, 23). Dengan menyingkirkan lebih dulu nilai ungkapan “lepas dari perhatian” yang digunakan orientalis itu, contoh untuk pernyataan Coulson b isa kita pilih sendiri, dari yang berhubungan dengan pengamalan keseharian yang lebih dekat dengan kita, dan vang agaknya justru berada di luar kesadaran sang sarjana. Misalnya, Qur’an menyebut berulang kali kewajiban salat, tetapi tidak menyatakan jumlah salat wajib itu secara jelas. Firman dalam Surah Al-Isra, yang kita anggap sebagai ancar-ancar, hanya memerintahkan kita dengan, “Dirikanlah salat untuk tergelincirnya matahari sampai gelapnya malam dan bacaan subuh” (Q.S.17: ’78). Dan seperti juga jumlah salat, juga tata caranya, kecuali tata cara salat dalam perang (Q.S. 4: 102). Itu pun tidak terinci: rukuk, misalnya, tidak disebutkan.
Sebaliknya, tata cara wudu diterakan lengkap, “Wahai orang-orang beriman, bila kalian berdiri untuk sembahyang maka basuhlah wajah kalian dan tangan kalian sampai ke siku dan sapulah kepala kalian dan kaki kalian sampai ke mata kaki” (Q.S. 5: 6). Dalam satu kalimat itu sudah diberikan seluruh rukun-wajib wudu (minus yang sunah—yang menyangkut mulut, untuk berkumur, hidung, untuk mengisap sedikit air, dan telinga, untuk diusap). Bahkan juga teknik -tayamum, sebagai pengganti wudu: “…sedangkan kami tidak mendapat-kan air, maka bertayamumlah dengan tanah yang bagus serta sapulah wajah kalian dan tangan kalian” (Q.S. 4: 43. Lihat juga Q.S. 5: 6). (Bersambung)
Penulis: Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Sumber: Panji Masyarakat, 30 Juni 1997