Ads
Cakrawala

Dakwah yang Memberi Harapan

Avatar photo
Ditulis oleh Arfendi Arif

Kehidupan dalam masyarakat terdiri dari beragam profesi, tingkat kesejahteraan, tingkat pendidikan,  status sosial dan lain sebagainya. Saat menyampaikan dakwah atau pemikiran keagamaan maka sasaran audiens ini penting untuk diperhatikan agar materi yang disampaikan mudah dicerna oleh jamaah. Sebagaimana dalam teori pemasaran bahwa pasar itu perlu memperhatikan segmen pembelinya, maka dalam kegiatan dakwah sisi khalayak ini juga perlu dicermati para dai.

Salah satu hal yang layak diperhatikan para mubalig dalam menyampaikan dakwah bagaimana menyampaikan ajaran Islam pada kelompok masyarakat yang dalam hidupnya mungkin mengalami frustrasi atau kecewa  dalam kehidupan.

Kelompok-kelompok yang rawan kecewa dalam kehidupan ini di antaranya masyarakat miskin, pelaku kejahatan, narapidana,  pengguna obat terlarang, mereka yang kena penyakit,  mereka yang merasa terzalimi dalam hidup, kaum duafa , mereka yang merasa terpinggirkan, pelaku ekonomi lemah dan semacamnya.

Mereka yang hidup dalam kemiskinan atau kategori ekonomi lemah selayaknya diberikan pemahaman bahwa kemiskinan yang menimpa seseorang bukanlah takdir dari Allah. Kalau seseorang belum mendapat rezki yang mencukupi dalam kehidupan, maka ia harus yakin bahwa Allah pasti memberikan rezeki kepadanya. Namun, tentu harus ada usaha yang dilakukan. Tidak boleh hanya meminta, tanpa ada usaha. Rajin berusaha adalah kunci mendapatkan rezeki dari Allah. Manusia tidak boleh bersikap malas. Bahkan, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim kita dianjurkan untuk berdoa menghilangkan sifat malas. ” Ya Rabb, aku berlindung kepada-Mu dari kemalasan dan kejelekan di hari tua. Ya Rabb, aku berlindung kepada-Mu dari siksaan di neraka dan kubur”.

Di samping itu konsep rezeki jangan hanya diartikan dalam bentuk materi. Rezeki juga bisa diartikan kesehatan yang baik, hidup yang berbahagia, anak yang saleh dan menghormati orang tua dan semacamnya.

Dengan contoh dua konsep di atas orang yang hidup masih belum sejahtera secara materil akan giat berusaha seraya tetap rajin beribadah. Ia tidak cepat berputus asa kalau rezeki dalam bentuk materi ini belum diberikan Allah. Allah memerintahkan, selain beribadah kita juga dianjurkan untuk bekerja. Dalam surat At-Taubah ayat 105 Allah berfirman, “Bekerjalah kamu maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah  Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”

Dalam surat Al-Jumu’ah ayat 10 Allah juga berfirman, “Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.”

Kemudian dalam surat Al-Qashash ayat 77 Allah berfirman, “Dan carilah pahala negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”

Perintah Allah kepada manusia untuk bekerja dan mengaitkannya dengan ibadah mengandung arti bahwa manusia tidak boleh putus asa dalam berusaha. Karena bagi orang yang beriman selalu punya keyakinan bahwa Allah akan memberi rezeki dengan ia bekerja. Karena itu, bagi seorang beriman jika rezeki terlambat datang atau belum diberikan oleh Allah ia akan sabar menunggu, ia tidak akan kecewa dan putus asa. Imannya tidak akan luntur kepada Allah dengan tetap istiqamah beribadah.

Dalam kategori kesehatan seperti orang yang menderita penyakit dan kecanduan obat terlarang tetap dianjurkan untuk berobat. Persoalan ini jangan membuat putus harapan kepada Allah. Pemikir dan intelektual Iran Murtadha Mutahhari dalam bukunya Perpespektif Al-Qur’an tentang Manusia dan Agama (Mizan, 1407 H/1987) menyatakan, agama memiliki kemampuan untuk mengubah sesuatu kepahitan dan penderitaan menjadi kegembiraan. Misalnya, seorang yang sakit dan mengalami masa tua ia termotivasi oleh agama untuk menikmati kesenangan berzikir, bertaqarub dan mendekatkan diri kepada Allah. Ia tidak nengalami putus asa dan kecewa dengan kekurangan dan ketidaknyamanan yang dirasakan karena kondisi penyakit dan keuzuran usianya.

Demikian juga untuk orang yang melakukan kejahatan. Ada masanya ia bertobat dan menyesal dengan perbuatan dosa dan nista yang dilakukannya. Rasa berdosa ini jika bertumpuk akan menimbulkan beban perasaan yang berat. Jika tidak ada solusi maka beban psikologis ini bisa menimbulkan frustrasi, melakukan bunuh diri atau makin nekat melakukan kejahatan. Menurut Dr. Zakiah Daradjat dalam bukunya Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia (Bulan Bintang, Jakarta, 1973) ajaran Islam bisa menjadi solusi untuk mengatasi hal ini. Dalam Islam kita mengenal ajaran Tuhan yang berulang-ulang disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu mohon ampun dan tobat atau kembali pada kebenaran ajaran Tuhan. Dengan penegasan bahwa Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Untuk memperkuat jiwa agamanya, supaya mampu merasa diterima kembali oleh Allah,  maka perlu penanaman nilai-nilai agama yang serius dan intensif.

William James (1842-1910) seorang ahli psikologi agama pernah melakukan penelitian terhadap orang-orang yang sakit jiwa (the sick soul). Ia menyebut tipe beragama tersebut the sufferring, yaitu orang yang meyakini dan melakukan tindak keagamaan dikarenakan suatu penderitaan yang dialaminya, misalnya konflik batin atau sebab lainnya yang tidak dapat diungkapkan secara ilmiah (Jalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, 1997).

Berdasarkan uraian William James di atas seorang ahli psikologi agama lainnya W. Starbuck menyebutkan adanya faktor kejahatan dalam membentuk perilaku beragama, di antaranya adalah bahwa orang yang bermoral bejat biasanya mengalami perasaan yang tidak tenang. Ia sering dihantui oleh rasa bersalah dan rasa berdosa. Bagaimanapun bejatnya moral seseorang ia sewaktu-waktu masih menginginkan rasa kasih sayang, keamanan dan rasa ketergantungan. Untuk menentramkan hatinya biasanya agamalah yang menjadi dambaannya. Jika ia sudah merasa batinnya tentram dalam siraman ajaran keagamaan, ia akan menjadi orang yang fanatik, tentu dalam arti yang positif.

Jadi sangat penting memperhatikan audiens dakwah dengan menyampaikan konten yang dibutuhkan oleh jamaah. Bahwa pesan-pesan yang disampaikan yang mampu menyentuh persoalan yang mereka hadapi. Jika hal ini bisa dilakukan agama akan dirasakan fungsinya oleh masyarakat dalam kehidupan. Para dai atau mubalig juga akan berperan sangat besar dalam mengatasi problem dalam masyarakat.

Kita melihat para dai, mubalig atau para ulama memiliki kedekatan dan kiprahnya luas dalam masyarakat, baik dari segi jumlah mubalig dan massa yang hadir, jumlah dan massanya sangat besar. Jika dakwah kualitatif ini bisa dilakukan maka masyarakat akan mengalami pencerahan yang luar biasa. Dan, tentunya juga proses terbangun dan terbentuknya masyarakat yang cerdas, sehat dan berbudaya makin berkembang luas di negara kita.

Tentang Penulis

Avatar photo

Arfendi Arif

Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten

Tinggalkan Komentar Anda