Ads
Cakrawala

Kolom Fachry Ali: Sendalkumana

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Kali ini kita berkisah tentang sebuah film India. Judul film itu pun sederhana, Sendalkumana. Tapi maknanya, mungkin, tidaklah sesederhana judul itu. Seorang istri sopir telah diperkosa oleh majikannya. Sang istri meronta, meraung. Dan mungkin juga, kalau bisa, menendang.  Adegan mengerikan itu seperti biasa belum selesai. Juga belum selesai, ketika istri yang sudah lemah itu, dibunuh. Jejak, mungkin dalam pikiran sang majikan, bisa lenyap dengan lenyapnya pula nyawa istri sopir tersebut.

Toh akhirnya, sang suami, sang sopir majikan, tahu duduk soalnya. Maka dia pun mengamuk. Di rumah majikan yang besar, megah dan mewah itu, si sopir unjuk rasa dan gigi sekaligus. Berbagai perabotan hancur, beberapa pengawal terpelanting dengan kepala berdarah terkena kepalan atau benda keras.

Tapi bukti yang pasti dan meyakinkan, memang tidak dimiliki oleh sopir malang itu.. Dan sebagaimana logika hukum di mana-mana, tanpa segala bukti yang cukup, tidak ada seorang pun yang bisa diperkarakan. Dan dengan sikap Gatotkaca menang perang, sang majikan justru balik menuntut. “Dia telah berbuat onar di rumahku. Harap bapak polisi maklum,” ujarnya tenang.

Dan sang sopir pun dipenjara. Dia gundah karena istrinya telah diperkosa. Tapi lebih dari itu, istrinya telah mati dan karena itu semua dia harus masuk penjara. Dia mungkin ‘bingung, apakah dia yang bersalah karena menuntut suatu kejahatan yang berlaku atas dirinya, atau justru sang majikan, pelaku kejahatan. Dia bingung dan merenung.

Maka, ketika sang anak berkunjung dan bertanya, dia hanya bisa berkata lirih: “Hukum, hanya bisa berlaku untuk orang kaya saja, anakku.”

Kita tidak tahu, apakah yang dipikirkan oleh sang anak, setelah mendengar kalimat ayahnya. Kita pun tidak tahu, apakah sang ayah menerima saja nasib yang menimpanya. Yang jelas, dalam adegan itu, sang ayah merenung seorang diri. Dan dengan air mata yang berlinang — seperti biasa kita saksikan dalam hampir setiap film India —- dia menengadah ke langit lepas. Tidak dihadirkan lembaga bantuan hukum (LBH} dalam adegan itu. Juga dalam adegan-adegan selanjutnya. Mungkin belum ada ide. Film itu memang cerita lama. Saya tonton pada tahun 1968.

“Hukum hanya untuk orang kaya,” ujar sang ayah. Dan sang anak pergi entah ke mana. Dan adegan-adegan selanjutnya, menyajikan huru-hara yang terjadi di mana-mana. Perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan keji telah menjadi: gambaran sehari-hari. Pelakunya, sebuah gerombolan yang tidak atau belum diidentitaskan —- tapi terorganisasikan dengan rapi.

Maka polisi pun blingsatan. Para penegak hukum itu, bukan saja gagal melaksanakan tugasnya, tapi juga waswas. Gerombolan itu, seakan-akan begitu senang membunuh polisi. Mereka menjadi beringas justru dengan hadirnya para polisi.

Tapi sasaran utamanya, ternyata bukanlah polisi, melainkan sang majikan yang telah memperkosa istri seorang sopirnya. Dan di suatu malam yang kelam, rumah mewah dan megah itu disatroni. Sang majikan mati. Tapi istri, anak-anak serta segenap anggota keluarganya juga mati. Polisi, kembali bingung. Sebab kali ini, tidak ada perampokan. Tidak sepeser pun ada uang yang hilang.

Di tempat lain, di sebuah gedung tua, gerombolan perampok itu sedang berkumpul. “Ini pertemuan kita yang terakhir”, ujar pemimpinnya. “Mulai malam ini, perkumpulan kita bubar.” Dan mereka pun berpencar. Dan. mereka pun raib.

Yang tinggal, hanya sang pemimpin. Duduk termenung di bawah tiang-tiang tua dan kukuh, ia bergumam: “Hukum, memang hanya milik orang kaya. Satu-satunya yang tersisa bagi orang miskin, seperti ayahku adalah kepasrahan. la terlalu tua untuk tidak pasrah. Tapi aku, walau miskin punya jalan lain. Kekerasan.”

Gendang-gendang India berhenti berbunyi. Di layar putih, terlihat tulisan The End. Dan penonton bubar. Hampir semua penonton, berasal dari rakyat kecil.

Penulis: Fachry Ali, pengarang dan intelektual publik.
Sumber: Panji Masyarakat, 21 November 1986.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda