Quthub bukan hanya orang gerakan, tapi juga penulis yang produktif. Tercatat, lebih 20 buku telah dihasilkannya. Awalnya, ia menulis riwayat pengalaman hidup Rasulullah dan cerita-cerita lain dari sejarah Islam untuk anak-anak. Ia juga menulis beberapa cerita pendek, sajak-sajak, dan kritik sastra untuk ceraman ilmiah dan media massa, seperti koran-koran Al-Ahram, Al-Mishry, Ar-Risalah, Al-Balagh, dan Ats-Tsagafah.
Buku perdananya terbit dengan judul Tashwirul Fanni fil Qur’an (Cerita Keindahan dalam Al-Quran) pada 1944. Pada 1947 muncul lagi bukunya An-Naqdul Adaby: Ushuluhu wa Manahijuhu (Kritik Sastra: Prinsip Dasar dan Metodenya), dan disusul Musyahidatu Yaumil Qiyamah fil-Quran (Kenyataan-kenyataan Hari Kiamat dalam Al-Quran). Pada 1948, ia menerbitkan majalah Al-F ikrul Jadid (Pemikiran Baru) sebagai media untuk menuangkan ide-ide pemikirannya, tapi majalah ini dibredel setelah terbit sebanyak delapan nomor oleh pemerintah karena dianggap membawa paham fundamentalis.
Sebelum berangkat ke Amerika, Quthub berkon-sultasi dengan Hasan Al-Banna mengenai buku yang hendak diterbitkannya berjudul Al-Adalatul ljtimaiyah fil-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam) pacla1949. Dua tahun kemudian menerbitkan dua buku berjudul Ma’arakatul Islam war Ra’sumaliyyah (Pergumulan antara Islam dan Kapitalisme) dan As-Salamul Alami wal-Islam (Perdamaian Dunia dan Islam). Dalam buku-buku ini, Quthub menegaskan kemampuan Islam untuk menjadi ideologi bagi manusia pada pertengahan abad ke-20. Islam punya jawaban untuk segala problem sosial dan politik. Islam juga menyodorkan kemungkinan untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan padu. Kajian-kajian dalam buku-buku itu juga menunjukkan perpaduan agak khas antara penalaran naturalistis, polemik, dan apologetik.
Kecuali itu, Quthub juga menulis beberapa buku. Di antaranya, Al-Mustaqbal li Hadzad Din (Masa Depan Agama Ini) 1956, Al-Islam wa MusykilatuI Hadarah (Islam dan Problem Peradaban) pada 1960, Khasha’ishu Tashwiraatil Islam wa Maqamatuhu (Ciri dan Nilai Visi Islam) pada 1960, Ma’alim fith-Thariq (Rambu-rambu Jalan) pada 1964, Fit Tarikh: Fikrah wa Manahij (Sejarah: Pemikiran dan Metodologi), Nahwa Mujtama’ Islami (Menuju Pembentukan Masyarakat Islam), Ma’rakatuna ma’ al Yahud (Perbenturan Kita dengan Yahudi), dan Fiqhul Harakah (Doktrin Pergerakan). Di penjara pun ia tak berhenti menulis. Tak kurang, tiga buku dihasilkannya, yaitu Tafsir Fi Zliilalil Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an) pada 1952-1965, Afrahur Ruh (Kepuasan Jiwa), dan Li Madza A’damuni? (Mengapa Saya Dihukum Mati?) (1965). Dalam buku-buku tersebut, Quthub menjadikan Al-Quran dan hadis Nabi sebagai dasar pemikiran dan pergerakannya.
Fatwa Politik
Dalam bukunya tentang para perintis zaman baru Islam, Charles Tripp memaparkan visi dan konsepsi politik Quthub. Lektor Senior pada Departemen Studi Politik, School of Oriental and African Studies, London University, ini mengatakan bahwa ada dua tema utama dalam tulisan-tulisan politik Quthub. Tema pertama mengenai tujuan politik, yaitu watak umat Islam dan hubungannya dengan individu. Tema kedua mengenai sarana untuk mewujudkan tujuan itu.
Dalam buku-buku yang agak lebih awal, pemikiran Quthub dipengaruhi oleh liberalisme Barat, khususnya paham sosialisme, atau setidaknya oleh para pembaru Islam yang pola pikirnya merujuk pada paham tersebut. Tapi bela-kangan, ia mencoba melepaskan itu. Ketika memulai terjun ke dunia lewat panggung IM, misalnya, ia berusaha mendiagnosis penyakit masyarakatnya, dan memberikan resep penyembuhannya dengan doktrin Islam.
Dalam tulisan yang digarap menjelang akhir hayatnya, dengan sadar Quthub mencoba membebas-kan pemikirannya dari pengaruh pemikiran-pemikiran “asing” itu. Visi politik Quthub pun didasarkan atas landasan khas Islam.
Tripp menyimpulkan bahwa pandangan politik Quthub merupakan pandangan kesempurnaan, yang ingin mengembalikan keselarasan antara langit dan bumi, antara manusia dan alam semesta, -antarindividu, dan antara manusia dan Penciptanya. Untuk merealisasikan visi kesempurnaannya itu, Quthub menyerukan agar setiap manusia menggunakan nalar rasionya dan juga aktif menerapkan hukum Allah dalam kehidupan ini.
Pengaruh Quthub. Memang sulit untuk melacak pengaruh gerakan dan tulisan-tulisan Quthub dalam dunia pemikiran Islam. Ada satu saat ketika jejak langkah perjuangan Quthub tidak diikuti dan bahkah ditolak. Buku-bukunya juga dijauhi. Menurut anggapan mereka, buku-buku Quthub terbukti dipakai pengadilan untuk menjatuhkan hukuman gantung kepadanya. Dalam buku-buku itu, ia menganjurkan dan berencana menggulingkan pemerintah Mesir dengan cara kekerasan. Bahkan, ia dituduh mencoba membunuh Presiden Nasser. Mereka beranggapan, bila buku-buku itu dijadikan landasan pemikiran mereka, maka itu berarti mereka bisa digolongkan ke dalam kelompok Quthub.
Sebenarnya, kematian Quthub di tiang gantungan justru memperkuat pengaruhnya di banyak kalangan generasi muslim. Lebih kurang 20 tahun lalu misalnya bermunculan kelompok-kelompok di Mesir yang menamakan diri quthbiyyin, pengikut Quthub atau Quthubis.
Kesyahidannya mempunyai arti penting dalam memotivasi semangat para pengikutnya melawan rezim yang jelas-jelas memusuhi seruannya untuk berpegang teguh pada ajaran Islam. Kesyahidannya juga melahirkan keyakinan di hati pengikutnya bahwa kekerasan negara harus dihadapi dengan kekerasan pula, agar cita-cita Islam dapat dipertahankan dan struktur negara jahiliah yang tiran dapat dibongkar dan diperbarui dengan struktur negara berdasarkan Islam.
Ada sebagian kalangan yang menolak buku-buku Quthub karena dianggap berbau semangat khawarijisme. Buku-buku itu juga dipandang sebagai manifesto aksi politik. Namun, menurut Tripp, tak semua generasi muslim setuju bahwa buku-buku Quthub mengandung implikasi politik subversif. Muhammad Quthub, saudara kandung Sayyid Quthub, misalnya menjelaskan bahwa seruan aksi Quthub tidak dimaksudkan untuk memprovokasi kekerasan fisik. Sayid Quthub, tuturnya, hanya ingin mengetuk kesadaran kaum muslimin dalam mempertahankan iman.
Buku-buku Quthub harus dipandang sebagai media seruan jihad. Ia mengajak kaum muslimin untuk berjihad melawan kekuatan jahiliah, tirani, dan otoriter. Jihad yang dianjurkan Quthub adalah upaya batiniah untuk membangun basis iman yang kuat dan menyampaikan iman kepada masyarakat melalui khutbah dan persuasi. Muhammad Quthub dan mereka yang mengikutinya, kata Tripp, memang cenderung menekankan segi intelektual dan moral dari seruan Quthub untuk menjadikan Islam sebagai praktik yang dinamis, bukan untuk menjerumuskan masyarakat ke jurang kehancuran. Quthub ingin membangun masyarakat dengan kekuatan iman yang dilandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunah Nabi Muhammad SAW. ■
Penulis: Idrls Thaha, alumnus Jurusan AkIdah dan FlIsalat, Fakultas Ushuluddin, IAIN Syarif. HIdayatullah, Jakarta. Dr. Idris Thaha kini mengajar di FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Sumber: Panji Masyarakat, 7 Juli 1997.