Bintang Zaman Sayid Quthub

Sayid Quthub (2): Pemikir dan Ideolog Ikhwan

Written by Panji Masyarakat

Menulis dan berdakwah menjadi pilihan buat jalur perjuangan Quthub. Karya-karya ilmiah dan ceramah-ceramahnya adalah media kritik terhadap pemerintah Presiden Gamal Abdul Nasser. Karena kritiknya dipandang cukup keras, maka ,pada sekitar bulan Mei 1955 M /1374 H Quthub dan tokoh-tokoh pentolan Al-Ikhwanul Muslimun (IM) lainnya ditangkap, sedang organisasi itu sendiri telah dilarang oleh Presiden Nasser atas tuduhan berkomplot untuk menggulingkan pemerintah. Selama interogasi, Quthub kabarnya mengalami berbagai tindak penyiksaan.

Disetrum di atas kursi listrik, tidak diberi makan dan minum selama empat hari penuh, digebuk dan disiram air keras hingga matanya buta. Ini kemudian berpuncak pada Pengadilan Rakyat tanggal 13 Juli 1955 yang menghukumnya lima tahun kerja paksa.
Karena kerja berat dan penyiksaan itu, kondisi tubuh Quthub melemah drastis dan kesehatannya memburuk. Penyakit paru-parunya semakin ganas menyerang. Tapi, dalam kondisi demikian pun, ia mesti berpindah beberapa kali untuk merasakan penjara-penjara di berbagai tempat.

Atas permintaan Presiden Irak Abdul Salam Arif, ia dibebaskan pada 1964. Waktu itu ia sedang terbaring di rumah sakit penjara. Namun, baru setahun menikmati alam bebas, Quthub dan tiga saudaranya (Muhammad Quthub, Hamidah, dan Aminah) bersama kira-kira 20.000 orang lainya kembali masuk penjara. Presiden Nasser tak bisa tenang hatinya, dan ia meneguhkan tuduhannya bahwa IM masih berkomplot untuk membunuhnya, melakukan aktivitas subversif dan agitasi antipemerintah. Rezim Nasser lalu menjatuhkan hukuman mati kepada Quthub dan dua temannya.


Dalam bukunya Mengapa Saya Dihukum Mati? Quthub mengakui bahwa dirinya hanya mengetahui sedikit sekali mengenai IM. Ia berada di negari Paman Sam, ketika tokoh utama Ikhawanul Muslimin, Hasan AI-Banna, dibunuh pada 1949.


Sekembali ke Mesir, pada 1950, Quthub diminta menjelaskan pemikiran-pemikirannya oleh beberapa pemuda IM. Permintaan mereka tidak langsung diiyakan oleh Quthub. Namun, karena melihat perkembangan pemerintahan yang semakin menyimpang dari nilai-nilai Islam, Quthub mulai larut berjuang.


Quthub mulai tenggelam dalam polemik sengit menentang kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah mengenai sistem monopoli dan kapitalisme. Saat itu, Mesir memang sedang dilanda krisis politik yang berbuntut pada terjadinya kudeta militer pada Juli 1952.


Semakin lama hubungan Quthub dengan gerakan IM semakin erat. “Gerakan tersebut merupakan medan yang-luas untuk menjalankan syariat Islam secara menyeluruh. Gerakan itu tidak tertandingi dalam hal kesanggupannya menghadang rencana-rencana zionisme dan salibisme-kolonialisme,” begitu dia berkomentar. Pada 1953 ia menyatakan diri bergabung dengan IM, dan menjadi tokoh yang berpengaruh—sebagai pemikir dan ideolognya—di samping Hasan A1-Hudaibi dan Abdul Qadir Audah. Ia melihat IM sebagai organisasi yang bertujuan mewujudkan kembali masyarakat dan politik Islam.


Di gerakan ini ia dipercaya memimpin bagian dakwah, diutus menghadiri konferensi, dan sering berceramah tentang akhlak sebagai prasyarat bagi kebangkitan umat. Pada Juli 1954, Quthub menjadi pemimpin redaksi harian Al-khzvanul Muslimun, tapi baru dua bulan terbit, harian itu dibredel atas perintah Nasser karena mengecam perjanjian Mesir-Inggris 7 Juli 1954.


Menurut Quthub, tokoh-tokoh IM telah bersepakat bahwa gerakan mereka tidak akan menggunakan cara kekerasan guna menggulingkan pemerintahan dan memberlakukan syariat Islam. Dan, mereka juga telah setuju bahwa bila IM diserang dengan kekerasan, maka mereka akan membalas serangan tersebut. Bagi Quthub, berpegang pada garis Al-Quran dalam surah Al-Baciarah: 194, “Barangsiapa menyerang kamu, maka seranglah ia, yang seimbang dengan serangannya terhadapmu.” (Bersambung)

Penulis: Idrls Thaha, alumnus Jurusan AkIdah dan FlIsalat, Fakultas Ushuluddin, IAIN Syarif. HIdayatullah, Jakarta. Dr. Idris Thaha kini mengajar di FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Sumber: Panji Masyarakat, 7 Juli 1997.

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda