Ads
Tafsir

Ilmu Qiraat dan Tafsir

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Untuk menentukan sahnya satu jenis bacaan, ulama ahli qiraat memberikan tiga syarat. Pertama, ia harus memiliki sanad mutawatir, Yakni mata rantai yang bukan hanya bersambung ke sumber pertama, melainkan para periwayatnya sendiri “tidak terhitung” ba-nyaknya di semua generasi. Kedua, karena itu pula, ia cocok dengan Rasm ‘Utsmani, ejaan Qur’an Mushaf Utsman. Dan sejalan dengan itu, yang ketiga, ia cocok dengan kaidah bahasa Arab.


Qiraat apa pun, yang tidak memenuhi semua atau salah satu dari tiga syarat di atas, disebut Qiraat Syadz (syaadzdz). Ini terdiri dari beberapa jenis: aahaad (soliter, atau diriwayatkan oleh sangat sedikit orang), mudraj (mendapat sisipan), dan maudhu’ (bikinan). Berdasarkan penelitian, qiraat yang dianggap sah dan mutawatir hanyalah yang diriwavatkan 10 imam: Nafi’, Ibn Katsir, Abu Amr Al-Bashri, IbnAmr, Hamzah, Kisai, Abu Ja’far, Yarqub, dan Khalaf (Al-Qadhi, Al-Qiruatusy Syadzdzah Mujihuha Lughatil Arab, 9).


Berbagai perbedaan qiraat sebenarnya lahir dari tiga hal. Pertama, dialek. Misainya dalam wujud imalah (pemiringan bunyi vokal, yakni a yang menjadi seperti e Batak), taqlil (a menjadi e Betawi) maupun tafkhim ( a menjadi o jawa). (Lihat: Al-Quran dalam Tujuh Wajah). Atau idgham (dengung, seperti pada innallaha). Perbedaan kedua karena perbedaan kata. Ini dua macam: yang berlainan lafalnya tapi sama artinya, dan yang berlainan lafal maupun arti. Sedangkan perbedaan ketiga karena penyisipan kata dalam ayat (mudraj).


Sekarang kita telusuri perbedaan qiraat yang punya dampak dalam penafsiran ayat. Pertama, yang menyangkut aspek balaghi (sugesti bahasa), yang banyak kembali kepada fiqhul lughah (“fikih bahasa”, filologi). Misalnya, kata futihat pada ayat: “Hatta idza futihat ya’juuju wa ma’juuju… (“Sehingga bila dibukakan (tembok) Ya’uj dan Ma’juj”; QS 2.1: 96) bisa dibaca futtihat. Artinya sama, hanya tekanan pada kata kedua lebih besar. Futtihat bermakna “dibukakan di banyak tempat dan atau berulang-ulang”, sementara futihat hanya berarti “dibukakan” (Ibnui Jazari, An-Nasyr fil-QiraatiI Qur’an II:258).


Dampak kedua pada aspek hukum. Ini banyak terdapat pada qiraat syadz, yang “di luar garis” tadi, sesementara dalam qiraat mutawatir (yang sah) hanya sedikit. Misalnya ayat Walaa taqrabuuhunna hattaa yathhurna (“Dan janganlah kamu (suami) mendekati mereka (menyanggamai istri) sampai mereka suci (selesai dari haidh Q.S. 2: 222). Tapi Imam-imam Hamzah, Kisai, Khalaf, dan Syu’bah membaca yathhurna dengan yaththahharna. Artinya: bersuci. Akibat hukumnya: sampai si istri mandi jinabat”. Kedua qiraat itu sah.


Contoh kedua: Inimru-un halaka laisa luhuu waladun wa lahuu ukhtun… (“Kalau orang meninggal tanpa punya anak tapi punya saudara perempuan…”; QS 4: 176). Sa’d ibn Abi Waqqash r.a. membacanya: lahuu ukhtun min ummin (“…punya saudara perempuan seibu…”). Qiraat ini syadz, karena tidak bisa masuk ke model tulisan Qur’an kita (Rasm Utsmani). Namun ulama sepakat bahwa yang dimaksud ayat tersebut memang saudara perempuan seibu. (lbnul Jazari, I: 28).


Dampak ketiga: yang tidak bersifat kebahasaan dan arti hukum. Ayat Q.S. 55: 22 berbunyi: Yakhruju minhumal lu’lu-u wal-marjaan (“Dari keduanya keluar mutiara dan marjan”). Imam-imam Abu Ja`far, Nafi’, Abu Amr, dan Yaiqub membacanya sebagai: Yukhraju minhumal lu’lu-u wal marjaan (“Dari keduanya dikeluarkan mutiara…”). Keduanya tidak berbeda dari segi plastisitas bahasa, tapi berlainan konotasi. “Dikeluarkan” (qiraat kedua) mengkonotasikan imbauan kepada kita untuk mengupayakan keluarnya mutiara dan marjan itu. (lbnul Jazari, II:308).


Contoh kedua adalah QS 62: 9: Yaa aiyuhal-ladziina aamanuu idzaa nuudia lish-shalaati min yaumil jum’ ati fas’au ilaa dzikrillah…(“Wahai orang-orang beriman, bila diserukan sembahyang di hari Jum’at bersegeralah kamu ke arah zikir kepada Allah…”) Umar (pernah) membaca fas’au (bersegeralah) itu dengan famdhuu (datanglah). Perbedaannya: yang pertama menunjukkan kecepatan tindakan, sedangkan bacaan Umar tidak. Tidak ada perbedaan hukum, tapi bacaan kedua itu syadz.


Penulis: Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Sumber: Panji Masyarakat, 16 Juni 1997.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda