Hidup ini hanyalah sebuah jembatan gantung, kecil dan sangat lemah, yang melintasi jalan menuju maut. Adikku, andaikata maut itu sendiri mempunyai kekuatan untuk berbuat sesuatu, sudah pasti hidup ini macet dan sudah lama kehidupan ini mandek. Tetapi adikku, ternyata maut hanyalah kekuatan kecil dan lemah, tak kuasa dibandingkan dengan kekuatan hidup ini.
Jika hidup kita untuk akidah dan kehidupan kita bersama dengan orang lain, maka terasalah hidup ini cukup luas dan panjang. Ia lahir bersama dengan kemanusiaan dan akan mati setelah ruh terlepas dari jasad kasar ini. Sungguh kita akan merasa sangat berbahagia dan puas. Umur kita berlipat ganda. itulah kebahagiaan yang hakiki. Kenyataan inilah yang disebut “realitas” dan “hakiki”, bukan imajinasi kaum realistis materialistis itu.
Saya tidak pernah memperhitungkan rasa takut mati, walaupun maut akan datang secara tiba-tiba, sebab saya sudah banyak mengambil dari kehidupan ini. Artinya, saya sudah “memberi”. Di luar perhitungan saya bahwa maut bisa datang sewaktu-waktu. Maka dari itu, saya tidak pernah merasa takut, sebab saya sudah berbuat menurut kadar kemampuan saya untuk berbuat sesuatu. Banyak sekali amal yang ingin saya lakukan selama hidup, namun sayang seribu sayang, umur saya tidak bisa diperpanjang lagi, sedangkan di sana banyak orang lain yang bisa berbuat lebih banyak dengan mengumpulkan benda-benda, karena benda-benda itu bisa kekal juga bila ia dijadikan amal jariah. Saya sudah berusaha untuk menjadi penghuni dunia yang baik menurut kemampuan saya. Mengenai kesalahan dan dosa-dosa saya sendiri, saya sangat menyesalinya.
Surat itu dikirim Sayid Quthub kepada adik-adiknya menjelang maut menjemputnya di tiang gantungan pada akhir Agustus 1966. Ia adalah contoh tentang seseorang : yang semula mendapat fasilitas dari pemerintah, tapi : justru kemudian berbalik memusuhinya. Ia juga belajar i dan kini meyakini kekuatan Islam di Amerika Serikat dan beberapa negeri Barat lainnya, yang nota bene merupakan basis materialisme.
Quthub adalah pegawai Kementerian Pendidikan Mesir, sebagai pengawas sekolah, ketika ia mendapat fasilitas untuk memperdalam ilmu pendidikan di AS. Masa tinggalnya yang dua tahun di sana dan pengembaraannya ke berbagai kota di negeri Paman Sam itu, yang kemudian diteruskan ke Swiss, Inggris, dan Italia, bukan saja memperluas wawasannya mengenai problem-problem sosial, tapi juga membuka matanya lebar-lebar akan betapa berbahayanya materialisme. Kegersangan akan nilai-nilai ketuhanan yang menjadi watak ataupun implikasi dari materialisme dia pandang telah menjadi semacam rabuk buat benih-benih gejolak dan permasalahan sosial. Dari situ terbitlah keyakinan yang semakin kuat di hatinya tentang keampuhan ajaran Islam sebagai obat penangkal dan penawar bagi materialisme.
Keyakinan terhadap Islam sebagai solusi itu lantas saja mempertajam analisisnya mengenai anatomi Mesir dari sudut moralitas dan sekaligus, kelak, mengentalkan oposisinya terhadap rezim berkuasa, yang waktu itu dipimpin Presiden Abdel Nasser, yang sosialis. Meski begitu, hingga akhir hayatnya di tiang gantungan, dia tetap memilih jalur intelektual dan kultural untuk mengubah tatanan dan mengganti rezim di Mesir—yakni lewat tulisan, ceramah, dan buku-buku. Maka, lahirlah dari tangannya yang penuh getaran jihad, puluhan buku dalam berbagai disiplin, yang sebagiannya tak asing bagi mahasiswa dan intelektual muslim di mancanegara, termasuk di Indonesia. Buku-buku itu, konon, telah mengilhami sementara gerakan, harakah, di banyak tempat.
Quthub lahir pada tahun 1906 M/1325 H di sebuah dusun, di dataran tinggi Mesir. Walau bukan dari kalangan berada dan bangsawan, orang tuanya yang hafal Al-Quran memiliki semangat untuk mendidik anak-anaknya. Usia enam tahun, Quthub masuk ke madrasah ibtidaiyah, dan menyelesaikannya dalam tempo singkat, empat tahun. Pada masa anak-anak itu, Quthub telah hafal Al-Quran. Setamat dari mu’allimin (setingkat dengan SLTP-SLTA), ia dan keluarganya pindah ke Halwah, daerah di pinggiran Kairo. Ini dimaksudkan supaya ia bisa kuliah di Tajhiziyah Darul Ulum, kini Universitas Kairo. Di perguruan bergengsi ini, ia memperoleh dua gelar: Licence (Lc) dalam bidang sastra dan Diploma dalam bidang ilmu pendidikan (1933).
Lepas dari sana, Quthub memilih bergelut menjadi guru dan pengawas sekolah pada Kementerian Pen-didikan, hingga mengundurkan diri pada 1953. Ketika menjadi pegawai, dia diutus dan mendapat tugas memperdalam pengetahuan dalam bidang pendidikan di Amerika Serikat (1948-1950). Di sana, walau hanya dua tahun, ia mampu belajar di tiga lembaga pendidikan: Wilson’s Teacher’s College di Washington DC, Greeley College di Colorado, dan Stanford University di California.
Selama tinggal di Amerika, sebagian dari masyarakat Mesir sedang menghadapi imperialisme Inggris yang mengancam perkembangan sejarah Islam. Karena itu, ketika hampir mencapai gelar doktor, Quthub segera pulang ke tanah airnya untuk berjuang menyelamatkan umat Islam dan bangsanya dari kebobrokan moral dan mental akibat materialisme, individualisme, kapitalisme, dan sekularisme.
Quthub juga melanglang ke beberapa negara besar, seperti Swiss dan Italia. Dari negara-negara yang dikunjungi, Quthub berhasil memetik hikmah dan menambah luas wawasan intelektualnya mengenai problem sosial masyarakat yang ditimbulkan oleh paham-paham `menyesatkan’ itu. Ia semakin yakin bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh dunia, yang sanggup membendung dan menyelamatkan umat manusia dari paham-paham tadi. (Bersambung)
Penulis: Idrls Thaha, alumnus Jurusan AkIdah dan FlIsalat, Fakultas Ushuluddin, IAIN Syarif. HIdayatullah, Jakarta. Dr. Idris Thaha kini mengajar di FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Sumber: Panji Masyarakat, 7 Juli 1997.