Tafsir

Al-Qur’an dalam Tujuh Wajah

Written by Panji Masyarakat

Pernah, dua puluhan tahun lalu, seorang pemuka Islam punya pikiran unik. Ia ingin menyetop pembacaan Quran dengan berbagai model qiraat, yang menurut dia “hanya membingungkan umat”. Misalnya qiraat qari internasional kita, Mu’ammar Z.A. Ia melagukan Qur’an dengan banyak pengulangan, dengan masing-masingnya mengan-dung beberapa perbedaan pada pengucapan.
Contoh yang mudah, yang sering Anda dengar, adalah yang berhubungan dengan vokal. Surah Adh-Dhuha (Q. 93) berbunyi: Wadh-dhuhaa, Wal-laili idzaa sajaa, Maa wadda’ aka rabbuka wa maa qalaa, dan seterusnya. Vokal a di akhir ayat-ayat itu terkadang (dan memang boleh) diucapkan e (hampir seperti e pada orang Batak yang mengucapkan “terlalu”), bisa pula seperti e sebagai pengganti a pada dialek Betawi. Sementara itu kata ash-sholaah terkadang diucapkan ash-sholooh (dengan o Jawa).
Perbedaan pengucapan kata ganti bisa diberi contoh dengan ‘alaihim (kepada mereka), yang bisa diucapkan ‘alaihimii, ‘alaihimuu, ‘alaihumuu, atau ‘alaihum, tergantung mazhab qiraatnya. Contoh lain, tentang “penyembunyian”, misalnya kata-kata mu’miniin yang diucapkan muuminiin, an aaminuu yang diucapkan anaaminuu , seperti juga innal insaana dibaca innalinsaana.


Contoh deformasi kata (tashrif, sharaf) misalnya fid-yatun tha’ aamu miskiin (fidyah makanan satu orang miskin) yang bisa dibaca fidyatu tha’ aami masaakiin (fidyah berupa makanan orang-orang miskin). Ada sekaligus perubahan arti kata, tapi bukan maksud kalimat.


Contoh penambahan kata: ungkapan fajiddatun min ayyaamin ukhar (“maka terdapat sejumlah hari-hari lain”) pada satu versi qiraat Mu’ammar disambung dengan tambahan mutataabi’ aat (“berturut-turut”). Ayat itu (QS 2: 184, juga 185) sebenarnya menerangkan bahwa yang sakit atau bepergian boleh tidak berpuasa, dan menggantinya dengan puasa di hari-hari lain di luar Ramadan. Tambahan “berturut-turut” (sekaligus, boleh dicicil) itu menunjuk pada pelaksanaan perintah bayaran puasa itu—yang pada qiraat standar tidak ada. Memang, selain penambahan itu menyangkut masalah keabsahan qiraat, juga terdapat implikasi hukum di Ilmu Qiraat dan Tafsir.


Tetapi lebih dari penambahan adalah pengurangan. Setidak-tidaknya seperti pada Mu’ammar, ayat terakhir Al-Ikhlash ia baca beberapa versinya: Walam yakun lahuu kufuan ahad, kufwan ahad, kuf-an ahad, dan, Walam yakun lahuu kufaa. Yang terakhir ini yang jadi masalah. Kufaa memang ada, dan hanya dibaca demikian dalam keadaan waqf (berhenti), untuk diulang (dalam bentuk tasrif lain) dan disambungkan pada ahad. Dan memang Mu’ammar membacanya dalam keadaan waqf. Hanya saja ia tidak mengulang dan menyempurnakan ayat itu—sehingga orang bisa mengira bahwa, dalam versi qiraat tertentu, ayat terakhir itu memang begitulah bunyinya. Padahal tidak. Di sini kita boleh teringat “kekhawatiran” sang pemuka Islam di muka.


Versi Hafsh dan Syu’bah
Ini memang masih pembicaraan (yang terakhir) tentang aspek ritualitas Qur’an (lihat Panji 26 Mei, 2 Juni, 9 Juni 1887). Contoh-contoh di atas itu dipungut dari berbagai aliran qiraat. Dan tidak bisa dipakai secara campur baur. Adapun mazhab bacaan yang digunakan mayoritas muslimin dewasa ini adalah qiraat Hafsh. Ini bersumber pada Ashim, yang memuat versi-versi Hafsh dan Syu’bah, tapi Hafsh lebih populer. Ia termasuk dalam Aliran Tujuh (Qiraat Sab’ ah). Dasar keabsahannya adalah sabda Nabi s.a.w.: “Al-Qur’an. diturunkan pada tujuh huruf.” Huruf punya banyak arti: selain huruf pada abjad, juga antara lain “wajah”. Dan “wajah-wajah” Quran adalah berbagai “bahasa” Arab yang dipakainya, dari berbagai kabilah Arab di masa Nabi. (Asy-Syarqani, Manahilul Irfan, I, 146).


“Tujuh” itu sendiri’ bisa berarti ‘tujuh’, tapi juga bisa bilangan ancar-ancar’. Yang penting sebenarnya bukan jumlahnya, tetapi qiraat-qiraat mana yang menurut rekaman dipakai para sahabat Nabi—yang kemudian menumbuhkan tujuh model yang absah, yang ditambah dengan tiga yang bernilai di bawahnya menjadi Aliran Sepuluh (Qiraat Asyrah).


Bukhari dan Muslim memuat penuturan Umar ibnul-Khattab r.a. Suatu hari Umar mendengar Hisyam Ibn Hakim r.a. membaca surah Al-Furqan, dalam salat, secara banyak sekali perbedaannya dengan yang didengarnya dari Nabi s.a.w. Umar mencekalnya dan membawanya ke hadapan Nabi. Nabi kemudian menyuruh Hisyam membaca. Selesai, Nabi berkomentar: “Demikianlah ia (Qur’an) diturunkan.” Lalu melanjutkan, “Qur’an ini diturunkan pada tujuh wajah. Jadi bacalah secara yang mudah untuk kamu.”
Adapun masalah penambahan kata dalam ayat, seperti yang dibaca Mu’ammar, sebenarnya disebut penambahan karena ukuran kita Mushaf Utsmani. Ini adalah hasil sebuah proyek yang digerakkan Khalifah Utsman untuk membuat standar penulisan Quran, dari bacaan yang mengandung banyak perbedaan tapi semuanya (yang dipilih) diasumsikan sebagai disahkan Nabi. Ejaan yang digunakan, berdasarkan karakter tulisan Arab yang longgar, bisa dipakai untuk lebih dari satu pembacaan, tapi bukan yang “terlalu jauh”.


Contoh: huruf-huruf mim, sin, kaf, ya, dan nun (m-s-k-i-n), misalnya, dalam Mushaf Utsmani, bisa dibaca miskiin, bisa pula masaakiin. Mim, lam, dan Icaf (m-l-k) bisa dibaca maliki,maaliki, milki, milkun, milku, maliku, malikun, mulk. Huruf-huruf shad, lam, waw, dan ta’ bundar (sh-l-w-t) bisa dipakai membaca sholaat, bisa juga sholooh.


Tetapi tetap terdapat beberapa sahabat yang punya catatan Qur’an sendiri, meski tidak diberlakukan. Di situ, terkadang, mereka tergerak menuliskan “sedikit tafsir” tentang satu bagian ayat yang agaknya mereka ragukan pengertiannya, yang lalu bercampur dengan tulisan ayatnya. Seperti dalam kasus mutataabi’ aat yang dibaca Mu’ammar itu —dari penulisan Ibn Mas’ud r.a. Yang jadi sebab, seperti dikatakan Yusuf Qardhawi dalam Hadyul Islam, Fatawi Mu’ ashirah, “Waktu itu belum ada teori (cara; pen.) penulisan untuk membedakan mana lafal asli dan mana yang penafsiran, misalnya tanda kurung atau tinta berwarna …” (Fatwa-fatwa Kontemporer, I, 85).


Walhasil, beberapa “penyimpangan” memang ada—dan semuanya terekam (dalam ilmu qiraat), dan karena itu bisa dilokalisasi, dengan penggunaan khususnya sebagai rujukan dalam tafsir. Dengan demikian, mestinya, ia juga tidak dibacakan di tengah publik. (Bersambung)


Penulis: Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Sumber: Panji Masyarakat, 16 Juni 1997.

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda