Ads
Cakrawala

Zionisme, Nasionalisme Arab dan Palestina

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Zionisme dan nasionalisme Arab bisakah damai? Pertanyaan ini mungkin tak terlalu mengada-mengada. Hampir seabad sudah sejak istilah Zionisme popular digunakan sebagai nama ideologi gerakan Yahudi internasional untuk mendirikan tanah air di Palestina, perdamaian tetap merupakan fatamorgana. Presiden Mesir, Anwar Sadat almarhum, pernah duduk semeja dengan perdana Menteri Israel, Menachem Begin di Camp David, seraya sambal tersenyum di saksikan Presiden AS Jimmy Carter, tapi hal ini kemudian harus dia bayar mahal dan menjadi sebuah “dosa tak berampun” yang turut mendorong pembunuhannya oleh kelompok Tafkir wa al-hijrah pada 6 Oktober 1981. Dan kepingin perdamaian yang ia usahakan kemudian menjadi kabur terpantul ke kaca buram politik Timur Tengah.

Pertanyaan di atas tetap mengganggu pikiran saya. Ketika saya telah duduk untuk mengikuti mata kuliah. “Zionisme dan Nasionalisme Arab” untuk semester musim semi yang lalu diberikan secara panel oleh tiga orang guru besar. Satu guru besar Yahudi, satu guru besar asal Palestina, dan yang ketiga asli Amerika. Guru besar Yahudi ini kelihatan adalah keturunan Yahudi imigran dari Eropa Timur. Di samping menjadi dosen ia juga adalah seorang rabbi (Pendeta) agama Yahudi dan memimpin sebuah sinagog (rumah ibadat Yahudi) di Kawasan New Jersey, serta produktif menulis buku-buku tentang gagasan Zionisme. Guru besar kedua adalah orang asli Palestina, tapi dibesarkan di Amerika, sehingga aksen Arab tak kentara sama sekali dalam bahasa Inggrisnya. Orang Palestina yang berperawakan kecil ini juga banyak menulis tentang nasionalisme Arab dan masalah bangsa Palestina. Guru besar ketiga – sambal setengah melucu – mengaku adalah orang Amerika WASP (White, Anglo Saxson, Protestant), dan menyatakan seolah menjadi “wasit” dalam kelangsungan kuliah.

Zionisme dan nasionalisme Arab, bisakah damai? Bisakah sebuah forum akademis dan ilmiah di perguruan tinggi “mendamaikan” dua ideologi atau kekuatan yang telah, sedang, atau terus bertarung? Secara formal dan superfisicial (dangkal, di permukaan) nampaknya bisa. Buktinya, kuliah bisa berlangsung selama satu semester, tanpa adu jotos; dan sekitar 150 mahasiswa – mayoritasnya Yahudi – kelihatan mangut-mangut dan tidak pula sampai adu tinju dengan beberapa gelintir mahasiswa Arab di kelas yang sama. Meskipun sementara itu di luar kelas, organisasi mahasiswa Yahudi dan organisasi mahasiswa Arab saling mengumbar kata-kata marah. Pasalnya? Organisasi mahasiswa Arab menuduh mahasiswa Yahudi menyabot kegiatan-kegiatan mereka dengan menyobek pamflet-pamflet pengumuman mereka yang di tempelkan di sekitar kampus. Organisasi mahasiswa Yahudi tentu saja membantah, dan bahkan balik menuduh mahasiswa Arab sebagai biang kerok lenyapnya pamflet-pamflet kegiatan mereka. Adu mulut melebar ke koran kampus Columbia Spector. Perang di Timur Tengah mewujudkan diri secara kecil-kecilan di kampus Columbia University.

Zionisme dan nasionalisme Arab, bisakah damai di Columbia? Apakah “damai” dalam forum akademis memberikan kesempatan untuk mengungkapkan fakta-fakta historis secara tuntas dan obyektif? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini ternyata mengundang diselenggarakannya seminar khusus oleh kalangan akademis di kampus tentang mata kuliah yang unik ini.

Pada batas tertentu, ada kesan-kesan bahwa “obyektivitas” ilmiah diusahakan semaksimal mungkin dalam membahas fakta-fakta dalam historis yang ada. Namun pembicara seolah mengelak untuk fakta yang mungkin dinilai “sensitif”. Sebut saja misalnya tindakan terror yangb dilakukan kelompok teroris Yahudi Stern di bawah pimpinan Menachem Begin dan kelompok Irgun atau kelompok Black September Palestina. Kedua kelompok teroris Yahudi ini bertanggung jawab melakukan pembunuhan atas Menteri Negara Inggris, Lord Moyne di Kairo pada 6 November 1946 dengan korban tak kurang 91 orang tewas. Kelompok Yahudi ini juga secara konstan melakukan penyerangan dan penyergapan ke perkampungan Arab sebelum terwujudnya negara Israel.

Zionisme dan Terorisme
Absahkah tindak kekerasan seperti ini dalam upaya mencapai suatu cita-cita kebangsaan? Sang profesor Yahudi menganggap bahwa pertanyaan ini tidak relevan, karena menurutnya tidak ada persoalan absah (legitimate) dan tidak abash (illegitimate) dalam hal ini. Ia berdalih bahwa pembatasan masalah ini sangat kabur, karena absah atau tidaknya suatu tindakan tergantung dari sudut pandang siapa yang menilai. Dengan kerangka pikiran seperti itu, jelas ia absah adanya eksistensi negara Israel, meskipun itu dilakukan dengan mengorbankan bangsa Arab Palestina. Lalu bagaimanakah tentang tindakan kekerasan pejuang Palestina, misalnya di bawah pimpinan Abu Musa? “Dia adalah bastard (anak jadah)”, ujarnya tanpa malu-malu dalam sesi diskusi.

Persoalan tindak kekerasan, katakanlah terorisme ini kembali mendapat sorotan khusus pada sesi terakhir kuliah. Profesor Amerika yang WASP tadi – kini di akhir kuliah sambal tersenyum mengatakan bahwa ia sudah menjadi semacam Jimmy Carter yang berhasil membawa Anwar Sadat dan Menachem Begin ke meja perundingan – menyatakan bahwa tindak kekerasan atau terorisme tak bisa terelakkan (inheren) dalam setiap gerakan nasionalisme semacam Zionisme atau nasionalisme Arab (kini tepatnya nasionalisme Palestina). Terorisme adalah suatu alat, di samping sarana lain semacam diplomasi, untuk mencapai tujuan politik. Karenanya, terorisme seperti juga perang dan diplomasi absah belaka. Dalam konteks ini maka tindakan terror kelompok garis keras Palestina juga adalah absah, dan karenanya tidak bisa di bilang bastard.

Jika terorisme kedua pihak yang bertikai ini sama -sama absah, kenapa hanya kekerasan dari pihak Palestina yang menonjol. Sehingga kelompok ini terkesan “tidak manusiawi”, “menghalalkan segala cara”, “pembunuh manusia yang tak berdosa” dan sebagainya. hal ini, mau tak mau berkaitan dengan penguasaan dan manipulasi pendapat umum melalui media massa internasional, yang jika tak dapat dikatakan dikuasai, paling tidak dipengaruhi kuat oleh gerakan Zionisme Internasional.

Penguasaan Media
Kelebihan Zionisme ketimbang nasionalisme Arab antara lain terletak di sini; tepatnya dalam kemampuan mengorganisasi, mempengaruhi dan mengendalikan media massa internasional. Theoodor Helz, penggerak dan pemimpin pertama gerakan Zionisme internasional adalah seorang wartawan di samping ahli hukum. Setelah kongres pertama Zionisme internasional tanggal 29 Agustus 1987 di Basel – di mana dia diangkat menjadi presiden ini – yang pertama dilakukannya adalah mendirikan Surat kabar Zionis internasional Die Welt. Tatkala Zionisme semakin bertumbuh, penguasaan atas media massa internasional juga bertambah kuat. Melalui media massa Inggris yang dominan di dunia pada masa sebelum perang. Zionisme berhasil membentuk pendapat umum di dunia, bahwa Inggris dan negara-negara Eropa lainnya punya kewajiban moral dan historis untuk mengeluarkan bangsa Yahudi dari penindasan diberbagai tempat di Eropa. Manipulasi “rasa bersalah” Eropa yang menindas bangsa Yahudi, pada akhirnya menggiring mereka untuk “menciptakan” suatu tanahair bangsa Yahudi di Palestina. Ketika AS mulai mencuat sebagai kekuatan dominan di dunia, kala itu pula media massa utamanya telah dikuasai Zionisme internasional. Tak heran kalau dalam pemberitaan dunia dewasa ini, gerakan perjuangan Palestina pada umumnya tampil dalam citra yang amat negatif.

Langkah-langkah Zionisme internasional yang sistematis dan strategis ini bertolak belakang dengan upaya yang dilakukan kalangan Arab. Sejak Herlz mulai kasak-kusuk membujuk Sultan Abdul Hamid dari Turki Usmani – yang kala itu berdaulat atas Palestina – sesuai kongres pertama Zionisme Internasional, Arab sudah berpecah-belah. Herlz membujuk Sultan Abdul Hamid agar menyerahkan Palestina kepada bangsa Yahudi, dengan imbalan-imbalan hutang-hutang luar negeri Usmani yang bertimbun akan dilunasi Yahudi. Walaupun Abdul Hamid terdesak untuk segera melunasi hutang negaranya kepada Barat, namun ia tak sampai mati menyerahkan Palestina kepada Yahudi. Kala Yahudi sudah sangat agresif, ketika itu pula wakil-wakil Arab di Parlemen Turki Usmani masih asyik tari urat suara. Tidak efisiennya aparat imigrasi Turki Usmani membuat negara ini tak berdaya membendung arus imigran Yahudi dari mana-mana masuk ke Palestina dan membeli tanah sebanyak-banyaknya dengan dukungan para bankir Yahudi Internasional.

Gara-gara Ambisi Syarif Husain
Nasionalisme Arab yang bertumbuh di tengah sakit-sakitnya kesultanan Turki Usmani berpuncak dengan Revolusi Arab. Diiming-imingi bantuan dan pengakuan sebagai Tanah Suci dan Khalifah umat Islam oleh Inggris, Sharif Husain menyatakan terhadap Yahudi. Dalam perang yang berlangsung antara tahun 1916-1918 itu, Turki yang didukung Jerman tak berdaya. Hijaz memang kemudian mereka merdeka dari kekuasaan Usmani, tetapi sementara itu Palestina, Syiria Raya dan Irak diduduki Inggris dan Prancis. Dan ketika perang baru saja berkecamuk, Inggris dan Prancis dan Rusia. tanpa sepengetahuan Syarif Husain membagi-bagi wilayah Arab ke dalam kekuasaan mereka dalam perundingan Sykes-picot (1916). Dan lebih celaka lagi, Inggris juga membuat komitmen dengan gerakan Zionisme Internasional tanpa sepengetahuan Syarif Husain – untuk menjadikan Palestina sebagai tanah air bangsa Yahudi melalui Deklarasi Balfour yang diterbitkan tanggal 2 November 1917. Umat Islam pun menyesali Syarif Husain yang begitu mudah tertipu; hanya karena memperturutkan ambisi untuk menjadi “Khalifah Islam” di Mekkah dengan pengakuan Barat.

Apa daya nasi sudah menjadi bubur. Tapi bangsa Arab tetap belum mau juga belajar pengalaman. Perpecahan demi perpecahan terus melanda mereka. Tatkala Zionisme Internasional meningkatkan intensitas imigrasi Yahudi ke Palestina sejak tahun 1920-an dalam jumlah berlipat ganda, ketika itu pula konflik yang tak bisa diselesaikan antara Amin Husyani (Mufti Palestina) dan pengikut Nashibi mencapai puncaknya. Akibat dari semua perpecahan pada tingkat lokal dan regional Arab ini adalah kekalahan total Arab dalam perang melawan Yahudi pada bulan April 1948. Bangsa Palestina terusir dari tanah airnya. Dan berikutnya dengan eksodus besar-besaran bangsa Palestina, tanggal 14 Mei 1948 lahirlah negara Israel.

Nasionalisme Arab telah gagal. Bangsa Palestina harus menempuh jalannya sendiri. Dalam perjalanan yang panjang itu, tak jarang pula mereka menjadi korban pertikaian di antara berbagai Negara Arab. Akan tamatlah perjuangan Palestina. Profesor kita sang Palestina sambal menatap langit-langit ruang kuliah berkata: “Sejarah dalam dua dekade terakhir membuktikan bahwa gerakan Palestina mampu survive, dan tidak mungkin di musnahkan. Dan kebangkitan akan datang pada suatu masa”. Mungkin waktu itulah aka nada damai antara Israel dan Palestina atau Arab secara keseluruhan. Tapi, kapan ya. Wallahu a’alam.


New York, 20 Ramadan 1407 H.

Penulis: Azyumardi Azra (1955-2022). Artikel ditulis saat Azra menjadi mahasiswa pascasarjana di Columbia University, New York, AS. Guru besar Sejarah Peradaban Islam dan Redaktur Ahli Panji Masyarakat ini pernah menjabat rektor UIN Jakarta. Terakhir sebagai Ketua Dewan Pers periode (2022-2025). Sumber: Panji Masyarakat 1987

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda