Ads
Cakrawala

Beragama Karena Stres atau Stres Karena Tidak Beragama

Avatar photo
Ditulis oleh Arfendi Arif

Ajaran Islam menjanjikan bahwa siapa pun yang menjalani kehidupan beragama (berIslam) dengan baik akan mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin serta hidup yang bahagia di dunia dan di akhirat.

Tentu dalam menjalani kehidupan ini banyak rintangan, cobaan dan kesulitan. Namun semua itu bila dijalani dengan tulus dan penuh kesabaran akan diterima dengan baik dan lapang dada.

Dalam hal menjalani kehidupan beragama atau religion experience memang tidak semua orang sama. Berbagai motivasi bisa timbul yang melahirkan seseorang menjalani kehidupan beragama.

Suatu teori dari para pemikir Barat seperti Karl  Marx, Sigmund Freud dan lainnya yang menyatakan bahwa agama timbul karena adanya sikap frustrasi manusia menghadapi kehidupan ini sangatlah sulit diterima.

Seperti diketahui Freud (1856-1939)  adalah seorang ahli psikoanalisa atau ahli ilmu jiwa dalam. Dalam beberapa teorinya tentang agama dia menyatakan bahwa agama adalah jawaban manusia atas frustrasi yang dialaminya dalam berbagai bidang kehidupan. Manusia bertindak religius karena ia mengalami frustrasi, dan untuk mengatasi frustrasi tersebut ia berperilaku religius.

Sedangkan Karl Marx (1818-1883) mengatakan, dalam masyarakat kapitalis martabat manusia tidak diakui. Manusia diperas, diperbudak dan diasingkan dari dirinya sendiri. Oleh karena itu manusia mulai berfantasi tentang situasi yang ideal, di mana ia betul-betul diakui sebagai manusia. Ia membayangkan betapa bagusnya jika martabat setiap orang diakui oleh sesamanya. Selama pengakuan ini belum terwujud dalam kehidupan yang nyata, dalam masyarakat, manusia mencari pengakuan dalam angan-angan. Lalu ia menciptakan religi (Dr. Nico Syukur Diester, Pengalaman dan Motivasi Beragama, Leppenas, Jakarta, 1982: 82, 94, 95).

Pandangan Freud dan Marx di atas dalam beberapa kasus mungkin terjadi. Orang taat beragama karena mengalami kesulitan dalam hidup, lalu berdoa dan meminta kepada Allah. Tapi, bahwa dikesankan oleh kedua pemikir tersebut bahwa agama itu adalah ciptaan manusia, rasanya sebagai Muslim kita tidak bisa membenarkan. Secara teori hipotesis dan analisis tersebut juga memiliki beberapa kelemahan.

Analisa psikologi  mengatakan ketika manusia lahir ia sudah membawa atau memiliki dasar kemampuan sebagai makhluk beragama atau berketuhanan. Di dalam jiwanya sudah ada instink religios , naturaliter religiosa atau disebut juga gharizah diniyyah yang perkembangannya tergantung pada usaha pendidikan (H.M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga,1978).

Menurut pandangan Islam, manusia sejak lahir telah diberi fitrah (kemampuan dasar) untuk beragama Islam, tetapi kelengahan orang tuanya bisa mengakibatkan anak menjadi Yahudi dan Nasrani ( Hadis Nabi, “Setiap anak dilahirkan membawa fitrah beragama Islam, hanya orang tuanya yang menjadikannya beragama Yahudi, Nasrani dan Majusi”).

Dalam Al-Qur’an surat ar-Rum ayat 30 dikatakan,” Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah, yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Dan dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 19 dan 85 ditegaskan bahwa agama yang diridhai Allah adalah agama Islam, dan siapa yang menuntut selain Islam tidak akan diterima.

Islam Membawa Kebahagiaan

Penulis dan intelektual Iran Murtadha Mutahhari dalam bukunya Perspektif Al-Qur’an Tentang Manusia dan Agama menulis tentang fungsi agama ( Islam) dalam kehidupan yang memberikan gambaran mencerahkan dan optimisme kehidupan.

Pertama, agama membawa optimisme dan kegembiraan. Kehidupan manusia di dunia ini penuh kontradiksi, ada kejahatan dan kebaikan, ada golongan kaya dan miskin, ada kasih sayang dan kebencian, ada musuh dan persahabatan, ada damai dan peperangan, ada rukun dan persengketaan dan beragam lainnya.

Kontradiksi dalam kehidupan membuat respons manusia berbeda. Bagi orang yang beriman kontradiksi kehidupan merupakan  sunatullah yang harus diterima dengan penuh keyakinan. Ia tidak kecewa dan putus asa bila kenyataan hidup yang diterimanya belum seperti yang diharapkan. Baginya, hidup di dunia ini harus dijalani dengan usaha, doa dan selalu berharap pada Allah. Dalam situasi yang bagaimanapun buruknya kehidupan di dunia ini ia tetap menjalani dengan gembira dan optimisme kepada Allah. Inilah yang dikatakan bahwa agama membawa semangat penuh harapan dan kegembiraan, yang otomatis menimbulkan ketentraman hidup.

Berbeda dengan seorang kafir yang selalu berburuk sangka kepada Allah. Ia akan melihat kehidupan ini secara negatif. Kalau kehidupan yang dialaminya tidak sesuai dengan yang diharapkan maka konotasi buruk dan penilaian jelek terhadap kehidupan ini selalu diberikannya. Ia tidak berusaha mengubahnya, karena bagi seorang kufur kejujuran dan kerja penuh tanggung jawab tidaklah berguna di dunia ini. Karena itu bagi seorang kafir tiada kebahagiaan dan ketenteraman, yang ada hanya hidup yang resah dan gelisah. Inilah yang diungkapkan dalam Al-Qur’an surat Thaha ayat 124, “Dan barangsiapa berpaling dari mengingat-Ku, baginya kehidupan yang sempit.”

Kehidupan yang sempit adalah kehidupan yang tiada bahagia, kehidupan yang tidak pernah puas, hati yang selalu tertutup dengan kebenaran. Kehidupan ini bagi seorang kufur dirasakan bak penjara yang mengerikan. Ia absurd, gelap dan tidak jelas tujuannya.

Kedua, seorang beriman meyakini perbuatan baik yang dilakukannya bakal mendapat “akibat yang baik pula” dalam kehidupan akhirat nanti. Sedangkan bagi seorang kafir yang ingkar kepada Allah tidak meyakini kehidupan sesudah mati. Mereka menganggap tidak ada gunanya perbuatan baik dan buruk, perbuatan jujur atau tidak jujur, salah atau benar tidaklah penting. Yang utama adalah “kerja keras dan kesungguhan” untuk kepentingan diri sendiri.

Bagi seorang beriman segala perbuatan yang  baik ditujukan dengan niat karena Allah semata. Dengan begitu hidup yang dijalani ini punya makna, punya tujuan sehingga membawa ketenteraman di hati dan membawa ketenteraman dalam pikiran. Jadi, keyakinan agama membawa hal yang amat positif yaitu membuat hati dan pikiran menjadi tenang.

Ketiga, seorang beriman tidak mengenal putus asa. Hidup memang penuh unak dan duri, ada mendaki dan menurun, ada senang dan ada susah, ada manis dan ada pula kepahitan. Tetapi, kelebihan seorang beriman adalah ia mampu mengubah kepahitan hidup menjadi kegembiraan. Seperti seorang yang sakit atau menjalani masa tua, ia menghiasi dengan zikir, takarub dan ingat kepada Allah. Semuanya ini bisa menjadi obat penawar baginya dari kekecewaan dan rasa putus asa kehidupan ini. Karena itulah seorang beriman tidak khawatir dengan kematian karena ia yakin sesudah kehidupan yang fana ini masih ada kehidupan lain. Karena itu ia menjembatani dirinya dengan amal saleh yang dapat membuat hidupnya bahagia setelah kematian di dunia ini.

Salah satu yang banyak ditemukan dalam kehidupan kontemporer sekarang ini bahwa penyakit saraf, stres dan kejiwaan lainnya banyak ditemukan pada orang-orang yang tidak taat beragama. Sebaliknya, orang yang mendekatkan diri kepada Allah, ikhlas dalam beragama, apalagi banyak beramal membantu orang yang berkekurangan menemukan hidup yang bahagia, batinnya tenang dan jiwanya damai.

Jelaslah, pemikiran Freud dan Marx tentang agama tidak sesuai dengan fakta pengalaman hidup beragama (religion experiance). Bahwa, orang beragama atau beriman  tidak selalu karena frustrasi dalam hidup. Tetapi, iman itu sudah ada dalam hati. Dalam Islam, kepercayaan pada Allah sudah ada sejak dalam kandungan, yaitu ketika Allah meniupkan ruh pada manusia. Islam hadir ke dunia ini karena ada wahyu yang disampaikan Allah pada Nabi dan Rasul Muhammad SAW. Dan, doktrin Islam yang wajib diyakini kalimat tauhid: “Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.”

Tentang Penulis

Avatar photo

Arfendi Arif

Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten

Tinggalkan Komentar Anda