Laporan keuangan Bank BNI Syariah per 31 Desember 2016 menunjukkan pertumbuhan positif dengan posisi laba sebesar Rp 277,37 miliar atau meningkat 21,38 persen dibanding Desember 2015 sebesar Rp 228,52 miliar. Itu salah satu prestasi yang dicatat Teguh Imam Saptono ketika menakhodai bank yang kini telah merger dengan dua bank syariah pelat merah lainnya ke dalam Bank BSI. Namun, bersama berbagai prestasi yang dia torehkan dalam menghasilkan produk-produk perbankan syariah, tak menyurutkan keputusan para pemegang saham untuk melengserkannya dari posisi sebagai dirut. Padahal belum genap satu tahun ia berada di puncak tampuk pimpinan.
Pada waktu itu, sempat beredar rumor soal sebab-musabab Teguh Imam Saptono bahwa pencopotannya itu dikaitkan dengan dukungannya dalam Aksi Bela Islam. Pada waktu itu, jutaan umat Islam tumpah ke jalan Ibu Kota untuk menyampaikan protes atas penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, Gubernur DKI Jakarta kala itu. Sebagaimana diakuinya, ia memang terlibat dalam aksi itu, dengan menghadiri aksi selepas jam kantor. Tapi dia memandang apa yang dilakukan masih dalam batas wajar dan tidak dalam konteks berpolitik. “Waktu itu, yang saya lakukan adalah menurunkan ambulans dan tim kesehatan untuk membantu umat apabila terjadi bentrokan,” kata Imam.
Lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini mengaku, pada mulanya dia awam tentang Islam. Yang ia ketahui sebatas tentang rukun Islam. Katanya, sejak masih kuliah pun, Imam hampir tidak pernah ikut kegiatan keislaman. “Dulu saya tergolong mahasiswa hedonis. Menganggap kegiatan keislaman itu tidak penting,” kenangnya. Berikut cerita pengalaman religiusnya seperti dituturkan kepada Panji Masyarakat.
Hampir sebulan lebih mengendarai mobil untuk berangkat ke kantor karena Jakarta dilanda musim hujan, hari itu saya bersama istri memilih kembali menggunakan motor. Mengingat cuaca mulai bersahabat dan jalanan telah kembali padat pasca-liburan akhir tahun. Ah, ternyata lebih mesra dan asyik ngobrol dengan istri kala bermotor, karena suaranya tepat terdengar di belakang telinga.
Tak terasa kantor Citibank sudah di depan mata. Saya pun menepi dan istri turun diikuti ritual rutin pengendara motor. Lepas helm, lepas jaket dan mengambil tas kecil dari ransel di punggung. Seusai serah terima ransel dan acara cium tangan, motor kembali saya gas via Patung Pemuda. Maklum, Permata Bank berada di sisi yang sama dengan Citibank, tetapi posisinya di sebelah belakang.
Kala sudah sendirian, tak terasa pikiran berkelana sekaligus terucap syukur atas rahmat yang Allah berikan karena masih mengizinkan hati, serta jasmani saya dan istri untuk merasakan nikmatnya naik motor. Sementara di jalanan, tampak beragam mobil mewah antre membawa bos beserta sopirnya. Terkadang ditambah sekuriti/asisten, agar bisa menembus area three in one (waktu itu belum ada aturan ganjil- genap).
Pikiran iseng pun kembali bergelayut, ”Tapi kenapa ya, semakin berkuasa seseorang, justru makin bergantung terhadap orang lain. Ia membutuhkan sopir yang siap mengantar, mobil mahal dan nyaman, pengawalan, satpam yang ambil sikap tegap saat mobil masuk halaman kantor dan membukakan pintu, serta jalanan lebar yang lengang?”
Otak iseng saya berpikir, “Berapa Rupiah per kilometerkah yang dihabiskan sang boss untuk sampai ke kantor? Kalau rupiah itu dihemat dan diberikan kepada yang membutuhkan, alangkah indahnya. Mungkin itulah harga dari kenyamanan dan kesejukan yang dibutuhkan sang bos untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya.”
“Bahkan kalau ia pejabat, ada berapa ribu orang yang harus kepanasan atau pegal berdiri di atas bus, menunggu hingga sang pejabat lewat karena jalanan ditutup. Ada yang bilang, demi alasan keamanan. Bukankah pemimpin yang baik, justru dilindungi rakyatnya?”
Saya selalu merindukan tawa anak semata wayang tatkala kami keliling kota naik Transjakarta. Terkenang mesranya tatapan mata sang mantan pacar (sekarang istri) di angkot kota Bogor kala kuliah, atau menikmati kehangatan lingkar lengannya di pinggang sewaktu kami bermotor membelah jalan Sudirman. Ngobrol seru saat lesehan bareng Pak RT dan tetangga di gardu ronda. Gelar tikar di Kebun Raya Bogor. Hingga naik bus kota ramai-ramai ke Jakarta Fair sekeluarga di awal tahun 80-an.
Nafsu kerelawanan (passion of volunteering) itulah yang saya rasakan pasca pemecatan saya sebagai Direktur Utama BNI Syariah karena stigma “terkontaminasi radikalisme” dan dianggap terlalu ke kanan. Upaya melawan stigma tersebut pastinya akan patah, karena radikalisme di dalam praktiknya senantiasa diterjemahkan dengan sikap konsisten antara aktualisasi tindakan dan sebuah keyakinan yang kuat. Di sisi lain saya tidak mungkin meralat stigma tersebut dengan mereduksi keyakinan saya. Letupan energi dari kemarahan tersebut melahirkan semacam proklamasi diri bahwa tidak ada satu pun pihak yang bisa mendikte saya, kecuali keyakinan saya sendiri. Buat apa saya risau atas apa yang lepas dari tangan saya, karena tidak ada yang berharga selain idealisme, paradigma seperti itu terkadang sering diidentikkan dengan istilah “sudah selesai dengan dirinya”. Untuk mengaktualisasikan sikap tersebut akhirnya saya temukan melalui aktivitas kerelawanan.
Untuk merealisasikan nafsu kerelawanan tersebut saya membutuhkan wahana, saya membutuhkan media organisasi yang besar agar dampaknya bisa dilihat orang lain. Bukankan ini sebuah proklamasi? Di antara semua organisasi kerelawanan sejatinya ada dua yang sejalan dengan keyakinan saya yakni DD (Dompet Dhuafa) dan ACT (Aksei Cepat Tanggap_ , keduanya saya kenal tatkala BNISy sering team up dalam program-program sosial. Qodarullah melalui referensi beberapa sahabat, entah mengapa ACT paling sering tersebut, belum lagi provokasi dan kampanye programnya melalui media sosial begitu meng “entertain” spirit volunterisme yang tengah membara kala itu. Palestine, Suriah, Uyghur, dsb adalah jeritan-jeritan kaum yang tertindas yang merepresentasikan jeritan jiwa, maka tidak pikir panjang gayungpun bersambut, melalui perkenalan singkat dan atas rekam jejak yang saya miliki, tawaran untuk memegang posisi Presiden Direktur PT Global Wakaf Corpora (GWC) pun saya ambil, dan inilah awal saya membersamai lembaga kemanusiaan ACT pada penghujung tahun 2018. (Bersambung)