Isu politik paling banyak dibincangkan warganet (netizen) sepanjang 2022 adalah isu tiga periode masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), penundaan pemilihan umum (pemilu), dan perpanjangan masa jabatan presiden. Demikian hasil pengolahan data oleh Big Data Laboratorium Indonesia 2045 (LAB45), yang diberitakan oleh antaranews.com Jumat 30 Desember 2022.
Berdasarkan data yang dikumpulkan dari perbincangan dunia maya, 80 persen hingga 90 persen warganet menolak wacana presiden tiga periode, penundaan pemilu, dan perpanjangan masa jabatan presiden.
“Isu penolakan tiga periode sendiri tidak hanya berasal dari klaster kontra pemerintah, tapi terlihat dari akun-akun yang selama ini menjadi pendukung Jokowi,” kata Analis Utama Big Data LAB45 Diyauddin.
Bacaan keadaan tentang ketiga isu politik di atas, sebetulnya sudah terjadi di kalangan pengamat politik, meski terbatas, setelah mencermati belum sampai setengah periode masa jabatan Presiden Jokowi, beberapa tokoh politik mulai mengampanyekan dirinya dengan antara lain memasang baliho besar dengan foto diri mereka.
Prof. Dr. Salim Haji Said, misalnya, sekitar pertengahan 2021 dalam sambutannya pada buku trilogi ketiga penulis Tonggak-Tonggak Orde Baru yang terbit dan diluncurkan pada Januari 2022, telah mengingatkan tanda-tanda adanya usaha untuk memperpanjang masa berkuasa pemerintah. Ia menggarisbawahi pelajaran penting yang bisa kita petik dari pengalaman di bawah pemerintahan otoriter Indonesia selama hampir 40 tahun (Orde Lama dan Orde Baru), yaitu menyangkut soal konstitusi, peranan politik tentara dan pemerintahan otoriter yang selalu berkecenderungan memperpanjang masa berkuasaannya.
Di banyak negara, perpanjangan masa berkuasa menjadi akar dan landasan pembangunan dinasti. Pelajaran sekaligus peringatan ini berlaku sepanjang masa, dan bagi siapa saja termasuk Indonesia di Era Reformasi.
Pada hematnya, konstitusi Indonesia kini telah membatasi , seorang Presiden hanya bisa berkuasa selama 2 kali masa jabatan, atau total selama 10 tahun. Kendati demikian, dengan seribu satu alasan, kemungkinan bangkitnya otoritarianisme di negeri ini belumlah mutlak tertutup. “Dalam konteks Indonesia masa kini, izinkan saya mengingatkan agar kita jangan bermain-main dengan usaha-usaha untuk mengubah UUD (amandemen UUD) dengan niat memperpanjang masa berkuasa pemerintah,” tulisnya.
Isu perpanjangan masa berkuasa tersebut semakin menguat sejalan dengan maraknya demo-demo masyarakat khususnya para buruh yang menolak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang ditetapkan oleh DPR pada 5 Oktober 2020. Demonstrasi menentang UU itu semakin marak pada tahun 2022.
Bersamaan dengan terus maraknya demo-demo menolak UU Cipta Kerja, pada pertengahan tahun 2022 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berencana membentuk panitia ad hoc untuk mengakomodasi wacana dihidupkannya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Hal tersebut sebagai tindak lanjut dihentikannya wacana amendemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945 untuk mengakomodasi masuknya PPHN yang diatur lewat ketetapan MPR.
Rencana itu diungkapkan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo alias Bamsoet. “Untuk pembentukan panitia ad hoc, maka perlu penyelenggaraan Sidang Paripurna MPR di luar Sidang Tahunan MPR yang akan diselenggarakan pada 16 Agustus 2022. Karena masih reses dan renovasi gedung, maka sidang paripurna MPR pembentukan panitia ad hoc, akan diselenggarakan pada awal atau pertengahan September 2022,” jelas Bamsoet.(Kompas.com 26/07/2022: Bakal Akomodasi PPHN, MPR Akan Bentuk Panitia Ad Hoc).
Baik demo-demo masa maupun gagasan Sidang Paripurna MPR, ditambah dengan melemahnya perekonomian sebagai dampak dari pandemi Covid-19, ditengarai oleh para pengamat akan dijadikan alasan untuk memperpanjang masa berkuasa Presiden Jokowi. Demonstrasi masa apabila berkembang menjadi kerusuhan dan huru-hara, maka Pemerintah bisa menyatakan negara dalam keadaan genting dan darurat, sehingga diberlakukan UU Darurat. Dan jika itu berlaku, siapa yang dapat menjamin tidak akan berlangsung kekuasaan mutlak? Sentralistik?
Sementara itu perekonomian yang melemah akibat pandemi Covid-19, dapat pula dijadikan alasan tidak bisa menyelenggarakan Pemilu sesuai skedul tahun 2024, sehingga harus ditunda. Penundaan Pemilu otomatis akan memperpanjang masa jabatan Presiden, dan juga masa keanggotaan DPR/MPR serta DPRD. Anggota DPRD, DPR/MPR tidak perlu capai dan keluar biaya besar untuk kampanye. Peluang yang amat sangat menggiurkan.
Ada pun Sidang Paripurna DPR guna membentuk Panitia Ad Hoc dan selanjutnya menetapkan PPHN, harus didahului dengan mengembalikan kewenangan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sehingga bisa membuat ketetapan dalam hal ini tentang PPHN sebagai pedoman mengelola negara dan pemerintahan yang harus dipatuhi Presiden, sebagaimana dulu Garis-Garis Besar Haluan Negara. Jika Sidang seperti itu terjadi, siapa yang bisa menjamin tidak akan ada penunggangan-penunggangan, tidak akan ada upaya membuat ketetapan-ketetapan yang lain termasuk memperpanjang masa jabatan Presiden bahkan memberlakukan kembali Pasal 7 UUD 1945 Asli, dengan satu tafsir, yakni Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali, berulang kali. Siapa yang bisa menolak jika peserta sidang menghendaki? Tapak-tapak sejarah Sidang MPR yang seperti itu bisa dipelajari dari proses amandemen UUD sepanjang tahun 1999 – 2002.
Wacana perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi kian riuh setelah Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) AA LaNyalla Mahmud Mattalitti dalam Munas XVII Himpunan Pengusaha Muda Indonesia di Solo, 21 November 2022 menyerukan diberlakukannya Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945 Asli disertai perpanjangan masa jabatan Presiden. LaNyalla Mattalitti di hadapan Presiden Joko Widodo yang hadir di acara itu, mengusulkan penundaan Pemilu 2024 dan penambahan dua tahun masa jabatan Presiden. LaNyalla berargumentasi, pada dua tahun kepemimpinan Presiden Jokowi hanya dihabiskan untuk menangani pandemi Covid-19. Hasil kerjanya tak tampak karena dihantam badai Covid-19.
Ia mengaku telah mengeluarkan satu statement meminta Presiden Jokowi mengeluarkan dekrit kembalinya Undang-Undang Dasar 45 sesuai dengan naskah asli yang kemudian kita adendum.”Nanti dari adendum itu sambil memperbaiki kita persilakan presiden memperpanjang, mau dua tahun mau tiga tahun silakan yang penting adendumnya selesai, jadi pemilihan presiden cukup melalui MPR, nggak usah lagi coblos-coblosan kasian rakyat,” jelasnya. (https://mediaindonesia.com/opini/540249/wacana-dekrit-presiden-ala-lanyalla-mattalitti-masuk-akal-atau-masuk-angin).
Baik gayung bersambut, Ketua MPR Bambang Soesatyo menyusul menggulirkan isu penundaan pemilu. Dalam tayangan YouTube Poltracking Indonesia, Kamis (8/12/2022). Ia mengatakan, gelaran pemilu perlu dipikirkan ulang karena Indonesia kini masih dalam tahap pemulihan dari pandemi Covid-19. Ia pun khawatir akan adanya ancaman terhadap bangsa dari situasi global ke depan. “Tentu kita juga mesti menghitung kembali, karena kita tahu bahwa penyelenggaraan pemilu selalu berpotensi memanaskan suhu politik nasional, baik menjelang, selama, hingga pasca penyelenggaraan pemilu,” katanya.
Menurut politisi Golkar itu, harus dihitung betul, apakah momentumnya (pemilu 2024) tepat dalam era kita tengah berupaya melakukan recovery bersama terhadap situasi ini. Dan antisipasi, adaptasi terhadap ancaman global seperti ekonomi, bencana alam, dan seterusnya.
Sejarah mencatat, penundaan Pemilu juga pernah terjadi di awal Orde Baru. Sidang Umum MPRS tahun 1966 mengeluarkan ketetapan no XI/MPRS tanggal 5 Juli 1966, yang menggariskan untuk menyelenggarakan Pemilu paling lambat 5 Juli 1968, dua tahun. Untuk itu Presiden bersama DPR harus sudah membuat dan menyelesaikan berbagai UU yang terkait selambat-lambatnya 6 bulan sesudah ketetapan MPR tadi. Kenyataannya dengan dalih UUnya belum bisa dibuat dan perlunya dilakukan kegiatan-kegiatan rehabilitasi serta stabilisasi yang produktif, maka berdasarkan permintaan Pejabat Presiden Soeharto tanggal 10 Januari 1968 kepada MPR, akhirnya Pemilu ditunda selama 3 tahun.
Tetapi yang kemudian segera terjadi adalah awal dari sebuah ironi. Penundaan pemilu juga memberikan kesempatan kepada Mandataris MPR, yaitu Presiden, untuk merombak kedudukan pemberi mandatnya, dengan menempatkan orang-orang pilihannya sendiri.
Dengan berbagai dalih dan cara, sejarah di masa Orde Lama pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959 terulang kembali. Pejabat Presiden Soeharto dengan cepat membentuk pemerintahan yang sentralistik, sementara partai-partai politik membentuk Fraksi-Fraksi yang sangat berkuasa dan mengendalikan anggota-anggotanya di DPR/MPR, sampai sekarang ini, meskipun mereka dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu.
Karena itu peringatan Guru Besar dan wartawan senior Prof. Dr. Salim Haji Said di awal tulisan ini, sangat relevan dengan keadaan sekarang dan perlu diwaspadai. Upaya perpanjangan masa berkuasa telah terbukti di banyak negara dan di sepanjang sejarah, telah menjadi akar dan landasan pembangunan dinasti. Semoga kita mendapat petunjuk dan pertolonganNya. Amin Allahumma amin.