Cakrawala

Jasmerah, Dekrit Presiden 5 Juli dan Pasca-G30S

Avatar photo
Written by B.Wiwoho


Jelang tutup tahun 2022, jagal politik Indonesia diramaikan dengan perdebatan tentang dekrit presiden untuk kembali ke UUD 1945 Asli serta masalah perpanjangan masa jabatan presiden – dan otomatis juga anggota DPR/MPR.
Wacana dekrit presiden dilemparkan oleh Mayjen TNI (Purn) Prijanto dalam bukunya Untaian Butir-Butir Mutiara Konstitusi Indonesia yang terbit pada Juli 2021 (cetakan I). Wacana dekrit bagaikan bunyi gong yang meneguhkan perjuangan para tokoh senior bangsa semenjak proses penggodokan perubahan mendasar UUD 1945 Asli pada tahun 1999 – 2002, yang kemudian dikenal sebagai Amandemen UUD 1945 atau juga UUD 2002.
Perjuangan mengkritisi sekaligus mengembalikan UUD 2002 ke UUD 1945 Asli untuk disempurnakan dengan cara adendum, semakin membahana setelah sejumlah purnawirawan jenderal TNI-Polri antara lain Jenderal Djoko Santoso (alm), Taufieq Ruky dan Prijanto serta para aktivis seperti Hariman Siregar, Rachmawati Soekarnoputri (alm), Lily Wahid (alm) dan kawan-kawan pada tahun 2015 menggalang Gerakan Nasional Selamatkan Indonesia, dan selanjutnya mendeklarasikan Rumah Kebangkitan Indonesia beserta gerakannya yang dinamakan Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI) pada 7 Januari 2018.
Dalam kiprahnya, Prijanto bersama GKI telah banyak menyelenggarakan kegiatan dan menerbitkan sejumlah buku antara lain Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945, yang diluncurkan di Gedung MPR dengan dihadiri sekitar 700 orang termasuk Ketua MPR Zulkifli Hasan. Buku juga dibedah di berbagai forum termasuk forum yang amat bergengsi yaitu Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) di Balai Senat UGM – Yogyakarta 13 Maret 2019. Buku ini merangkum tonggak-tonggak perjuangan mengoreksi Amandemen UUD tahun 2002, serta berbagai pemikiran para tokoh dan cendekiawan. Prosiding dari bedah buku di UGM pun telah diterbitkan dengan judul “Pancasila Jatidiri Bangsa” serta diluncurkan di UGM pada 15 Agustus 2019.
Tidak hanya menerbitkan buku-buku kajian terhadap UUD Amandemen 2002, para pejuang UUD 1945 Asli juga menyusun dua buku yang berisi draf penyempurnaan UUD 1945 dengan cara adendum. Pertama buku Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disertai Adendum, oleh Rumah Kebangkitan Indonesia – GKI, pada Juli 2018. Buku kedua, Kaji Ulang Perubahan UUD 1945, disusun oleh Forum Bersama Purnawirawan TNI-Polri dan Organisasi Mitra Seperjuangan, Juni 2019.
Bagaimana cara untuk kembali ke UUD 1945 Asli? Revolusi? Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)? Demo menduduki DPR/MPR sebagaimana disarankan Ketua MPR Zulkifli Hasan Selasa 15 Desember 2015? Atau apa? Dalam buku Konstitusi Indonesia yang menghimpun pemikiran para ahli itulah, Prijanto melemparkan gagasan dekrit presiden.
Dekrit presiden untuk kembali ke UUD 1945 Asli sebagaimana juga pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan dukungan TNI pada 5 Juli 1959, menurut Prijanto, diperlukan karena negara sudah menghadapi situasi “genting” , disebabkan konstitusi dalam kondisi “tergembok” sedangkan ancaman disintegrasi bangsa sudah menunggu di depan mata akibat konstitusi yang tidak koheren dengan nilai-nilai Pancasila. Dalam situasi yang sangat mendesak dan tidak ada jalan lain, maka Presiden atas desakan rakyat Indonesia melalui komponen-komponen suprastruktur dan infrastruktur politik, atas nama rakyat Indonesia suka tidak suka harus mengambil langkah untuk mengatasi keadaan “genting” negara. Demi menutup penyalahgunaan, pada hematnya harus dilakukan secara terkoordinasi, atau disebut Dekrit yang Terkoordinasikan, tidak semata-mata kembali ke UUD 1945 Asli, tapi disertai catatan dan syarat-syarat (halaman 234 dan seterusnya serta versi ringkasan: 57-58).
Gerakan kembali ke UUD 1945 Asli, sepanjang tahun 2022 memperoleh darah baru dari Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, yang mengobarkan gerakan tersebut dalam kunjungan kerjanya ke berbagai daerah.
Dalam makalah berlogo DPD-RI, Peta Jalan Mengembalikan Kedaulatan dan Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat (1 Agustus 2022), LaNyalla menyatakan, “Marilah kita satukan tekad untuk kembali kepada Pancasila. Kembali kepada UUD 1945 naskah asli yang disusun oleh para pendiri bangsa. Dan mari kita sempurnakan dengan cara yang benar, dengan cara adendum, sehingga tidak menghilangkan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm. Marilah kita satukan tekad untuk mengakhiri polarisasi bangsa ini dengan kesadaran. Dengan kembali bergandengan tangan…..” (halaman 30).
Mendukung gagasan dekrit presiden, Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal (Purn) Agustadi Sasongko dalam acara Mensyukuri Sumpah Pemuda di Jakarta 29 Oktober 2022 menyatakan, sebagai pihak yang terlibat dalam serangkaian kegiatan kaji ulang perubahan UUD 1945 (UUD 2002), ia sependapat dengan seruan kembali ke UUD 1945. Namun untuk menutup peluang adanya penumpang-penumpang gelap ia mengingatkan, “Tolong diperhatikan nanti pada saat dilakukan Dekrit Presiden, maka ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. TNI sekarang ini memang tidak sama dengan TNI zaman dulu, akan tetapi jari diri TNI tetap sama.”
Pada acara santai yang dihadiri sekitar 100 orang tokoh gerakan baik yang berlatar belakang militer maupun sipil itu, Jenderal Try Sutrisno mengajak TNI aktif untuk tergugah menyikapi keadaan. Ia mengatakan, “Dekrit Bung Karno 5 Juli itu didukung TNI. Jadi ini kita pakai juga. Presiden dengan dukungan TNI, karena TNI punya Sapta Marga yaitu Sapta Marga Pertama: Kami Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila, yang sampai sekarang berlaku itu. Tapi kenyataan aturan yang mengatur negara sekarang itu tidak Pancasila. Jadi TNI harus digugah ini. TNI jangan diam. Kalau kamu TNI, masih aktif, masih pegang Sapta Marga dan Sumpah Prajurit (penulis: Butir 1 Sumpah Prajurit, ‘Bahwa saya akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945’), Kamu harus berani mengingatkan Presiden, mendukung Presiden, kembali kepada UUD 1945 yang asli dulu, jangan dikutak-kutik. Nanti dari kajian yang manfaatnya ada, aspiratif, sesuai dengan tantangan zaman, kita jadikan adendum, lampiran. Intinya kembali ke UUD 1945 yang asli melalui dekrit presiden yang terkoordinasi dengan penyempurnaan adendum.” Demikian Try Sutrisno menegaskan.
Seruan Mantan Wakil Presiden dan Mantan Panglima ABRI tersebut pada 1 November 2022 dipublikasikan antara lain oleh UI Watch melalui youtube, dan segera memperoleh sambutan luas. Pada 2 Januari 2023 pukul 06.20 tercatat sudah dilihat oleh 118.073 peserta dengan 783 acungan jempol dan 367 komentar yang pada umumnya menyambut baik.
Tak sampai sebulan dari seruan Try Sutrisno, Ketua DPD LaNyalla lagi-lagi mengajak kembali ke UUD 1945 Asli, namun kali ini seruan itu membuat ambyar ajakannya untuk menyatukan tekad bergandengan tangan. Dalam sambutannya pada Musyawarah Nasional Himpunan Pengusaha Muda Indonesia di Solo pada 21 November 2022, ia mengusulkan kita kembali ke UUD 1945 Asli yang disertai dengan penundaan Pemilihan Umum ditambah bonus penambahan dua tahun jabatan Presiden.
Dalam acara yang dihadiri Presiden Jokowi tadi, ia mengaku telah mengeluarkan satu statement meminta Presiden Jokowi mengeluarkan dekrit kembalinya Undang-Undang Dasar 45 sesuai dengan naskah asli yang kemudian diadendum.
“Nanti dari adendum itu sambil memperbaiki kita persilakan presiden memperpanjang, mau dua tahun mau tiga tahun silakan yang penting adendumnya selesai, jadi pemilihan presiden cukup melalui MPR, nggak usah lagi coblos-coblosan kasian rakyat,” jelasnya.
Tak pelak lagi, pro kontra berkobar menyala menanggapi pidato LaNyalla. Terkait itu, izinkan penulis sebagaimana telah dituangkan dalam trilogi buku Tonggak-Tonggak Orde Baru baik dalam trilogi pertama dan terutama trilogi ketiga halaman 193 – 197, dampak buruk dari Dekrit Presiden 5 Juli 1956 serta konsolidasi kekuasaan Orde Baru 1967 – 1969.
Segera sesudah Dekrit Presiden 1959, kekuasaan dan kewenangan memusat pada satu tangan, yaitu pada Bung Karno. Bukan hanya sekedar Presiden selaku Mandataris MPR (Sementara), tetapi juga Ketua Front Nasional, Panglima Tertinggi, Pemimpin Besar Revolusi dan selanjutnya Presiden Seumur Hidup, sampai kemudian terjadi Peristiwa G30S (Gerakan 30 September). Maka Orde Lama di bawah kepemimpinan Bung Karno runtuh dan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto muncul.
Pasca dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 oleh Bung Karno kepada Jenderal Soeharto, Orde Baru bangkit mengibarkan semangat melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dalam rangka itu Sidang Umum MPRS tahun 1966 mengeluarkan ketetapan no XI/MPRS tanggal 5 JUli 1966, yang menggariskan untuk menyelenggarakan pemilihan umum palinglambat5 Juli 1968 atau 2 tahun lagi. Untuk itu Presiden bersama DPR harus sudah membuat dan menyelesaikan berbagai UU yang terkait selambat-lambatnya 6 bulan sesudah ketetapan tersebut, yakni UU Pemil, UU Susunan MPR-DPR dan DPRD.
Apa lacur. Penyusunan berbagai UU yang terkait Pemilu macet karena berbagai alasan, dan berdasarkan Permintaan Pejabat Presiden Soeharto tanggal 10 Januari 1968, Pemilu ditunda dan baru berlangsung 3 tahun kemudian, 5 Juli 1971. Total masa penundaan pemilu dengan demikian adalah 5 tahun, atau sama dengan satu periode masa jabatan Presiden dan anggota DPR/MPR.
Dengan berbagai dalih dan cara, kondisi yang setara dengan pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, berlangsung sepanjang pemerintahan Orde Baru yaitu pemerintahan yang sentralistik. Presiden menguasai lembaga legislatif baik DPR maupun lembaga tertinggi negara MPR. Hal itu terjadi karena tidak ada sistem yang bebas dari kepentingan penguasa, baik dalam bentuk UU ataupun ketetapan MPR, yang mengatur susunan dan kedudukan MPR khususnya tentang pemilihan utusan golongan dan utusan daerah. Walhasil, Mandataris MPR mengatur pemberi mandat.
Sementara itu partai-partai politik membentuk Fraksi-Fraksi yang mengendalikan dan berkuasa atas anggota-anggotanya di DPR/MPR. Sistem Fraksi ini berlangsung terus sampai ke era Reformasi sekarang, yang bersama pimpinan parpolnya, berkuasa penuh dan setiap saat bisa merecall serta mengganti keanggotaan di DPR/MPR, meskipun keanggotaan mereka dipilih oleh rakyat secara langsung melalui Pemilu, dan bukan oleh partainya. Sistem Fraksi telah membajak kedaulatan rakyat yang diamanahkan rakyat pemilih kepada wakil yang dipilihnya.
Ironisnya, Ketua MPR sekarang yaitu Bambang Soesatyo bahkan menggambarkan telah terjadi perselingkuhan politik tingkat tinggi yang bisa menghancurkan bangsa dan negara. Ia mengatakan, paling mahal satun triliun rupiah untuk menguasai partai politik. Perselingkuhan antara penguasa dengan pemilik modal, bisa saja mewakili asing. “Jika partai politik dikuasai, maka dia akan menguasai parlemen, maka dia akan kuasai pasar-pasar dan sumber daya alam kita, dan dialah yang berhak mengusung siapa pemimpin kita, presiden kita, bupati kita, gubernur dan wali kota karena sistem yang kita punya,” kata Ketua MPR (B. Wiwoho, trilogi ketiga Tonggak-Tonggak Orde Baru: 247).
Persekongkolan pengusaha dengan penguasa itulah yang dalam berbagai kesempatan, penulis sebut sebagai “dwi fungsi gaya baru, dwi fungsi pengusaha-penguasa,” yang oleh masyarakat dikenal sebagai kekuasaan oligarki yang mencengkeram.
Itulah beberapa catatan yang semoga bermanfaat bagi pemikiran dan gagasan dekrit Presiden, terutama dekrit presiden yang terkoordinasi, apalagi jika ditambah embel-embel penundaan Pemilu serta perpanjangan masa jabatan Presiden dan DPR/MPR. (Insya Allah disambung dengan tulisan berikutnya tentang penundaan pemilu dan masa perpanjangan jabatan presiden).

About the author

Avatar photo

B.Wiwoho

Wartawan, praktisi komunikasi dan aktivis LSM. Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat (1996 – 2001, 2019 - sekarang), penulis 40 judul buku, baik sendiri maupun bersama teman. Beberapa bukunya antara lain; Bertasawuf di Zaman Edan, Mutiara Hikmah Puasa, Rumah Bagi Muslim-Indonesia dan Keturunan Tionghoa, Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Operasi Woyla, Jenderal Yoga: Loyalis di Balik Layar, Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945 serta Pancasila Jatidiri Bangsa.

Tinggalkan Komentar Anda