Ads
Cakrawala

Kolom Ridwan Saidi: Masuk HMI di Zaman Orla

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Berbeda dengan teman-teman  seangkatan yang umumnya mengenal HMI lewat organisasi PIl, saya tidak mengenal HMI lewat PII. Sebagai siswa SMA I Jalan Budi Utomo Jakarta (1959-1962), saya tidak menjadi anggota PII, oleh karena di SMA tersebut tidak terdapat perwakilan PII, begitupun ketika saya duduk di bangku SMP II Jalan Budi Utomo Jakarta, perwakilan PII tidak ada di situ. Tetapi, keluarga kami berlangganan Harian Abadi dan Minggu Abadi.  Lewat media tersebut, saya sering menjumpai  berita-berita tentang HMI, begitupun pikiran-pikiran para tokohnya. Dalam hati kecil sudah tergores keinginan untuk masuk HMI kelak, bila saya duduk di perguruan tinggi.

Fakultas Hukum dan IImu Pengetahuan Kemasyarakatan (FHIPK) Universitas Indonesia di tahun 1963, dikenal sebagai) basis kaum nasionalis, tokoh-tokoh GMNI, seperti Bambang Kusnohadi dan Bambang Hariyanto adalah tercatat sebagai mahasiswa di fakultas tersebut. Pimpinan fakultas disebut-sebut sebagai berorientasi kepada PNI, begitupun pimpinan senat fakultas. CGMI  secara formal tidak nampak di situ, tetapi kepentingan kepentingannya diwakili oleh GMNI dan Germindo setempat. Adapun potensi mahasiswa lain yang tidak tergabung dalam CGMI atau GMNI atau Germindo, banyak yang memilih wadah organisasi lokal (Imada/Ikatan Mahasiswa Djakarta, red)  yang orientasinya pesta-pesta. Organisasi tersebut terkenal dengan mottonya: ’’lagu, buku dan pesta’’.

Uang Iuran

Saya tidak mengalami masa perpeloncoan yang sadis, karena Bung Karno mengecam keras praktik-praktik perpeloncoan yang meniru gaya kolonial. Penggantinya adalah Masa Kebaktian Teruna, sedikit lebih ringan dari perpeloncoan. Nah, pada Masa Kebaktian Teruna itulah, mulai berlaku kampanye bisik-bisik para senioren dari organisasi-ekstra. Di luar dugaan saya, ternyata senioren HMI cukup banyak yang berkampanye. Sdr. Harun Kamil setelah melihat ’’ buku tugas”’ saya, lantas menyodorkan formulir keanggotaan HMI, yang langsung formulir itu saya ambil. Ketika Sdr. Harun hendak berkampanye lebih jauh soal HMI, saya katakan padanya, bahwa saya sudah kenal HMI dan saya bersedia masuk menjadi anggota. Setelah saya isi formulir itu, saya kembalikan lewat pos ke rumah Sdr. Harun Kamil. Ia merasa ’’surprise’’, kelak ia terus-menerus menghubungi saya untuk menjadi aktivis.

Kampanye HMI tidak seterbuka kampanye GMNI memang, sebab GMNI waktu itu berada di atas angin. Tetapi acara-acara kerohanian, salat magrib dan salat Jumat, biasanya menjadi arenanya HMI, tokoh seperti Ichtianto S.A. banyak tampil dalam acara seperti itu untuk berpidato.

Seusai acara Masa Kebaktian UI, HMI mengadakan acara yang waktu itu (juga) diberi nama Masa Kebaktian Teruna (Makta). Acara pada umumnya berlangsung di halaman Gedung Public Health, Jalan Pegangsaan Timur Jakarta. Saya menyenangi acara dynamic group, karena lewat acara tersebut para peserta dirangsang untuk berpikir. Senioren mengajukan beberapa persoalan, dan kami peserta yang dibagi dalam kelompok-kelompok kecil sekitar 10 orang, saling menanggapi persoalan tersebut.

Ceramah-ceramah yang diberikan oleh tokoh-tokoh HMI biasanya cukup hangat, topik yang dibahas umumnya  berisi tangkisan-tangkisan terhadap serangan-serangan yang dilancarkan oleh PKI dan antek-anteknya terhadap HMI. Tangkisan-tangkisan semacam itu memang amat langka dapat dibaca di surat-surat kabar, mengingat surat-surat kabar banyak yang dikuasai oleh kalangan Orla. sudah barang tentu isi surat-surat kabar banyak memuat berita-berita pengganyangan terhadap HMI.

Kesan saya, para peserta cukup antusias mengikuti acara-acara, bahkan Sdri. Atikah Algadri (kini Nyonya Nono Anwar Makarim) sangat rajin menghadiri acara acara Makta Umumnya pelaksanaan acara Masa Kebaktian berjalan sangat sederhana, tetapl peserta yang hadir jumlahnya konstan ratusan Orang, terbanyak dari UI. Selesai Makta, peserta memperoleh badge HMI, badge tersebut kita jahitkan di jaket kuning UI dan dikenakan jikalau masuk kuliah di kampus, anggota-anggota GMINI pun melakukan hal yang serupa. Ada suasana jor-joran memang.

Komisariat FHIPK, begitupun komisariat-komisariat lain, menarik uang iuran  anggota dengan teratur. Sebaliknya, komisariat mengeluarkan diktat-diktat yang kita butuhkan untuk kuliah. Juga dari komisariat kita dapat memperoleh soal-soal ujian tahun lampau sehingga sebagai anggota HMI, kita memperoleh fasilitas-fasilitas yang mendukung studi. Pada tahun pertama sebagai anggota HMI, saya menikmati fasilitas tersebut. Sementara itu suasana politik di luar semakin panas, PKI dan antek-anteknya kian meningkatkan aktivitasnya mengganyang HMI. Sebagai aktivis, pada akhirnya waktu kian tersedot untuk perjuangan. Kuliah-kuliah agak berceceran, dan banyak aktivis yang kuliahnya sudah tidak teratur lagi. Tetapi, sistem perkuliahan pada waktu itu amat mendukung perjuangan, kita belum mengenal sistem SKS yang berlaku begitu ketat seperti sekarang. Sistem perkuliahan yang ’’penuh toleransi’’ itu menyebabkan seorang tokoh mahasiswa seperti Hassan Ry, yang sudah belasan tahun kuliah belum berhasil jadi sarjana, tetapi ia dianggap sebagai Pudek III FHIPK UI. Begitupun Bambang Kusnohadi, Ketua Umum DPP GMNI pada waktu itu, dikabarkan duduk bertahun-tahun di tingkat II saja.

Gambaran perkuliahan di atas tidak “mewakili’’ keadaan anggota-anggota HMI secara keseluruhannya. Sebab banyak juga aktivis yang selesai pada waktunya, sehingga pada tahun 1964 terbentuk PERSAMI (Persatuan Sarjana Muslim  Indonesia) yang anggotanya kebanyakan alumnus HMI. Tetapi, yang selesai tidak pada waktunya pun banyak juga, kita sering mendengar humor para senioren tentang hal ini. Di antaranya adalah dari Drs. Norman Razak yang ‘menceritakan dirinya baru selesai studi setelah 11 tahun kuliah. Saya sulit membayangkan hal demikian pada waktu itu. Tetapi, saya sendiri selesai studi setelah 13 tahun, Sdr. Akbar Tanjung selesai studi setelah menjadi mahasiswa lebih dari 19 tahun (1964-1983)! Aniswati Machnan menjadi sarjana ekonomi setelah kuliah cukup lama.

Tetapi, itu semua ada alasan-alasannya, yang penting adalah tekad yang ditanamkan oleh HMI kepada para anggotanya adalah untuk dapat menyelesaikan study,  jangan sampai terjadi aktivis HMI terbengkalai study-nya, sebab study merupakan bagian dari perjuangan. Saya masih ingat  moto HMI pada masa itu, adalah: ’’abdi Ilahi, studi dan rekreasi’’. Moto tersebut agaknya untuk mengimbangi motto mahasiswa lokal, yang berbunyi: ’’lagu, buku dan pesta’’.

Kurang Tidur

Menjadi HMI-wan di zaman Orla, sering-sering membuat tidur agak berkurang, karena sewaktu-waktu rumah dapat saja diketok tengah malam buta oleh pengurus cabang untuk mengabarkan, bahwa ’’kita harus berkumpul selesai salat subuh di suatu tempat untuk melancarkan demonstrasi mempertahankan eksistensi HMI.’’ Pemberitahuan demonstrasi memang secara mendadak, sebab nampaknya Pengurus Cabang dan PB HMI harus bekerja dengan cepat dan mendadak agar rencana tidak sampai bocor, sehingga dapat saja demonstrasi digagalkan oleh pihak PKI dan antek-anteknya. Tempat-tempat yang biasanya dipergunakan untuk berkumpul adalah halaman Kantor Gasbindo di Jalan Tanah Abang II Jakarta,  atau halaman dekat Gereja Immanuel di depan stasiun Gambir.

Sdr. Ekky Syahruddin, Ketua HMI Cabang Jakarta waktu itu, sering bertugas sebagai pemimpin demonstrasi. Ia seorang yang sangat bersemangat, pintar beragitasi. Hal itu semua didukung oleh postur tubuhnya yang tegap. la juga pintar memimpin yel-yel  yang membangkitkan semangat. Tetapi memimpin nyanyian-bersama, ia sering gagal karena nada dasar yang dipilihnya tak bisa diikuti. Arif Rachman nampaknya menguasai massa bila ia tampil memimpin nyanyian bersama, lagu-lagu yang populer kala itu antara lain ’’Garuda Pancasila’’, Maju Tak Gentar’’. Lagu ’’Syukur’’ tak urung kerap kali membuat air mata berlinang bila dinyanyikan di terik matahari, sementara perut keroncongan sejak bakda subuh belum sarapan.

PKI dan antek-anteknya beroperasi malam hari, mereka menempelkan poster-poster berisi ’’Bubarkan, HMI’’, tetapi sejam kemudian oleh operasi aktivis-aktivis HMI poster dan coretan tembok itu telah berubah menjadi “Kobarkan HMI”. Sudah barang tentu, itu pekerjaannya kawan-kawan HMI yang hampir  tiap malam tidurnya kurang, seperti Sdr. Fahmi Idris, Sumarno Dipodisastro dll.

Ringkasnya, perkara militansi HMI-wan itu tidak kalah tangguhnya dengan yang lain, support dari masyarakat pun membanjiri tapi tak kalah hebatnya adalah support dari HMI-wati. Tidak sedikit aktivis-aktivis HMI-wan dan HMI-wati kemudian membangun rumah tangga dan beranak pinak sampai sekarang. Sehingga tak kelirulah bila dikatakan HMI setelah 38 tahun (hitungan pada 1985, red) didirikan tidak lagi sekadar suatu organisasi kemahasiswaan, tetapi lebih jauh dari itu adalah sebuah fenomena sosial yang eksistensinya mengukuh dalam suatu social recognation.

Di samping adanya struktur formal, seperti Pengurus Besar (PB), Cabang, Badko, Komisariat/Rayon dan KAHMI, ada perasaan yang kuat sebagai ’’keluarga besar’’ HMI. Ikatan sebagai perasaan berkeluarga besar itu, menyebabkan kehati-hatian pengurus untuk mengemban organisasi. Dahulu biasanya, sesuatu keputusan diambil tidak saja berdasarkan referensi formal, tetapi juga memperhatikan perasaan-perasaan yang berkembang di kalangan “keluarga besar”.

Boleh jadi, di situ letak rahasia kelanggengan himpunan tercinta ini. Wallahu’alam bissawab.

Penulis : Ridwan Saidi (1942-2022), Ketua Umum PB HMI 1974-1976. Sumber: Panji Masyarakat, 11 Februari 1985.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda