Pengalaman Religius

Siswono Yudhohusodo (2):  Saya Tangkupkan Kedua Tangan dan Memohon

Avatar photo
Written by Iqbal Setyarso

Ada satu peristiwa yang memberikan kesan mendalam dalam diri saya. Ini merupakan pengalaman religius yang makin menambah keyakinan saya bahwa dengan takwa yang dilandasi kepasrahan yang mendalam, Insya Allah kita akan mendapat kemudahan.

Peristiwanya waktu anak saya nomor tiga, Emeralda, yang biasa dipanggil Alda meninggal. Almarhumah anak saya itu menderita kelainan darah. Langka sekali dokter yang mempelajari penyakit ini. Di antaranya Prof. Dr. Shimon Slavin dan Prof. Dr. Rahmi Lewitz . Mereka adalah para ahli dari rumah sakit Yahudi, Hadassah di Yerusalem Barat, Israel. Kami telah rnelakukan berbagai upaya untuk mengobatinya. Terakhir, dengan izin Pak Harto, saya membawa anak saya berobat ke Yerusalem.

Cara terakhir untuk mengobati Alda, menurut kedua profesor itu, adalah dengan operasi transplantasi sumsum tulang belakang. Tetapi rupanya Allah menghendaki lain. Dia mengambil Alda dari kami pada usia 13 tahun.

Alda meninggal pada Sabtu, 17 Juni 1995 pukul 2 pagi di Rumah Sakit Hadassah. Ketika itu saya hanya berdua dengan istri di samping jenazah. Saya sadar betul, anak saya bukan milik saya. Saya menerima amanah Allah untuk membesarkan dan mendidiknya. Walaupun saya sedih luar biasa, tetapi dengan penuh keikhlasan saya menyerahkan kembali anak saya kepada pemiliknya, yaitu Allah.

Namun, hari Sabtu itu bagi orang Yahudi merupakan hari Sabbath. Pada hari itu mereka dilarang bekerja. Bisa dibayangkan kami berdua di negeri orang yang tidak punya hubungan diplomatik. Berarti tidak ada perwakilan negara kita di sana. Dalam suasana hati yang sangat sedih itu, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya tidak tahu di mana harus memandikan jenazah Alda. Saya juga tidak tahu di mana membeli kain kafan, dan bagaimana caranya membawa jenazah anak saya kembali ke Jakarta. Waktu itu suasananya sepi sekali.

Dalam kepiluan yang sangat mendalam itu, dengan kesedihan yang disertai keikhlasan, saya menangkupkan tangan saya, berdoa kepada Allah. Dengan kepasrahan saya memohon kepada Ilahi. Waktu itu saya teringat pada khutbah tentang pribadi yang bertakwa. Yaitu orang yang tidak mudah goyah dalam menghadapi setiap keadaan. Surat yang dikutip para khatib itu surat At-Thalaq Ayat 2, “Wa man yattaqillaaha yaral-lahuu makhrajaa“. Artinya, barangsiapa yang takwa kepada Allah, maka Allah akan membukakan jalan ke luar bagi masalah yang dihadapinya.

Saya memohon kepada Allah agar saya sebagai orangtua Alda, diberi kesempatan vang sebaik-baiknya untuk dapat menjalankan kewajiban pemakaman sesuai tuntutan agama Islam secara lengkap.

Tiba-tiba saja, seakan-akan saya diingatkan bahwa di Yerussalem saya mempunyai dua sahabat muslim Palestina. Namanya Abdul Karim dan Abu Musa. Mereka tinggal di Yerusalem Timur. Di daerah itu penghuninya kebanyakan orang Arab beragama Islam. Abdul Karim itu pejuang Palestina sejak 1940-an.

Langsung saya menelepon mereka pagi itu. Saya ceritakan musibah yang saya alami. Tidak diduga, hanya dalam tempo 45 menit, Abdul Karim datang ke Hadassah. Ia datang bersama Dr. Thareq, yang belakangan saya tahu sebagai orang dekat Presiden Palestina Yasser Arafat.

Dengan kedatangan mereka, jenazah anak saya dimungkinkan dibawa ke Rumah Sakit Islam Makasath, di wilayah Yerusalem Timur. Semuanya berlangsung seperti dalam mimpi. Anak saya dimandikan oleh wanita-wanita Palestina. Mereka menolak ketika saya beri uang. Katanya apa yang mereka lakukan lillahita’ala.

Jenazah anak saya kemudian dibawa ke Masjidil Aqsa. Di sana, anak saya disalatkan. Ada ribuan jamaah yang ikut menyalati. Yang memimpinnya adalah Imam Besar Masjidil Aqsa. Mereka menyalati hanya satu jenazah, jenazah anak saya.

Setelah itu jenazah anak saya dibawa ke Tel Aviv untuk diberangkatkan ke Jakarta. Yasser Arafat sempat mengirimkan karangan bunga duka cita yang disertai bendera Palestina.

Saya tidak tahu persis bagaimana semua itu berlangsung. Sepertinya mengalir begitu saja. Namun, kejadian ini mempertebal keyakinan saya bahwa kalau kita memohon disertai sikap pasrah yang mendalam kepada-Nya, kita akan memperoleh kemudahan. Sebab, sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Tiga Dalli Pegangan

Tuntunan agama, Islam sebetulnya sudah sangat jelas. Kita peroleh  itu, antara lain, dari Rukun Iman dan Rukun Islam. Oleh karena itu amalan ritual saya, selain salat, adalah puasa dan menjalankan amalan lain dalam rangka amar makruf nahi munkar, mengajak berbuat baik, mencegah dari perbuatan buruk. Alhamdulillah saya sudah dua kali menunaikan ibadah haji. Saya juga sudah mengkhatamkan Al-Qur’an. Saya juga belajar terjemahan dan tafsir-tafsirnya.

Dari beberapa buku yang saya baca, ada beberapa dalil yang saya jadikan pegangan. Pertama, tidak melakukan yang dilarang agama. Kedua, memperbanyak perbuatan yang dianjurkan agama. Ketiga, menjalankan perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah. Islam memang punya tuntunan rinci untuk melakukan ketiganya, baik dalam konteks hubungan dengan masyarakat luas maupun hubungan dengan Allah.

Kalau hendak dicari titik singgung antara Islam dan kebangsaan, saya katakan, misalnya saya muslim Pakistan, maka di samping saya melaksanakan ajaran Islam, saya harus berjuang demi kemajuan bangsa Pakistan. Juga seumpamanya saya muslim Arab. Saya harus tegakkan Islam sebaik-baiknya bagi kemakmuran dan kebesaran bangsaa Arab. Sekarang, kalau saya ingin menjadi muslim yang baik, saya berusaha menjadi muslim yang saleh dari waktu ke waktu. Bersamaan dengan itu, sebagai nasionalis, saya bekerja siang malam demi kemajuan bangsa saya, kebesaran negara saya, Indonesia.

Lalu, bagaimana muslim nasionalis di negeri yang bhineka ini? Menurut saya, ia seorang muslim yang menyadari kebhinekaan bangsanya. Dan penghormatan atas kebhinekaan itu berdiri di atas kesempurnaan Islamnya.

Meski saya tidak mahir membaca aksara Arab, tetapi Al-Qur’an ada di dekat tempat tidur saya. Satu-dua ayat saya baca kalau malam. Orang boleh saja menimbang seberapa Islam seorang, tetapi bukankah Allah yang Maha Mengetahui.

Sumber: Panji Masyarakat, 18 Agustus 1997

About the author

Avatar photo

Iqbal Setyarso

Wartawan Panji Masyarakat (1997-2001). Ia antara lain pernah bekerja di Aksi Cepat Tanggap (ACT), Jakarta, dan kini aktif di Indonesia Care, yang juga bergerak di bidang kemanusiaan.

Tinggalkan Komentar Anda