Ads
Cakrawala

Debt Collector, Problem Dan Tantangan

Avatar photo
Ditulis oleh B.Wiwoho

Debt Collector atau penagih hutang, belakangan ini hangat menjadi bahan pemberitaan media massa. Kompas.com – 23/12/2022 misalnya, “Ramai Diduga Debt Collector di Solo Paksa Pengendara Tunjukkan STNK, Ini Kata Polisi”. Padahal keberadaan debt collector hampir sama dengan usia peradaban manusia di berbagai penjuru dunia mana pun, hadir menyertai masalah hutang-piutang.

Di era moderen dengan perkembangan modal dan teknologi maju, peran penagih hutang semakin penting, dan ikut berkembang menjadi suatu organisasi bahkan perusahaan jasa penagih hutang. Jika semula organisasi debt collector hanya merupakan satu bagian dari organisasi perusahaan perbankan, yang dimaksudkan untuk menagih pembayaran pinjaman yang macet, atau bagian dari organisasi perpajakan untuk menagih kewajiban membayar pajak, sekarang sudah berkembang ke organisasi-organisasi dan perusahan yang mandiri.

Bagi perusahaan pemberi kredit seperti halnya bank, kebutuhan jasa penagih hutang sangat penting, bukan hanya karena efisiensi biaya, tapi juga proses penyelesaian utang jauh lebih cepat ketimbang jika kreditur memilih penyelesaian model litigasi yang panjang. Belum lagi, dalam proses hukum, eksekusi putusan pengadilan kerap sulit dilakukan atau bertele-tele.

Namun belakangan ini kehadiran debt collector di masyarakat luas kerap meresahkan. Pasalnya, penagihan seringkali dilakukan dengan ancaman dan kekerasan. Adakah aturan hukum mengenai hal ini? Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat misalnya, ada Undang-Undang yang mengatur tentang praktik Penagihan Utang yang Adil, yang mengatur industri pinjaman, yang diperbaiki dari waktu ke waktu serta diawasi ketat oleh Biro Perlindungan Keuangan Konsumen.

Di Indonesia, UU yang secara khusus mengatur penagihan hutang belum ada.  Masalah penagihan hutang dimasukkan dalam lingkup hukum perdata. Dalam hal menagih hutang pada seseorang, hendaknya menghindari kekerasan verbal dan fisik, sebagaimana ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi  nomor 18/PUU-XVII/2019, yang menggariskan bahwa eksekusi fidusia, atau pengalihan hak kepemilikan suatu benda yang lebih dikenal sebagai jaminan hutang, karena wanprestasi harus berdasarkan kesepakatan dari semua pihak. Tujuannya untuk menghindari kesewenang-wenangan dari kreditur.

Secara operasional, dasar hukum penagih hutang di Indonesia hanya diatur oleh sejumlah peraturan yang dikeluarkan oleh Peraturan Bank Indonesia (PBI 23/2021), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK dengan POJK 35/2018), dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI 2009) serta perubahannya.

Problemnya mengapa debt collector di Indonesia menjadi mencuat kuat dan mengesankan kekerasan? Semua itu tak bisa dipisahkan dari kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat, dengan segala keterbelakangannya, baik pada sisi masyarakat yang berhutang maupun para debt collectornya, serta sejumlah pemilik uang yang tega memanfaatkan peluang keterbelakangan tersebut.

Berita utama Harian Kompas Jumat 9 Desember 2022 misalnya, berjudul “Separuh Lebih Penduduk Tak Mampu Makan Bergizi”.  Kompas yang mengolah data dari berbagai sumber terpercaya menulis, lebih dari separuh penduduk Indonesia, sekitar 183,7 juta orang atau 68% populasi ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi harian mereka. Berita tersebut berkembang menjadi berita utama Kompas selama beberapa hari. Sabtu 10 Desember 2022, Kompas menurunkan berita utama berjudul “Ketimpangan Harga Pangan Perparah Tengkes”, tengkes samadengan stunting atau pertumbuhan kerdil baik fisik maupun otak.

Dampak dari kekurangan gizi sekaligus kemiskinan dan kesenjangan yang mengakibatkan masa depan buruk dari lebih sepertiga generasi muda bangsa kita, sudah diakui jauh sebelumnya oleh Menteri Kesehatan Nila Moeloek Agustus 2018, sebelum pandemi Covid. Menkes menyebut kasus stunting di Indonesia menunjukan angka 37,2 persen. (B.Wiwoho, buku 3 – Tonggak-Tonggak Orde Baru: Kejatuhan Soeharto Dan Ancaman Pembelahan Bangsa halaman 253 – 257).

Itulah, problem mendasar bangsa kita sekarang, sekaligus ancaman masa depan dengan sepertiga generasi muda yang mengalami stunting, yang berdasarkan pengalaman akan menjadi beban nasional. Maka ekses masalah debt collector dengan kasus-kasus kriminalnya, hanyalah bunga-bunga persoalan. Bagi kita umat Islam, marilah kita teguhkan serta konsolidasikan kepedulian kita berdasarkan petunjuk Allah Swt., melalui Surat Al Maa’uun untuk peduli dan memberikan pertolongan kepada anak-anak yatim dan orang-orang miskin.

Tentang Penulis

Avatar photo

B.Wiwoho

Wartawan, praktisi komunikasi dan aktivis LSM. Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat (1996 – 2001, 2019 - sekarang), penulis 40 judul buku, baik sendiri maupun bersama teman. Beberapa bukunya antara lain; Bertasawuf di Zaman Edan, Mutiara Hikmah Puasa, Rumah Bagi Muslim-Indonesia dan Keturunan Tionghoa, Islam Mencintai Nusantara: Jalan Dakwah Sunan Kalijaga, Operasi Woyla, Jenderal Yoga: Loyalis di Balik Layar, Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945 serta Pancasila Jatidiri Bangsa.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading