“Saya ingin memperbanyak perbuatan yang dianjurkan agama,” kata Siswono Yudohusodo. Pengusaha yang pernah berkarier di dunia politik ini mengakui, keislamannya dibangun pada masa kecil di lingkungan agamis, di sebuah desa di Kendal, Jawa Tengah. Karena pengaruh kiainya, Siswono, lulusan teknik sipil ITB, sempat memutuskan salat dengan bahasa Indonesia. Siswono, bapak lima anak dari hasil perkawinannya dengan Ratih Djodi Condokusumo, pernah kehilangan salah seorang putrinya. Tetapi di balik kejadian itu, katanya kepada lqbal Setyarso dari Panji Masyarakat, ia makin yakin bahwa Allah Maha Pengasih.
Ayah saya, Soewondo, seorang dokter. Beliau adalah dokter pemerintah. Karena itu hidup keluarga Karni berpindah-pindah. Ketika sekolah dasar, saya dibesarkan di Kendal, Jawa Tengah, padahal saya lahir di Longiram, Kalimantan Timur, pada 4 Juli 1943. Lalu, masa balita dilewatkan di Kutai, Kaltim, di pinggir Sungai Mahakam. Kemudian pindah lagi ke Donggala, Palu, di Sulawesi Tengah. Setelah itu ke Salatiga dan Kendal. Saya baru tinggal di Jakarta ketika SMA.
Di Kendal, saya masuk ke sekolah dasar, dulu namanya sekolah rakyat. Sebelumnya saya cuma belajar dari ibu. Beliau kebetulan guru. Kelas dua SR, saya mulai belajar salat. Itu sekitar tahun 1951. Sore-sore, saya dan kawan-kawan sebaya pergi ke langgar dekat rumah. Kami ikut salat bersama orang-orang dewasa. Usai salat, yang anak-anak tinggal untuk mengaji. Saat saya sekolah, pelajaran agama belum diajarkan secara intensif seperti sekarang. Kurikulumnya masih peninggalan zaman kolonial. Jadi, dari langgar itulah saya belajar membaca Al-Qur’an dan belajar salat.
Saya bersyukur hidup di lingkungan yang religius. Persis di sebelah rumah saya di Kendal itu ada Kiai Irfan. Beliau punya surau. Saya belajar Al-Qur’an pada Kiai Irfan. Beliau menjelaskan pengertian ayat-ayatnya dalam bahasa Jawa. Suara Pak Kiai enak didengar, saya dan kawan-kawan jadi betah. Anak-anak yang sudah lebih besar dari saya, dan sudah lebih lancar membaca Qur’an, sering membantu Pak Kiai mengajari kami, adik-adiknya. Seingat saya, yang mengaji itu banyak sekali. Suasana surau begitu hidup. Kami belajar sampai datang waktu salat Isya. Saya juga belajar agama dalam kepanduan Hizbul Wathon, yang didirikan Muhammadiyah.
Bagi saya, semua itu merupakan pengalaman yang berharga: menjadi anggota komunitas yang agamis. Lingkungan alamnya pun enak. Sebuah desa dengan sawah yang luas dan hampir ticiak pernah ada konflik. Menjelang tidur, ibu saya, Istria Bintarti, suka mendongeng. Kisah-kisah yang beliau ceritakan selalu mengandung nilai-nilai ketuhanan. Bagi saya, semua ini landasan yang baik. Saya berangkat dari sebuah lingkungan yang damai.
Saya ingat, Kiai Irfan waktu itu berteman dengan seorang pastor karena tepat di depan suraunya ada gereja. Namun masing-masing saling menghormati, hingga kami tidak pernah mendengar ada masalah dalam hubungan antarumat yang berbeda agama. Pak Kiai ini, selain mengajar Al-Qur’an, juga menasihati kami agar kami menjadi manusia yang arif.
Saya sering protes kepada Pak Irfan. Saya bilang sulit menghafal bahasa Arab. Padahal, beliau bilang, kalau berdoa itu harus sadar apa yang diucapkan, tahu artinya, harus menghayati maknanya. Jadi, sudah menghafalnya sulit, kami pun harus tahu artinya. Pesan ini sangat kuat melekat dalam pikiran saya. Oleh karena itu setiap salat yang terbaca dalam batin saya adalah bahasa Indonesianya. Karena dengan bahasa Indonesia saya lebih memahami doa saya, mulai dengan takbir menyebut, “Tuhan Allah yang Mahabesar”, sampai salam, “Semoga Tuhan Allah memberikan rahmat-Nya dan selamat kepadamu”.
Akhirnya saya mengambil keputusan sendiri. Saya salat memakai bahasa Indonesia, mulai takbir sampai salam. Saya baru membaca doa dalam bahasa Arab, walau sering diseling bahasa Indonesia, ketika SMA.
Waktu menjadi mahasiswa, saya pernah masuk tahanan Selain saya, ada Dr. Muslimin Nasution yang dipenjara. Dia sempat heran waktu tahu saya salat dengan bahasa campuran. Dia yang kemudian meyakinkan saya. Katanya, kalau salat itu sebaiknya memakai bahasa Arab. Alasannya, supaya seragam dengan muslimin yang lain. Sejak itu, saya selalu salat dengan bahasa Arab penuh.
Bersambung
Sumber: Panji Masyarakat, 18 Agustus 1997