Ads
Cakrawala

Kolom Ahmad Tohari: Lho, Ronggeng

Ditulis oleh Panji Masyarakat

LHO! Seorang yang mengaku dirinya santri menulis novel tentang ronggeng; tentang kehidupan jahiliah yang cabul dan penuh maksiat. Jorok serta sungguh tak mengenal adab. Ini bisa runyam. Ini, salah-salah bisa merusak akidah islamiah. Mengapa kau, novelis kelas zarah itu, tidak mengikuti jejak Motinggo atau Teguh atau banyak lagi yang bisa menghias karya fiksi mereka dengan nash Al-Qur’an dan hadis Nabi?

Mula-mula saya tidak bersemangat membuat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Bukan tidak bisa, melainkan saya takut dituduh sedang berdalih. Atau yang lebih penting: sesungguhnya kata ’’Iho’’ tak perlu diarahkan kepada saya apabila novel saya (Ronggeng Dukuh Paruk) dibaca sampai habis dalam persepsi yang cukup dan dengan kepala dingin pula. Dengan demikian, akan terbaca pula hal-hal yang tak terlihat pada ke-174 halaman novel itu karena hanya tersirat di dalamnya. (Catatan redaksi: Novel ini telah diangkat dua kali ke layar lebar dengan judul yang berbeda. Pertama, pada 1983 dengan judul Darah dan Mahkota Ronggeng,  yang dibintangi Enny Beatrice dan Ray Sahetapy dan disutradai Yasman Yazid. Kedua, Sang Penari pada 2011, arahan Sutradara Ifa Isfansyah, dan dibintangi Prisia Nasution yang memerankan tokoh Srintil, dan Oka Antara yang memerankan tokoh Rasus)     

Tetapi saya tidak bisa lebih lama bungkam. Saya harus membuka mulut, dengan segala kerendahan hati tentu saja. Karena saya tidak ingin citra seorang santi jadi konyol. Terlebih-lebih lagi, saya tak ingin makna yang penting dalam novel saya luput dari perhatian pembaca, yang berarti saya telah gagal. Dan tulisan ini bukan sebuah pleidoi melainkan sekadar ajang temu-wicara. Kiranya nanti tidak ada lagi “lho”? yang mengarah kepada saya, baik lewat lisan maupun surat (yang kebanyakan dari pembaca Panjimas). Bukan pula sebuah promosi gratis agar buku saya laku. Amit-amit!..

Mata faset

Sebuah karya Sastra tentu saja bermata faset. Artinya, dilihat dan beberapa seginya. Misalnya dari segi bahasa, segi penyiapan, bahkan dari segi kepribadian dan latar penulisannya dan sebagainya. Dari segi penyajian, novel saya itu kurang dalam hal pengorganisasian (Yakob Sumarjo, Pikiran Rakyat). Dan segi bahasa, novel saya nyaris jatuh ke dalam gaya populer (Korrie Layun Rampan, Berita Buana). Kons Kleden (Kompas) mengatakan, novel saya lebih terasa sebagai pertimbangan daripada sebuah cerita. Sapardi Djoko Damono mengatakan, saya seorang tukang dongeng, dalang (Tempo) dan banyak lagi seperti yang ditulis Pamusuk Eenste (Sinar Harapan). Atau seperti yang termuat dalam Yudha Minggu, Sinar Pagi  dan Suara Merdeka. Lalu bagaimana ihwalnya bila novel Ronggeng Dukuh Parukl  dilihat oleh mereka yang memakai kacamata akidah Islam?

Inilah dia yang bisa mengundang runyam serta ketidaksamaan pendapat. Andai kata saya adalah  Abdurrahman Wahid yang pernah mengatakan, bahwa hendaknya kepada seni diberikan otonomi (maksudnya otonomi terbatas) maka saya akan mudah memberikan jawab. Tetapi saya sama sekali bukan Gus Dur. Saya sekadar seorang santri “mualaf”. Meski demikian, saya akan berbicara karena hal ini merupakan kewajiban moral sekaligus tanggung jawab saya. Terutama setelah kiai saya mengingatkan kembal Surat Asy-Syu’araa ayat ke-224 sampai dengan ayat ke-227:

Dan para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang Sesat. Tidakkah kau melihat bahwa mereka mengembara di tiap-tiap lembah? (catatan kaki: para penyair itu Suka mempermainkan kata-kata dan tidak mempunyai tujuan baik tertentu serta tidak punya pendirian). Dan mereka suka mengatakan apa . yang mereka sendiri tidak mengerjakannya? Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut nama Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali

Niat

Segala amal tergantung pada matnya Dalam hal tulis menulis  Taufiq Ismail,  seperti yang dikatakan oleh ikhwan Achmad Setiyadi (Panjimas No 389),  akan memperbarui niatnya. Artinya, penyair beken Angkatan 1966 itu akan mengucap bissmillahir rahmanir rahim setiap kali mengangkat kalam. Seperti itu pula rupanya yang telah dilakukan oleh ikhwan Motinggo dan Teguh Esha  akhir-akhir ini Nah, itikad  mereka sangat bagus.

Kemudian, apakah ada terucap lafal basmallah ketika saya mulai menulis novel Ronggeng Dukuh Paruk? Allah Yang Maha Tahu dan Maha Mendengar. Itu jawab saya.  Dan rasanya, saya tak perlu banting setir karena sejak semula saya tak melupakan ajaran kiai bahwa lafal basmalah  harus mengawali setiap amal.

Ini bukan silat lidah? Kamu hendak mengatakan, bahwa dengan menulis tentang kejahilan dengan segala tetek bengeknya, kamu sedang beramar  makruf?

Maaf, begini. Dalam Ronggeng Dukuh Paruk memang saya menuliskan masyarakat jahiliah nyaris secara ekstrem dengan kemaksiatannya, kecabulannya dan sumpah serapahnya. Saya menginginkan gambar kejahilan yang lengkap. Bahkan aspek kemusyrikannya pun sengaja diangkat lebih tinggi.

Kemudian:

“Aku, Rasus, telah menemukan diriku sendiri. Dukuh Paruk akan kutinggalkan.”  Itu kalimat pada alinea terakhir dalam novel saya itu. Rasus, tokoh penting dalam novel itu yang lahir dan dibesarkan dalam nilai-nilai jahiliah,  saya tuliskan telah menemukan dirinya sendiri lalu pergi meninggalkan Dukuh Paruk. Tokoh tersebut merasa tidak betah dengan alamnya, alam Dukuh Paruk. Dia hijrah! Ke mana? Ah, sebuah novel memang bukan buku petunjuk jalan,

bukan pula sebuah slogan. Saya berpendapat, sebuah novel menjadi tawar bila terlalu dogmatis.

Jadi, cukup saya tuliskan seorang tokoh yang hidup dalam nilai-nilai jahiliah telah meninggalkan lingkungannya. Kalau sudah diketahui alam jahiliah jelek, maka logika bersahaja akan mengatakan, si tokoh itu pasti pindah ke alam yang penuh petunjuk. Dan apabila yang tersirat ini dengan cara apa pun tidak juga tertangkap oleh pembaca, maka saya hanya bisa minta maaf. Kemudian tentu saja: Astaghfirullahal ‘azhim.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda