Cakrawala

Kolom Emha Ainun Nadjib:  Tawakal ke Insinyur  

Written by Panji Masyarakat

Seorang  mubalig menguraikan perihal tawakal, kesabaran dan ketabahan, dalam hubungannya dengan cita-cita dan derajat tinggi manusia.

Dikisahkannya tentang dua orang siswa SPG (Sekolah Pendidikan Guru, kini telah dihapus) yang berpacaran akrab selama mereka sekolah. Setelah tamat, sang lelaki ditugas-belajarkan ke suatu pelosok di Tegal, sementara sang wanita harus tetap di Yogya. Perpisahan itu ternyata menjadi problem besar, sementara untuk menyelesaikannya dengan pernikahan, mereka merasa belum siap. Akhirnya bentrok, putus, konfrontasi Yogya-Tegal. Si gadis  tumpah air matanya. Ia merasa dikhianati. Kenapa sang kekasih memilih jadi guru di desa? Kenapa tidak menyibak tantangan yang lebih berat untuk cita-cita yang lebih tinggi?

Lima tahun kemudian, terjadi antiklimaks. Di Malioboro, dua orang itu bertemu tanpa diduga, masing-masing dengan keluarganya. Sang mantan  dengan istri dan dua anaknya. Sedangkan si gadis yang dulu patah hati, sekarang dengan suaminya, seorang insinyur, dan seorang putranya. Keluarga insinyur itu baru saja memarkir mobilnya, hendak masuk toko, dan tiba-tiba ketemu keluarga guru.

“Lelaki itu menundukkan kepalanya,” berkata mubalig kita. “Demikianlah, sang wanita ini dulu tidak putus asa; putus asa itu pekerjaan orang kafir;  ia sabar, tabah, tawakal dan yakin pada kekuasaan Allah. Maka akhirnya ia mencapai derajat tinggi: suaminya insinyur, hidup mereka bahagia, sementara lelaki bekas pacarnya itu tetap saja menjadi guru di desa …”

Tetap saja jadi guru, hanya guru, dan insinyur itu mengangkat istrinya menjadi berderajat tinggi.

Bagaimana mungkin seorang mubalig Islam memompakan cara berpikir dan alam sikap yang seperti itu?

Kalau refleksi kita menunjuk pada soal “manusia Indonesia memang amat mementingkan status quo, kemudian kedudukan dan kekayaan”, mungkin tablig itu bisa dianggap “selesai”. Artinya, tak usah kita pergunjingkan lebih lanjut. Tapi kalau kita merasa perlu untuk menjadikan prinsip dan disiplin Islam sebagai pijakan, maka isi tablig semacam itu merupakan tantangan yang harus dijawab dengan proses yang mungkin amat panjang.

Harfiah saja sudah keliru: guru itu jabatan, insinyur itu gelar. Ini tak mungkin diperbandingkan. Pak Domo (Laksamana Sudomo) pangkatnya bukan Pangkopkamtib dan jabatannya bukan jenderal, bukan pula laksamana. Insinyur itu tempelan dan guru itu menunjukkan kerja. Kalau toh mau diperbandingkan, dengan ukuran yang ‘steril’,  insinyur itu nol dan guru sudah melambangkan suatu amal dan pahala.

Tapi itu pun belum ’ilmiah’: kita belum lagi tahu kualitas keduanya, apakah guru itu menjadi diktator-pencetak di kelasnya, apakah Insinyur itu kayak “Si Mamad” (film karya Sjumandjaja) di kantornya, ataukah justru eksploitator yang cerdas atas mekanisme sistem yang korup dalam birokrasi yang ia libati.

Jadi, minimum mubalig kita ini melakukan hal mubazir, dan juga penuh mudarat, karena mengatakan sesuatu secara keliru hal yang ia belum ketahui benar. Dan kalau ia mau memakai Islam sebagai pedoman nilai, setidaknya ia bisa pakai “Inna akramakum indallahi atqakum” (Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa, Al-Hujurat ayat 13, red) meskipun masih terbatas pada mimpi kata-kata. Kita butuh mendidik diri kita untuk mengukur perilaku diri dengan cara Islam memberi kualitas kepada manusia.

Ini semua memang refleksi zaman. ‘Wajar’ saja. Kita hidup dalam proses sejarah, yang Islam memang lemah peranannya untuk ikut mewarnai pertumbuhannya. Kita berasa di dalam panggung peradaban yang merangsangkan impian-impian yang tidak islami, juga mendorong kita untuk melakukan cara-cara yang tidak islami dalam mengejawantahkan mimpi itu. Kita terkurung sedemikian rupa sehingga kita lebih sering tak merasa terkurung. Daya akomodasi kita amat tinggi terhadap setiap perkembangan, sehingga yang terburuk pun bisa kita anggap wajar. Orang yang berdiri betul di garis Islam: tampak lucu, sok, kenes, bombas, dan tak jarang beramai-ramai kita menertawakannya.

Mubalig  kita tadi memberi contoh soal yang amat gamblang, bahwa kita makin kurang mampu menghargai pengabdian, kesetiaan, perjuangan untuk kualitas kemanusiaan yang sebenar-benarnya perjuangan. Kita makin tidak mencontoh cara berpikir Allah atas tata nilai hidup manusia. Kita banyak menyeleweng dari Allah dalam cara kita mengukur manusia. Kita makin terpeleset menjauh dari Islam dalam cara kita menilai kemajuan, ketinggian, perkembangan, derajat atau kemuliaan manusia. Kita banyak kalah berperang melawan jaring-jaring nilai yang menyerimpung kita.

Kekalahan itu berulang-ulang terus, dari hari ke hari, dari itu ke itu juga tanpa pernah bisa benar-benar kita atasi. Akhirnya kita bosan sendiri, kita tertawakan, lantas kita lupakan. Bahkan untuk mengkudeta diri sendiri, merebut diri sendiri, dari impitan conditioning itu, kita sering gagal. Dan kita diam-diam memilih nikmat di atas kereta yang tidak islami, sambil kita rasionalisir dengan berbagai pembelaan kecerdasan kita.

Dan  itu juga yang dilakukan oleh  mubalig kita itu.

Sumber: Panj Masyarakat No 387. 21 Februari 1983.

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda