Ads
Bintang Zaman

Al-Mawardi: Pemikir dan Praktisi Politik

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Al-Mawardi, tokoh terkemuka mazhab Syafi’i dan ahli politik terkenal pada abad ke-10, mungkin tidak begitu dikenal oleh umat Islam Indonesia. Namun, sebenarnya, (pandangan) orang ini merasuk dalam pemikiran politik umat di negara ini.

Cobalah tengok kembali peristiwa yang berlangsung pada 1984 di Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Asem Bagus, Situbondo, Jawa Timur. Desa kecil ini telah menjadi saksi bagi tumbangnya KH Idham Chalid, yang selama ber-puluh tahun berada di pucuk pimpinan Nandlatul Ulama (NU). Ia digusur Abdurrahman Wahid, intelektual muda, yang waktu itu belum punya pengaruh besar di kalangan Nandhiyin.

Apa jurusnya? Sederhana saja. Kelompok Abdurrahman Wahid menggelar konsep fikih bernama ahlul-halli wal-aqdi. Melalui rekayasa khas NU, mereka berhasil mengegolkan konsep itu: bahwa ketua umum PB NU akan dipilih oleh sebuah tim, yang diketuai shahibul bait KH As’ad Syamsul Arifin.

Banyak orang terhenyak dengan konsep “baru” yang mirip dengan tim formatur itu. Terutama bagi kalangan pesantren, konsep ini sebenarnya bukan barang asing. Kitab-kitab fikih Syafi’i selalu menyinggungnya kala membahas imamah atau khilafah. Tetapi, konsep ini baru dipakai dua kali, yakni pada Muktamar Situbondo, yang memenangkan Gus Dur dan ketika ulama NU menobatkan Presiden Soekarno sebagai “Waliul Amridl-dlaruri bisy-syaukah”.

Konsep itu sendiri mulai berkembang dan dikenal luas pada masa-masa pascasahabat Nabi Muhammad s.a.w. Tidak diketahui siapa orang yang pertama kali memperkenalkannya. Namun sebagian ulama menyebut Al-Mawardi (364-450 H/974-1058 M), seorang ahli fikih dan ahli hadis, sebagai pencetusnya. Paling tidak, Al-Mawardi  adalah tokoh yang berjasa merumuskan konsep tersebut secara gamblang dan nyaris tuntas.

Nama lengkapnya adalah Abul Hasan Ali ibn Habib Al-Mawardi. Dilahirkan di Basrah, Irak, sejak kecil Al-Mawardi sangat gandrung mempelajari ilmu fikih, khu-susnya fikih siyasi (tata negara). Untuk ini ia berguru kepada dua ahli fikih terkenal di Basrah, yakni Syekh Asy-Syamiri dan Syekh Abu Hamid.

Masa kehidupan Al-Mawardi ditandai dengan disintegrasi politik dalam daulah Bani Abbas. Pada masa itu, Baghdad yang menjadi pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah tidak dapat membendung keinginan daerah-daerah yang dikuasainya untuk melepaskan diri dan membentuk pemerintahan otonom. Maka, lahirlah dinas-ti-dinasti kecil yang menolak kekuasaan Baghdad. Di sisi lain, keberadaan khalifah-khalifah juga sangat lemah. Mereka tidak lebih dari boneka yang dijadikan penyaluran ambisi politik dan persaingan antara para pejabat tinggi dan para panglima. Adapun yang berkuasa menentukan kebijaksanaan negara bukanlah khalifah, melainkan pejabat-pejabat atau wazir-wazir (menteri-menteri) yang terutama berasal dari bangsa Turki dan Persia.

Dalam kondisi demikian, Al-Mawardi muda pandai memainkan peranannya sehingga ia diberi jabatan yang strategis dalam pemerintahan. Dalam kapasitasnya seba-gai ahli hukum Mazhab Syafi’i, Al-Mawardi pernah menjadi hakim di berbagai kota sehingga namanya pun dikenal luas. Pada masa pemerintahan Al-Qadir (991-1003 M), A1-Mawardi -bahkan diangkat menjadi ketua mahkamah agung (Qadi Al-Qudat).

Karena kecakapan diplomasinya pula, pada masa pemerintahan Al-Qaim, Al-Mawardi ditunjuk sebagai mediator antara pemerintah Bani Abbas dan penguasa Buwaihi. Dia sukses menjalankan misinya dan memuas-kan kedua pihak. Para amir Buwaihi diberi kekuasaan yang terbatas dalam mengurus sebagian wilayah Bani Abbas. Maka, tidak heran kalau Al-Mawardi juga mendapat tempat yang layak dan disenangi oleh amir-amir waihi yang menganut paham Syi’ah.

Dalam kondisi seperti itu, Al-Mawardi melahirkan pemikiran politiknya sebagaimana tertuang antara lain dalam Kitab Al-Ahkamus-Sulthaniyah dan Adabul-Dunya Wad-din. Kitab yang disebut pertama dianggap sebagai karangan ilmiah yang pertama dalam kajian ilmu politik dan administrasi negara. Bahkan sebagian orientalis memandangnya  sebagai dokumen kunci dalam evolusi pemikiran  politik Islam.

Negara dan Pemerintahan

Menurut Al-Mawardi, institusi imamah atau khilafah dilembagakan untuk menggantikan kenabian (nubuwwah) dalam rangka melindungi agama dan mengatur kehidupan dunia. Pelembagaan imamah, berdasarkan ijmak ulama, merupakan fardu kifayah. Pandangan Al-Mawardi ini didasarkan pada kenyataan sejarah Khulafaur Rasyidun dan khalifah sesudah mereka, baik dari Bani Umayyah maupun Bani Abbas, yang merupakan lambang kesatuan politik Islam.

Oleh karena itu, umat Islam perlu memilih kepala negara untuk melaksanakan pemerintahan. Pemilihan ini, menurut Al-Mawardi, harus melibatkan unsur ahlul ikhtiyar dan ahlul imamah. Yang pertama adalah orang-orang yang berwenang memilih dan mengangkat kepala negara, sedarigkan unsur kedua adalah orang yang berhak menduduki jabatan kepala negara. Unsur pertama harus memenuhi kualifikasi adil, mengetahui dengan baik calon kepala negara, dan memiliki wawasan luas serta kebijakan sehingga ia dapat mempertimbangkan hal-hal yang terbaik bagi negara. Sementara unsur kedua (calon kepala negara) harus memenuhi syarat-syarat adil, memiliki ilmu yang memadai untuk melakukan ijtihad, sehat panca indranya, punya kemampuan menjalankan pemerintahan untuk kepentingan rakyat, berani melindungi wilayah kekuasaan negara, berani berjihad untuk memerangi musuh, dan keturunan Quraisy.

Unsur ahlul ikhtiyar itu dalam teori Al-Mawardi disebut ahlul-halli wal-aqdI. Kepala negara dipilih berdasar-kan kesepakatan mereka. Sayangnya, Al-Mawardi tidak menjelaskan prosedur pemilihan ahlul-halli wal-aqdi. Hal ini barangkali karena pada praktiknya keanggotaan mereka ditentukan dan diangkat oleh khalifah. Karenanya, kedudukan mereka tidak independen. Akibatnya, ahlul-halli wal-aqdi tidak berfungsi sebagai alat kontrol kepala negara. Apalagi kalau dikaitkan dengan pendapatnya bahwa kepala negara juga dapat diangkat berdasarkan wasiat kepala negara sebelumnya.

Al-Mawardi hanya menjelaskan proses pemilihan kandidat kepala negara yang diawali dengan meneliti persyaratan kandidat. Lalu kepada kandidat yang paling memenuhi kualifikasi diminta kesediaannya. Dalam hal ini Al-Mawardi menolak pemaksaan terhadap calon kandidat terpilih sebab hal ini merupakan kontrak yang harus  dilakukan kedua pihak atas dasar kerelaan. Kalau ia bersedia dipilih maka telah dimulailah sebuah kontrak sosial antara kepala negara dan masyarakat yang di-wakili oleh ahlul ikhtiyar. Mereka membaiat kepala negara  dan diikuti masyarakat Islam.

Dari kontrak itu lahirlah hak dan kewajiban timbal balik antara kepala negara selaku penerima amanah dan rakyat sebagai pemberi amanah. Secara garis besar, kepala  negara, menurut Al-Mawardi, punya 10 tugas dan kewajiban,  yakni (1) memelihara agama, (2) melaksanakan hukum di antara rakyatnya dan menyelesaikan perkara yang terjadi agar tidak ada yang menganiaya dan teraniaya, (3) memelihara keamanan dalam negeri agar orang dapat melakukan aktivitasnya dan mengadakan perjalanan dengan aman, (4) menegakkan hudud (hukuman pidana), (5) membentuk tentara yang kuat untuk membentengi  negara dari serangan musuh, (6) melakukan jihad terhadap orang yang menolak ajaran Islam setelah diajak, (7) memungut harta fai’ dan zakat dari orang yang wajib membayarnya, (8) membagikannya kepada yang berhak, (9) menyampaikan amanah, dan (10) memperhatikan se-gala sesuatu yang dapat meningkatkan politik pemerintahannya terhadap masyarakat dan pemeliharaannya terhadap agama. Sebaliknya, rakyat wajib taat kepada kepala negara selama ia dapat menjalankan tugas kenegaraan. Kewajiban taat ini tidak hanya kepada kepala negara yang adil, tetapi juga yang jahat (fajir).

Al-Mawardi melandaskan pendapatnya pada Q.S. An-Nisa: 59, “Hai orang-orang yang beriman, taatlah ke-pada Allah, rasul-Nya dan penguasa di antara kamu”. Juga hadis Nabi: “Akan ada kelak pemimpin-pemimpin kamu sesudahku, baik yang adil maupun yang jahat. Dengarkan dan taatilah mereka sesuai dengan kebenaran. Jika mereka baik maka kebaikannya untuk kamu dan untuk mereka. Tetapi jika mereka jahat maka akibat baiknya untuk kamu dan kejahatannya kembali kepada mereka.” Sayangnya, Al-Mawardi tidak menjelaskan sanad atau transmisi dan periwayat hadis tersebut sehingga masih perlu dipertanyakan statusnya untuk dapat dijadikan argumen.

Lepas dari itu, pendapat Al-Mawardi mengesankan kepatuhan mutlak rakyat kepada kepala negara. Tentu saja dari pendapat ini dia tidak membenarkan adanya oposisi karena hanya akan menimbulkan perpecahan dan ketidakstabilan dalam negara. Dari pandangannya itu sangat mungkin terjadi absolutisme kepala negara dan si-kap otoriter. Kepala negara mungkin saja akan meiriper-tahankan kebijaksanaannya dengan mengatasnamakan dirinya sebagai bayang-bayang Tuhan di muka bumi. Jadi, segala tindak-tanduknya akan sulit dikontrol. Apalagi Al-Mawardi sendiri tidak mengelaborasi bagaimana fungsi dan kedudukan ahlul-halli wal-aqdi setelah di-lakukan baiat terhadap kepala negara terpilih.

Memang, Al-Mawardi menegaskan kemungkinan pembebasan kepala negara dari jabatannya bila ia sudah menyimpang dari keadilan dan kehilangan salah satu fungsi organ tubuhnya atau tidak dapat menjalankan tu-gasnya karena dikuasai oleh “orang-orang dekatnya”. Meskipun demikian, Al-Mawardi juga berpendapat bahwa penyimpangan kepala negara tidak secara otomatis menyebabkan jabatannya lepas, apalagi bila ia dapat mendukung tindakannya secara logis. Jadi, alasan penurunan kepala negara dari jabatannya hanyalah karena hilangnya kesehatan, baik fisik maupun mental, atau karena ia ditawan oleh musuh, tidak berkaitan sama sekali dengan keadilan. Dia juga tidak menyebutkan bagaimana mekanisme pemberhentian kepala negara, berapa tahun masa jabatan kepala negara, dan siapa yang berhak me-lakukan pemberhentian kepala negara. Hal ini berbeda sekali ketika Al-Mawardi menguraikan secara rinci mekanisme pemilihan kepala negara.

Sikap kurang tegas itu merupakan cerminan keberpi-hakan Al-Mawardi kepada Bani Abbas. Dia melihat realitas politik bahwa khalifah hanya menjadi boneka dari pe-jabat-pejabat tinggi kerajaan yang berbangsa Persia atau Turki. Secara ideal, Al-Mawardi menginginkan kepala negara yang berkuasa menentukan kebijaksanaan politik, tidak dipengaruhi pembantu-pembantunya. Al-Mawardi menginginkan bahwa kepala negara haruslah seorang yang aktif, bukan sebagai figur simbol. Namun, secara faktual, kepala negara (khalifah) Bani Abbas ternyata tidak mampu berbuat apa-apa. Mereka tidak mempunyai kewibawaan dan tidak mampu menjalankan roda pemerintahan.

Untuk melihat pemikiran politik Al-Mawardi, agaknya perlu juga dicatat kariernya sebagai pemikir politik yang juga duduk dalam pemerintahan. Tentu saja dia sangat defensif terhadap kekhalifahan Bani Abbas. Oleh sebab itu, seandainya dia maju sedikit saja dalam teori-nya tentang mekanisme pemberhentian kepala negara maka dapat dibayangkan bahwa kekhalifahan Bani Abbas akan segera berakhir digantikan oleh dinasti Buwaihi yang sudah mendominasi politik pemerintahan ketika itu. Inilah yang tidak diharapkan Al-Mawardi. Apalagi Al-Mawardi sendiri adalah penganut prinsip al-aimmah min Quraisy, sebagaimana tercermin dari persyaratan kepala negara. Hal ini setidaknya dapat mengamankan posisi khalifah Bani Abbas.

Untuk mempertahankan prinsip itu, Al-Mawardi merumuskan konsep wazir tafwidl dan wazir tanfidz dalam kabinet. Wazir yang pertama adalah menteri atau negara yang memiliki kekuasaan agak luas. Wazir bisa menentukan kebijaksanaan politik sendiri. Karenanya dia mensyaratkan, jabatan tersebut harus diisi oleh orang-orang Arab yang setia kepada kepala negara. Sementara wazir yang kedua hanyalah pelaksana kebijaksanaan kepala negara, tidak mempunyai wewenang membuat kebijaksanaan sen-diri. Makanya untuk jabatan ini tidak harus dari suku Quraisy.

Adanya syarat suku Arab dalam wazir tafwidl ini juga merupakan sikap defensif Al-Mawardi untuk kekhalifahan Bani Abbas sehingga supremasi Arab (Quraisy) masih tetap dipertahankan.

Di sisi lain, Al-Mawardi berusaha mengembalikan ke-kuasaan Bani Abbas dengan penegasannya bahwa hanya ada satu kepala negara untuk umat Islam dalam satu masa yang sama. Pandangan ini ju-ga merupakan upaya. Al-Mawardi  mengantisipasi tuntutan seperti itu, yang tentu saja bisa menjadi ancaman bagi keutuhan Bani Abbas. Nyatanya, Fatimiyah di Mesir telah menggalang usaha untuk membentuk dinasti yang terpisah dari Bani Abbas.

Memang, pandangan politik Al-Mawardi tampaknya, terutama yang berkaitan dengan proses suksesi, terbentuk untuk menopang sistem yang ada serta membantu mempertahankan status quo. Ini sangat kentara pada konsep wal-aqdi sendiri dan; lebih-lebih, pada wewenang penguasa untuk memilih penggantinya (lewat wasiat). Jelas, konsep-konsep ini cukup efektif menjamin keberlangsungan suatu. dinasti. Ini belum lagi kenyataan bahwa Al-Mawardi konon menuliskan pandangan-pandangannya mengenai sistem politik atas suruhan rajanya.

Meski demikian, pandangan Al-Mawardi bukannya tanpa landasan. Penunjukan pengganti oleh khalifah tampaknya mengacu pada wasiat Abu Bakar Ash-Shiddiq yang menunjuk Umar ibn Khaththab sebagai penggantinya. Sementara ahlul-halli wal-aqdi mengacu pada tim yang dibentuk Khalifah Umar menjelang ajalnya. Tim ini, yang diketuai anaknya, Abdullah, ditugaskan untuk memilih penggantinya dengan catatan, demikian Umar mewasiatkan, Abdullah tidak boleh dipilih.

Ahlui-halli wal-aqdi, sebagai majelis syura, sudah ada pada masa Rasulullah, meski tidak menggunakan nama itu. Begitupun pada masa-masa keempat khalifah pengganti Rasulullah. Majelis itu beranggotakan para sahabat terpercaya yang diserahi tugas berkaitan dengan kemaslahatan umum dan memberikan masukan dalam musyawarah. Pada era sesudahnya, pada dinasti Umayah dan Abbasiyah, justru lembaga ini tidak dikenal. Tetapi, ada juga yang menduga, lembaga demikian diadakan pula pada era itu dengan melibatkan para anggota keluarga kerajaan (yang ditunjuk oleh khalifah), seperti yang kini berlaku di Kerajaan Saudi.

Betapapun pemikiran Al-Mawardi mempunyai kelemahan-kelemahan, setidaknya ia telah memberi kontri-busi yang sangat berarti bagi perkembangan pemikiran politik Islam. Dan, pandangan politik Al-Mawardi ini ibarat  sel yang merasuki ke setiap pembuluh darah konsep khilafah dan imamah yang berlaku di kalangan Sunni. Tak cuma mengadopsi, para tokoh ahli fikih, semacam Imam Nawawi, juga mengembangkan konsep ahlul-halli wal-aqdi. Pada abad ke-20 tercatat Muhammad Rasyid Ridha dan Abul A’la Al-Maududi yang mencoba mengembang-kan konsep tersebut guna menangkal derasnya serbuan konsep Barat dengan lembaga legislatifnya. Menurut Ra-syid Ridha, lembaga itu berbeda dengan lembaga parlemen modern karena khalifah memegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif sekaligus. Sementara Maududi mencoba memodifikasinya menjadi lembaga kekhalifahan kolektif, yang merupakan gabungan dari sistem kekhalifahan lama dan sistem demokrasi modern.

Di kalangan muslim Indonesia, konsep ahlul-halli wal-aqdi memang baru dua kali diterapkan. (Pada muktamar NU berikutnya di Krapyak, Yogyakarta, setelah Situbondo, konsep itu tidak dipakai lagi oleh Gus Dur, yang sudah makin mengakar di kalangan umatnya) Namun, konsep kenegaraan Al-Mawardi lainnya, terutama tentang bagaimana berhubungan dengan penguasa dan menyikapi tindakan-tindakan mereka, mewarnai dengan jelas persepsi umat tentang kekuasaan.

Penulis: Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag., dosen Fakultas Syari;ah, UIN Sumatera utara, Medan.  Tulisan ini dimuat ketika Muhammad lqbal menjadi  mahasiswa Pascasarjana lAlN  (kini UIN) Jakarta. Sumber: Panji Masyarakat, 16 Juni 1997.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading