Pada Minggu 18 Desember kemarin, 3,5 milyar masyarakat di dunia menyaksikan siapa juara dunia “ World Cup 2022” yang diselenggarakan di Qatar . Ya, pertandingan antara Argentina vs Perancis yang membuat dagdigdug penonton hingga akhir mesti diselesaikan dengan adu penalti, Kali ini, La Albiceleste berhasil mengalahkan Les Blues.
Menonton sepakbola merupakan hiburan murah yang memberikan kesenangan, keceriaan dan kebahagiaan bagi masyarakat di segala lapisan , akar ruput hingga kelas atas. Sebagai sebuah jenis olah raga , sepakbola adalah sebuah permainan yang disukai oleh berbagai kalangan di seluruh dunia, laki-laki maupun perempuan dari berbagai latar belakang etnis, ras , suku dan agama .
Mirip dengan sepakbola, demokrasi adalah sistem politik yang esensinya adalah kedaulatan rakyat atau sering diringkas menjadi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (from the people, by the people and for the people). Sistem politik ini juga disukai sebagain besar penduduk di dunia. 120 dari 194 negara di dunia mengadopsi sistem ini. Memang masih muncul kontroversi apakah demokrasi menjadi sistem pemerintahan yang terbaik diantara sistem politik lainnya. Jika ditengok Indeks Kesejahteraan Legatum tahun 2020 menunjukkan bahwa 10 negara yang paling sejahtera di dunia adalah negara –negara yang skor demokrasinya tinggi seperti Denmark, Norwegia, Swiss, Swedia, Finlandia, Belanda, Selandia Baru, Jerman, Luxemburg, dan Austria (Legatum Prosperity Index, 2020). Demikian juga, menurut Transparency International negara negara yang dengan mempaktekan pemerintahan yang bersih dengan praktek korupsi yang rendah, adalah negara-negara yang tingkat demokrasi tinggi. (Corruption Perception Index, 2019).
Kemiripan prinsip
Dengan kenyataan bahwa sepakbola dan demokrasi disukai oleh mayoritas penduduk di dunia, pertanyaan yang muncul adalah apakan keduanya mempunyai persamaan atau setidaknya kemiripan?. Sepakbola dan demokrasi mempunyai kemiripan setidaknya dalam 3 hal. Pertama kompetisi, karakter utama dari sepakbola dan demokrasi adalah kompetisi. Dalam sepakbola, tim yang sedang berkompetisi memperebutkan suatu kemenangan sebagai tujuan dari kompetisi. Kemenangan itu disimbolkan dengan memasukkan bola kedalam gawang lawan atau disebut goal yang artinya tujuan. Begitu pula dalam demokrasi kompetisi diantara kontestan politik, misalnya partai politik atau politisi merupakan elemen utama. Tujuannya adalah memperbutkan kekuasaan.
Kedua, aturan hukum (rule of law). Sepakbola dan demokrasi akan efektif dan menarik jika didasarkan kepada aturan hukum yang disepakati. Contoh aturan dalam sepakbola adalah off-side, hand ball dan pelanggaran lain misalnya menghalangi lawan. Wasit dan hakim garis bertugas menegakkan aturan itu secara fair dan adil. Wasit mempunyai ototritas-otoritas yang diperlukan dalam menengakkan aturan itu misalnya menghentian permainan, mengingatkan pemain yang ‘ nakal” dengan karu kuning dan bahkan menghukum pemain dengan kartu merah , artinya ia tidak bisa melanjtkan permainan. Aturan itu harus ditegakkan secara fair dan adil kepada semua pemain baik yang sekaliber Leonel Messi atau Christiano Ronaldo atau tim-tim papan atas seperti Argentina, Perancis Inggris, Jerman dan Brazil. Jika para pemain itu melanggar aturan akan terkena semprit, atau mendapat hukuman dalam berbagai bentuk seperti tendangan bebas, kartu kuning, penalti hingga kartu merah. Pemain dalam tim yang melanggar atau tidak mau mentaati aturan secara adil dan fair pasti akan merusak filosofi sepakbola dan bahkan berakhir dengan tawuran , kekerasan atau konflik.
Kompetisi dalam demokrasi juga harus didasarkan kepada aturan main yang sebelumnya sudah disepakati oleh para “pemain politik” atau partai politik di parlemen. Aturan ini akan efektif yang membuat demokrasi manarik, jika diberlakukan kepada seluruh kontestan politik secara adil dan fair oleh wasit misalnya Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu yang seharusnya mempunyai kekuatan untuk menegakkan aturan secara adil dan fair, seperti wasit sepakbola. Jika para kontestan menghianati prinsip-prinsip keadilan dan wasit tidak mempuyai kekuatan untuk menegakkan aturan yang sudah disepakati atau berpihak kepada salah satau kontestan akan menyebabkan konflik atau tawuran politik antara para kontestan atau pendukung kontestan yang merusak prinsip-prinsip demokrasi
Ketiga, prinsip saling mengontrol dan menjaga keseimbangan (Checks and balances). Dalam sepakbola prinsip ini termanifestasi dari struktur organisasi tim dan strategi bermainnya. Masing-masing pemain dalam tim dikontrol oleh pemain lawan secara seimbang. Jumlah pemain dalam tim sama-sama 11. Seorang striker dari satu tim dikontrol oleh defender (back) dari pemain lawannya. Seorang atau beberapa pemain tengah (Midfieder) dalam tim yang berkompetisi juga akan saling mengontrol, melewati dan menghalangi dalam konteks sesuai dengan aturan. Mereka diperbolehkan untuk menggunakan taktik dan strategi untuk saling mengalahkan. Prinsip keseimbangan akan membuat kompetisi sepakbola lebih menarik. Final World Cup 2022 kemarin menjadi menarik karena mempertemukan tim yang mempunyai kekuatan yang seimbang, tim Argentina menempati ranking 3 FIFA dan dan Perancis menempati ranking 4. Tontonan sepakbola akan kurang menarik jika mempertemukan kedua tim yang bertanding mempunyai ranking yang jauh. Misalnya tim Argentina (ranking 3 ) melawan tim Andora (ranking 151). Meskipun secara filosofi, ibarat bola bundar tim yang lebih lemah bisa mengalahkan yang lebih kuat. Terbukti di babak penyisihan Argentina dijungkalkan oleh Arab Saudi.
Begitu pula dalam demokrasi. Implementasi sistem ini akan efektif dan indah jika didasarkan kepada prinsip saling mengontrol dan menjaga keseimbangan (Checks and balances). Pertama, saling mengontrol, menjaga keseimbangan antara lembaga-lembaga negara atau yang biasa disebut dengan cabang-cabang kekuasaan negara, legislatif , eksekutif dan judikatif. Kedua saling mengontrol dan keseimbangan antara pememegang kekuasaan, bisanya disebut sebagai koalisi pemeritahan , dengan oposisi. Demokrasi tidak akan berjalan dengan baik dan tidak menarik jika ada dominasi kekuasaan secara tidak fair dari salah satu cabang kekuasaan atau dominasi pemegang kekuasaan politik (pemerintah). Karena dominasi kekuasaan merupakan indikator dari otoritarianisme. Ujung dari otoritarianisme adalah korupsi. Sebagai mana teori yang disampaikan oleh Lord Acton “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely“)”
Belajar Dari Sepakbola
Final Piala Dunia 2022 memiliki pesan moral setidaknya bila dikaitkan dengan demokrasi. Bagaimana penegakan hukum oleh wasit dilakukan dengan fair dan berkeadilan, bahkan pelatih pun dikenai kartu kuning karena melanggar aturan. Penggunaan teknologi VAR untuk membantu wasit membuat keputusan pada sah dan tidaknya gol menjadi cerminan bahwa keterbatasan manusia dapat dibantu dengan kecanggihan teknologi.
Bangsa Indonesia seyogyanya bisa belajar dari sepakbola dengan meningkatkan implementasi prinsip-prinsipnya seperti aturan main (rule of law), keadilan, fairness, saling mengontrol yang seimbang dalam kehidupan kebangsaan kita. Dengan prinsip itu, sistem demokrasi kita yang masih berada di ranking 52 dengan skor 6,71 atau disebut demokrasi yang cacat (flawed democracy) mudah-mudahan bisa terus disempurnakan. Syukur-syukur selanjutnya penyempurnaan implementasi prinsip itu akan bisa meningkatkan prestasi tim sepakbola kita yang saat ini masih berada di ranking 152.