Wacana demokrasi kita dalam beberapa waktu terakhir ini mengundang pesimisme dan keraguan. Pertanyaannya adalah apakah kita telah siap menjadi masyarakat yang demokratis dan dewasa. Soal ini terutama diarahkan pada mereka yang duduk di lembaga eksekutif, legislatif dan tentunya juga institusi-institusi pemerintah lainnya. Mereka yang mempunyai kedudukan dan mengisi jabatan inilah yang seharusnya menjadi tolok ukur terbangunnya kehidupan yang demokratis, sebagai teladan yang salah satunya ditandai kedewasaan dalam bersikap dan kepatuhan pada undang-undang serta cara berfikir yang mengutamakan kepentingan rakyat.
Wacana tersebut menjadi perhatian dan kepedulian kita terutama menyaksikan beberapa pemikiran yang timbul belakangan ini seperti adanya usulan perpanjangan masa jabatan presiden, pemilihan presiden untuk periode ketiga, keinginan untuk memasangkan Prabowo dengan Jokowi, adanya pemecatan ketua MK oleh DPR, merenggangnya hubungan antar elit dipicu pencapresan, upaya presiden mendukung calon presiden pada figur tertentu, plt gubernur dan bupati yang cukup panjang waktunya dan lainnya.
Sejumlah catatan kehidupan demokrasi kita di atas mengisyaratkan bahwa elit dalam membangun kehidupan demokrasi belum konsisten dan taat asas. Sebab, sebagian gagasan yang tidak konsisten untuk membangun kehidupan demokratis dimunculkan oleh politisi, anggota MPR, DPD, pejabat pemerintah yang seharusnya justeru menunjukkak sikap untuk mentaati kehidupan demokratis. Misalnya saja, gagasan perpanjangan masa jabatan presiden dan pencalonan untuk.periode ketiga jelas bertentangan dengan undang-undang. Karena undang-undang hanya membatasi jabatan presiden hanya untuk 2 periode. Ketentuan ini pun diperjuangkan dengan taruhan nyawa oleh mahasiswa sehingga mampu mengakhiri pemerintahan yang otoriter.
Jika kini ada usaha untuk melawan konstitusi dan undang-undang tersebut maka kita menjadi negara yang dikhawatirkan berpotensi menimbulkan kegaduhan dan suasana tidak kondusif untuk membangun. Karena itulah citra kita berdemokrasi harus dibangun dengan mengembangkan watak kematangan dalam berdemokrasi dan budaya politik yang dewasa.
Apakah ciri budaya politik dan berdemokrasi yang dewasa itu. Ahli politik Henry B. Mayo menyebutkan beberapa ciri di antaranya, adanya pergantian kekuasaan yang teratur dan periodik. Artinya, bahwa kekuasaan harus dipergilirkan di antara orang. Tidak tepat kalau kekuasaan hanya dipegang oleh seseorang dalam waktu yang lama tanpa batas. Kekuasaan yang terlalu lama dipegang oleh seseorang selain bakal menimbulkan pemerintahan yang otoriter, juga mendorong perilaku korupsi, nepotisme dan kesewenang-wenangan, sebagaimana adagium mengatakan, kekuasaan cenderung untuk.korupsi. Karena itu kekuasaan yang baik adalah yang dibatasi oleh undang-undang. Beruntungnya bahwa Indonesia telah mengamandemen UUD 45 yang awalnya tidak ada pembatasan jabatan presiden, saat ini presiden hanya boleh menjabat selama 2 periode. Presiden sebelumnya Susilo Bambang Yudhoyono yang sempat menjabat dua periode jadi presiden, tidak mencalonkan lagi untuk ketiga kalinya. Dan, saat itu tidak muncul kontroversi dalam masyarakat untuk mengusung SBY ketiga kalinya . Semuanya berjalan lancar dan mulus, dan ini menandakan sebuah sistem politik yang berjalan dengan baik dan aman. Namun, di era sekarang ini muncul letupan pemikiran untuk memperpanjang jabatan presiden dan keinginan membuka peluang untuk jabatan tiga periode, jelas ini merupakan upaya yang berlawanan dengan undang-undang sehingga muncul istilah adanya upaya mengkudeta konstitusi.
Selanjutnya, kedewasaan berdemokrasi ditandai adanya penghargaan pada martabat manusia. Manusia wajib dihargai karena dia makhluk Allah. Demokrasi sebagai sistem budaya sejatinya manusia harus dinilai sama derajatnya. Tidak ada penggolongan-penggolongan yang menyebabkan manusia ditempatkan sebagai memiliki derajat rendah, menengah dan tinggi. Dalam demokrasi, seseorang dinilai tinggi keberadaannya bila ia mampu menghormati manusia sebagai manusia, bukan karena manusia itu memiliki berbagai kelebihan baik materi maupun status sosial dan kedudukannya dalam masyarakat ( Muchlis Patahna, Azkia Jaya, 2010).
Karena itu seorang yang demokrat adalah seorang yang berjuang dan membangun dirinya untuk menjadi pribadi yang human, bersahabat dengan orang lain, terbuka, ramah, santun kepada siapapun, tanpa memiliki prasangka buruk dan kecurigaan kepada siapa saja.
Sejak pemilu dilakukan secara langsung, terutama menonjol pada Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019 masyarakat kita mengalami disintegrasi dan terbelah dalam kubu fanatisme figur. Selain itu muncul isu-isu penistaan agama yang membuat makin lebar pembelahan, saling curiga, saling tuding, dan bahkan permusuhan, saling lapor ke polisi. Kondisi kekisruhan sosial ini bukan hanya terjadi di lapis bawah masyarakat, namun di kalangan elit timbul perdebatan yang tajam saling membela pendiriannya dan kelompoknya. Dalam konteks kehidupan politik reformasi saat ini disintegrasi sosial tersebut perlu diharmoniskan kembali dalam demokrasi yang santun, human dengan panduan etika dan komunikasi sosial yang tidak menimbulkan konflik.
Berbeda pendapat tentu sah-sah saja, namun yang perlu diingat jangan sampai timbul ketegangan dan merusak persahabatan. Seorang yang matang dalam berdemokrasi tidak mungkin bersikap otoriter dan membungkan pikiran dan gagasan. Sebaliknya, ia merangsang orang untuk mengutarakan aspirasi, pendapat dan ide untuk mencari kebenaran atau jalan pemecahan terbaik
Namun, kebebasan berbicara dan mengutarakan pendapat ini tentu tetap dalam koridor yang bertanggungjawab, sebab suatu kebebasan yang lepas tanpa kendali akan mengganggu tertib sosial dan rasa aman masyarakat. Jadi, seorang demokrat juga berfikir jauh ke depan dan mampu melihat implikasi atau akibat dari gagasan yang dimunculkannya.
Karena itu dalam demokrasi juga perlu adanya hukum yang mengatur kehidupan masyarakat. Dan penegakan hukum itu menjadi kekuatan (law enforcement). Ia berada di atas segala-galanya dalam mengontrol perilaku masyarakat. Asas yang dikenal sebagai supremasi hukum ini harus diberlakukan secara adil tanpa pandang bulu dan tebang pilih, tanpa memandang kedudukan seseorang, status sosial, ekonomi dan lainnya. Siapa yang bersalah harus diberikan sanksi yang setimpal dengan perbuatanya. Hukum yang berkeadilan harus diterapkan apapun resiko atau konsekuensinya.
Kita sekarang melihat adanya krisis solidaritas, dalam arti rasa sensitivitas makin meredup baik dalam bentuk kepedulian ekonomi untuk membantu kaum.lemah maupun melunturnya sensitivitas sosial. Orang begitu mudah melakukan hal-hal yang dapat menyinggung perasaan orang lain, baik menyangkut agama, profesi, pribadi dan lainnya. Yang menonjol saat ini sikap egoisme mementingkan diri sendiri dan kelompok atau golongan.
Melihat kenyataan itu sangat mendesak dibangun sikap demokrasi yang mwngingatkan kembali bahwa dalam negara demokrasi rakyat dan orang banyak yang memiliki kedaulatan. Dan, karena itu kesejahteraan mereka harus diutamakan atau diprioritaskan. Pejabat bukanlah penguasa yang mesti dilayani, tapi pejabat adalah pelayan buat rakyatnya! Mungkinkah itu terwujud?