Mutiara

Mudarat Netralisasi Agama dari Politik

Avatar photo
Written by A.Suryana Sudrajat

Kalangan Ahlu Sunnah umumnya menyatu dengan kepentingan rezim penguasa. Tapi Mengapa kaum muslimin harus bersabar atas kejahatan para penguasa (al-a’immah wulatul umur) mereka, dan sama sekali dilarang berontak? Lalu apa yang harus dilakukan?

Terbunuhnya Khalifah Utsman ibn Affan, yang disusul berbagai kekacauan, menjelaskan pengalaman traumatis pada sebagian kaum muslimin. Maka, ketika terjadi pertentangan hebat antara Mu’awiyah dan Ali, yang kemudian melahirkan kekuatan ketiga – kaum Khawarij, pengikut garis keras Ali yang membelot – sebagian umat Islam memilih sikap netral. Bahkan ketika Mu’awiyah menunjuk putranya Yazid sebagai penggantinya. Hanya sedikit yang menentang, menurut catatan Ibnu Khaldun – di antaranya Abdullah ibn Zubair. Ia dan pasukannya tewas di sekitar Ka’bah dibantai tentara Yazid, di bawah komando Hajjaj ibn Yusuf yang dikenal amat bengis itu.

Golongan netralis itu antara lain dipelopori dua cendekiawan, Abdullah ibn  Umar ibn  Khattab dan Abdullah ibn Abbas. Golongan ini sangat menekankan pada tradisi Nabi (sunnah), selain pada solidaritas dan kesatuan umat (jama’ah). Kelompok yang kemudian dikenal sebagai Ahlus Sunnah wal-Jama’ah itu sendirinya tidak menyukai baik anarkisme Khawarij maupun radikalisme Syi’ah. Hanya, pertumbuhan sikap mereka yang moderat itu lalu seperti menyatu dengan kepentingan rezim yang berkuasa, Bani Umaiyah. Kalaupun mereka beroposisi kepada rezim, hanya pada tataran moral dan tingkat wacana.

Namun, sebagaimana Khawarij dan syi’ah alias pengikut Ali, kaum netralis ini juga merambah ke lapangan teologi. Dari kalangan merekalah sebenarnya berkembang konsep irja’: apakah seorang mukmin yang berdosa (besar) masih terhitung mukmin atau sudah kafir, harus ditunda (urji’a) ketentuannya sampai Hari Kemudian. Dengan demikian, urusan para penguasa yang zalim (yang tak bisa dihadapi) diserahkan kepada Allah. “Hukum hanyalah pada Allah” (Q. Al-An’am 57). Penganut paham ini, yang umunya juga berhaluan jabariyah (keterpaksaan manusia, predestination}, lazim disebut kaum Murji’ah., yang secara garis besar dapat digolongkan menjadi yang moderat dan yang ekstrem. Yang moderat berpendapat, mukmin yang berbuat dosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal di neraaka. Ia hanya akan dihukum sesuai dengan dosanya, di samping tetap ada kemungkinan Tuhan mengampuninya. Keyakinan ini lalu berkembang di kalangan Ahlus Sunnah.

Pengalaman traumatis, menyusul tragedi pembunuhan Khalifah Utsman, menyebabkan sebagian besar kaum muslimin memilih tradisi netral dalam urusan politik. Hanya, pertumbuhan sikap mereka yang moderat itu lalu seperti menyatu dengan kepentingan rezim yang berkuasa. Walaupun jadi oposan hanya terbatas pada oposisi moral.”

Adapun Murji’ah ekstrem berpendapat, imanlah (letaknya di hati dan hanya Allah yang tahu) yang menentukan mukmin tidaknya seseorang. Perbuatan sama sekali tidak punya pengaruh. Dengan kata lain, kita tidak bisa melihat mukmin tidaknya seseorang dari perbuatannya, bagaimanapun perbuatan itu. Dalam kenyataan, Murji’ah yang satu ini, yang amat toleran terhadap berbagai penyimpangan model apa pun, pada akhirnya tidak disukai.

Tetapi, sehubungan dengan praktik kekuasaan yang zalim, boleh juga kita simak pendapat Ibnu Taimiyah, yang kerap dikutip dalam tulisan-tulisan Nurcholish Madjid tentang modernisme, keterbukaan, moderasi, toleransi dan persamaan. Bisa dipahami,  Nurcholish mendapat gelar doktornya (Ph.D.) di bidang kalam dan falsafah (dari Universitas Chicago) dengan disertasinya mengenai Ibn Taimiyah. Rujukan kaum modernis ini berpegang pada hadis bahwa kaum muslimin harus bersabar atas kejahatan para penguasa (al-a’immah wulatul umur) mereka, dan sama sekali dilarang berontak. Sebab, katanya, yang melanggar ketentuan itu bukan maslahat yang dihasilkannya, melainkan kerusakan. Sementara kerusakan yang timbul akibat memerangi penguasa zalim lebih besar daripada akibat perbuatan zalimnya. Ibnu Taimiyah mengajukan bukti-bukti historis untuk mendukung kebenaran argumennya itu.  Tapi, berbeda dengan kaum Murji’ah yang jabariyah, Ibnu Taimiyah justru mengharuskan kritik kepada penguasa yang zalim. Ia berpegang pada prinsip bahwa agama adalah nasihat (ad-din an-nashihah). Nasihat, bukan pemberontakan,  (al-khuruj, al-baghy) diperlukan karena, kata dia, manusia tidak ada yang sempurna.

About the author

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda