Ads
Bintang Zaman

Tirmidzi, Sang Pemuka Tasawuf

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Tirmidzi, dalam ingatan kita, adalah ulama besar ahli hadis yang tergolong dalam Ashhabus Sittah, enam orang penghasil himpunan hadis paling terpercaya. Urut-urutan mereka, berdasarkan kesepakatan tentang nilai karya masing-masing, adalah Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasai, At-Tirmidzi, dan Ibn Majah. Kebesaran mereka itu dicerminkan dengan gelaran imam untuk masing-masing. Namun Asep Usman Ismail, dalam tulisan berikut, mengingatkan kita kepada Tirmidzi yang lain lagi. Bukan yang imam hadis, melainkan pemuka tasawuf.

Nama lengkapnya: Abu Abdillah Muhammad ibn Ali ibn Hasan ibn Basyar Al-Hakim At-Tirmidzi. Ia lahir di kota Tirmidz pada tahun yang hampir bersamaan dengan tahun kelahiran rekannya yang imam hadis. Yakni 205 H (820 M), empat tahun sebelum kelahiran `Tirmidzi hadis’, dan wafat pada 320 H, dalam usia 115 tahun, 41 tahun sesudah wafat rekannya yang hanya mencapai usia 70 tahun. Keduanya juga dimakamkan di kota kelahiran yang sama, Tirmidz. Kini, pusara dua ulama ini menjadi sasaran wisata ziarah yang potensial bagi Uzbekistan, Asia Tengah.

Tirmidz atau Termez merupakan kota ilmuwan, terletak di tepi Sungai Jihun alias Amudarya. Dalam peta geografi klasik, kawasan yang terbentang di sepanjang daerah aliran sungai Amudaria itu terkenal dengan sebutan Ma Wara-an Nahr (Daerah Seberang Sungai), atau Transaxonia, salah satu pusat peradaban pada masanya. Sementara secara etnografi, kota-kota pusat peradaban Islam di Uzbekistan seperti Termez begitu penduduk setempat menyebutnya Bukhara, Samarkand, juga Iran Utara dan Azerbaijan terkenal sebagai kawasan Khurasan. Penduduk di sana umumnya berbudaya Persia-Turki.

Delapan Puluh Enam Kitab. Al-Hakim At-Tirmidzi lahir dari keluarga ilmuwan. Ayahnya, All ibn Hasan, sebetulnya ahli hadis cukup terkemuka. Atmosfer ilmu keislaman pertama yang diserap Al-Hakim juga tak lain ilmu hadis. Tidak mengherankan jika ia sendiri salah seorang perawi sabda Nabi. Menurut penelitian Usman Ismail Yahya dari Pusat Studi Peradaban Islam, Paris, Hakim At-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari 18 ulama hadis terkemuka, baik yang berada di kota kelahirannya maupun di kawasan Khurasan. Di antara mereka: Hasan ibn Ali, Jarud ibn Mu’adz As-Sulma, Shalih ibn Abdillah, Shalih ibn Muhammad (semuanya memakai nama belakang At-Tirmidzi), kemudian Ali ibn Hajar As-Sa’di, Sufyan ibn Waki`, Hasan ibn Umar ibn Syaqiq Al-Balkhi, dan Utbah ibn Abdillah Al-Marwazi.

Sementara ulama-ulama yang meriwayatkan hadis dari Hakim di antaranya Abu Muhammad Yahya ibn Manshur An-Naisaburi, Manshur ibn Abdillah ibn Khalid Al-Harawi, Hasan ibn Ali Al-Jurjani, Ahmad ibn Muhammad ibn Isa, Abu Bakr Al-Warraq, dan Abu Bakr Muhammad ibn Ja’far ibnul-Haisim. Salah satu karya Hakim At-Tirmidzi dalam bidang hadis adalah kitab Nawadirul Lishul ‘ala Ma’rifati Ahaditsir Rasul. Kitab ini berisi hadis-hadis tasawuf. Tetapi ia juga memberikan syarah, komentar-komentar luas, tentang hadis-hadis itu. Selain studi dalam bidang hadis, Hakim At-Tirmidzi juga mencurahkan perhatiannya kepada kajian tafsir dan fikih.

Kecenderungan Hakim At-Tirmidzi untuk mendalami tasawuf baru tumbuh pada usia 28 tahun, ketika ia sedang menunaikan ibadah haji. Di kemudian hari para ulama yang sezaman dengannya maupun yang datang sesudahnya menilai Hakim At-Tirmidzi termasuk sufi yang disegani, di samping penulis yang produktif. Mahmud Fahmi Hijazi, dalam Tarikh Turatsil ‘Arab menyebutkan karya Hakim tidak kurang dari 86 kitab, baik yang sudah diterbitkan maupun yang masih berbentuk manuskrip. Yang terakhir itu kini tersimpan di beberapa perpustakaan universitas atau pusat studi Islam, di Kairo, Leiden, London, Istanbul, dan Damaskus.

Di antara karyanya yang terkenal: Kitab Khatmil Aulia (Kitab Pemungkas Para Wali), Al-Ikyas wal-Mughtarin  (Kit Orang Cerdik dan Orang Tertipu), Kitab ‘Ilmul Aulia (Ilmu Para Wali), Al-Masaa-ilul Makanah (Pelik-pelik Persoalan Jiwa), Riadhatun Nafs (Pelatihan Jiwa) Syarhush Shalah wa Maqashiduh (Uraian tentang Salat dan Tujuan-tujuannya), Kitabul Hajj wa As-raruh (Kitab Haji dan Rahasia-rahasianya), Al-Farq Bainal Ayat wal-Karamat (Perbedaan Antara Tanda-tanda dan Keramat), ManaziJul ‘Ibad wal-‘Ibadah (Peringkat-peringkat Para Hamba dan ibadah), dan Kitab Shifatil Qulub wa Ahwaluha (Kitab Sifat Kalbu dan Berbagai Ihwalnya).

Wali dalam Tasawuf

Konsep wali dalam tasawuf berkenaan dengan kedekatan seorang sufi dengan Tuhan. Secara etimologi kata wali satu akar kata dengan kata walayah atau wilayah. Keduanya mengandung arti dekat, cinta, persahabatan, pertolongan, kekuasaan, bimbingan, dan pengelolaan. Jadi seorang waliyullah, wali Allah adalah orang yang mempunyai hubungan dekat dengan Tuhan, menjalin cinta kasih yang mendalam dengan Tuhan, bersahabat dengan Tuhan, senantiasa berada dalam pertolongan, bimbingan, dan pemeliharaan Tuhan. Menurut Abu Utsman Al-Hujwiri, konsep wali atau walayah merupakan asas penting dalam tasawuf. Sebab keduanya berkaitan dengan kesucian jiwa dan kedekatan dengan Allah. Tidak mungkin seseorang mencapai derajat wali Allah tanpa keduanya. Sebab itu, dalam tradisi lisan, wali dianggap orang suci.

Adapun orang pertama yang merumuskan konsep wali dalam tasawuf itu tak lain adalah Hakim At-Tirmidzi ini. Untuk menjelaskan pemikirannya, ia menulis dua buah buku yang sudah tersebut: Kitab Khatmil Aulia dan ‘Ilmul Aulia. Di situ ia menjelaskan, konsep wali dapat diterangkan dari dua sudut kebahasaan.

Pertama, waliy dipahami dengan mengikuti pola kata (wazan) ma f’ul, berarti objek atau pasif. Dengan demikian, wali adalah orang yang segala urusannya dikuasai Allah. Allah berfirman, menirukan kalimat kita, “Sesungguhnya penolongku adalah Allah yang telah menurunkan Al-Kitab, dan Dia mengatur orang-orang yang saleh” (Q.S. 7: 196). Menurut At-Tirmidzi, seorang wali tidak ‘pernah sejenak pun mempercayakan urusannya kepada kemampuan dirinya: Hanya kepada Allah.

Kedua, waliy dipahami dengan mengikuti pola kata atau wazan fa’il dalam pengertian pelaku aktif. Dengan itu wali adalah orang yang ibadah dan ketaatannya kepada Allah berlangsung secara terus-menerus tanpa sedikit pun diselingi oleh maksiat.

Kedua kualitas itu, menurut Hakim, merupakan “jati diri” para wali Allah yang sebenarnya. Dengan rumusan yang sederhana, menurut hemat penulis, wali dalam pandangan Hakim At-Tirmidzi adalah seorang yang jiwanya suci, dekat dengan Allah, segala urusannya diserahkan kepada-Nya, dan ibadahnya kepada Allah tidak diselingi sedikit pun oleh perbuatan maksiat. Sampai di sini pengertian wali masih terasa “normal”.

Ada dua jalur seseorang bisa mencapai kedua kualitas di atas. Pertama, disebut jalur thariqah ahlil munnah,  jalur orang yang mendapat limpahan anugerah. Melalui jalur pertama seseorang meraih derajat wali di hadapan Allah semata-mata karena karunia (munnah) Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Kedua, jalur thariq ashhabish shidq,  jalur orang-orang yang benar dan tulus dalam ibadah. Melalui jalur ini seseorang meraih derajat wali berkat keikhlasan dan kesungguhannya dalam persembahan kepada Allah, dan dia pun kemudian disebut waliy haqqillah, atau, dalam bentuk jamak, aulia huquqillah. Menurut Hakim, derajat kewalian yang diraih melalui jalur kedua diperoleh setelah seseorang bertobat dari dosa-dosanya dan bertekad bulat membuktikan tobatnya dengan konsisten di dalam menunaikan segala yang diwajibkan; menjaga al-hudud (batas-batas hukum), dan mengurangi al-mubahat (semua yang dibolehkan agama tetapi tidak begitu berguna), sehingga jiwanya tenteramlah. Kemudian, ia memperhatikan aspek batin dan menjaga kesuciannya dengan saksama.

Hubungan yang tercipta antara Allah dan para wali, menurut Hakim, adalah hubungan pemeliharaan (ar-ri’ayah), cinta dan kasih sayang (al-mawaddah), serta pertolongan (al-inayah). Karena terciptanya tiga hubungan ini, At-Tirmidzi sampai kepada kesimpulan bahwa para wali (aulia) Allah dikaruniai ‘ishmah, keterpeliharaan dari kesalahan. Nah. Namun jangan buru-buru menilai: menurut At-Tirmidzi, ‘ishmah para wali tidak sama dengan ‘ishmah para rasul Allah. ‘Ishmah wali berarti al-hifzh. Sebab itu, jika para wali dikatakan ma’shum, itu sebenarnya berarti mahfuzh, terjaga.

‘Ishmah para wali, bahkan orang beriman pada umumnya, bertingkat-tingkat. Bagi umumnya orang beriman, ia berarti keterpeliharaan dari kekufuran dan dari keadaan terus-menerus berbuat dosa, serta dari tidak adanya kesadaran untuk bertobat, sedangkan bagi para wali, ‘ishmah sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat (peringkat) mereka.

Lebih jauh Hakim At-Tirmidzi menjelaskan, derajat kewalian seorang sufi mengalami pasang surut di antara manazilul muqarrabin (posisi orang-orang yang demikian dekat dengan Allah) dan maratibul wasith (posisi medium). Sebab itu para wali Allah mengalami peralihan, mutasi dari “alam malakut” yang satu ke “alam malakut” yang lebih tinggi, melalui perjuangan berat, sehingga akhirnya berada di hadapan-Nya untuk masuk ke dalam “genggaman Tuhan”. Pada situasi yang demikian ini seorang wali melihat perbendaharaan hikmah (kunuz minal-hikmah), dan tersingkaplah baginya ilmu Allah. Dengan demikian naiklah horison pengenalan sang sufi dari kesadaran tentang rupa-rupa cacat dirinya (‘uyubun nafs) kepada pengetahuan tentang sifat-sifat dan nama-nama (shifat wa asmaa’) Allah, bahkan kepada ilmu Tuhan dalam hubungan yang sangat personal.

Selain itu, para aulia, seperti halnya para anbia, mempunyai al-khatam (pemungkas). Sebab itu di dalam Islam, selain ada khatamul anbia (pemungkas para nabi), juga ada khatamu aulia (pemungkas para wali). Jika khatamul anbia merupakan penutup para nabi dan dengan demikian nabi yang paling sempurna, demikian juga khatamul aulia.

Hakim At-Tirmidzi tidak menjelaskan siapa yang mendapat kehormatan menjadi khatamul aulia itu. Pendapat ini lalu memunculkan tanda tanya besar, bahkan mengundang reaksi prokontra di antara para ulama. Ibn ‘Arabi, yang lahir tiga setengah abad di belakang Tirmidzi (28 Juli 1165 M), mengembangkan pandangan pendahulunya tentang khatamul aulia itu dan sampai pada kesimpulan, ya, bahwa dialah orangnya.

Lebih dari Sahabat

 Sementara itu Ibn Taimiah menolak keras pandangan Tirmidzi yang terakhir itu, dan  menyebutnya sebagai kalam mardud (ucapan yang tertolak) karena bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Di dalam sabda Nabi ditegaskan, “Sebaik-baik kamu adalah generasiku, kemudian yang sesudah mereka, kemudian yang sesudah mereka.” Jadi, para sahabat Nabi tidak bisa tidak orang-orang mukmin terbaik. Disusul para tabiin, generasi sesudah sahabat; kemudian tabi’ut tabi’ in, generasi sesudah tabiin. Sebab itu Abu Bakr dan Umar adalah sebaik-baik orang beriman. Jadi, bagaimana bisa diterima pendapat yang menyatakan bahwa jauh sesudah generasi sahabat muncul seorang yang lebih utama dari mereka, yang lalu disebut khatamul aulia?

Sementara itu, dalam anggapan Hakim At-Tirmidzi, terkadang seseorang memperoleh derajat kewalian di hadapan Allah semata-mata karena karunia (almunnah) yang diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Kesucian hati seseorang adalah rahasia Allah. Orang yang hidup di penghujung zaman boleh jadi mendapat karunia Allah demikian rupa sehingga memiliki kesucian hati yang sama dengan mereka yang hidup di pangkal zaman.

Menurutnya, kewalian (alwilayah) merupakan kelanjutan kenabian (an-nubuwah). Ketika kenabian berakhir, mulailah periode kewalian. Dan di antara orang beriman ada yang meraih kehormatan menjadi pemungkas kewalian dan merupakan wali utama. Ia tidak dapat dipastikan berasal dari periode tertentu dalam perjalanan sejarah umat ini. Karena, semua orang beriman mempunyai peluang yang sama untuk meraihnya, baik yang hidup di zaman Nabi maupun yang hidup di zaman terkini.

Yang jadi soal, tentunya, ialah anugerah Tuhan itu.

Penulis: Prof. Dr. Asep Usman Ismail, Guru Besar Tasawuf UIN Syarif Hidayatullaah Jakarta.  Asep menulis artikel ini sewaktu menjadi mahasiswa program doktor IAIN Jakarta. Sumber: Panji Masyarakat, 2 Juni 1997

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda