Siapakah guru Imam Syafi’i? Imam Malik. Beliaulah yang harus dikatakan membentangkan tikar tempat Syafil duduk, dan itu tradisi hadis-hadis. Ini penting, karena di masa-masa awal pertumbuhan pemikiran keagamaan Islam justru pemikiran bebaslah, penalaran, yang pertama kali merebak. Dan ini disebabkan oleh pertemuan (encounter) para muslimin yang baru saja keluar dari jazirah Arab (dalam keadaan kosong dari segala pemikiran kebudayaan, selain Al-Qur’an sebagai petunjuk dan potensi besar yang belum tergali) dengan warisan budaya pemikiran Helenistis negeri-negeri Arab Utara dan Asia Kecil.
Karena itu, di antara mazhab-mazhab fikih yang diterima Ahlus Sunnah, yang paling tua justru yang dinilai sebagai mazhab ra’yi (penalaran, “rasionalisme”). Dan itu mazhab Hanafi. Tiga yang lain berikutnya digolongkan ke dalam jenis naqli (tekstualisme)—lebih-lebih mazhab terakhir dari yang empat, yakni Hanbali. Nah, Imam Maliklah yang mengimbangi rasionalitas mazhab Hanafi itu dengan tradisi hadis, yang ia sendiri turut merintis dan mengembangkannya. Tetapi Syafi’i juga praktis murid Abu Hanifah.
Secara tidak langsung. Sebab Imam Abu Hanifah wafat persis di tahun kelahiran calon imam yang nama aslinya Muhammad ibn Idris ini. Nah, Syafi’i menerima ajaran Abu Hanifah lewat, tak lain tak bukan, Asy-Syaibani. Memang, akhirnya toh ia bukan seorang Hanafi, sebagaimana juga bukan Maliki. Ia seorang Syafi’i, tentu bahkan penegak mazhabnya. Kenyataan perbedaan pendapat murid kontra guru itu sendiri, dalam sejarah pemikiran Islam yang pernah begitu produktif dan maju, bukan hal asing. Di segi lain, betapapun, prestasi Syafi’i sebagai orang yang membangun metodologi hukum Islam (ushul fiqh) tidak lepas dari pengaruh kedua guru itu. Ia tradisionalis, seperti Maliki. Tetapi metode penalarannya, yang berbeda dari tradisi Malik, tak boleh tidak memperoleh semangat pembentukannya dari Hanafi. Dan itu lewat Syaibani. Berikut ini tulisan Muhammad Iqbal tentang cendikiawan besar ini.
Dari Berbagai Mazhab
Nama lengkap tokoh ini: Abu Abdillah Muhammad ibn Al-Hasan ibn Farqad Asy-Syaibani. Orangtua Muhammad berasal dari Damaskus dan hijrah ke Wasith, wilayah Irak. Di sinilah Muhammad ibn Al-Hasan dilahirkan pada pertengahan 132 H (751 M). Ia dibawa ayah ibunya ke Kufah, dan besar di sana.
Pendidikaan yang ditempuhnya diawali di rumah, dengan bimbingan orangtuanya. Pada usia yang masih belia, Syaibani hafal Al-Qur’an. Kemudian sempat belajar pada Imam Abu Hanifah, sebelum pendiri mazhab Hanafi ini wafat pada 150 H (767 M), pada usia Syaibani yang menginjak 19 tahun. Setelah itu ia belajar pada Abu Yusuf (113-182,H/ 731-798 M), murid Abu Hanifah. Dari kedua imam inilah Syaibani memahami fikih mazhab Hanafi dan menjadi pendukung utama mazhab kaum rasionalis tersebut. Di kemudian hari ia banyak menulis pelajaran yang didapatnya dari Abu Hanifah.
Perkembangan intelektual Syaibani berjalan seiring dengan kegiatan belajar hadis dan ilmu hadis pada Sofyan Ats-Tsauri (wafat 161/778) dan Al-Auza’i (wafat 157/774). Harap diketahui, kedua tokoh itu juga punya mazhab mereka masing-masing. Sufi besar Dzun Nun Al-Mishri, misalnya (Panjimas, 28 April 1997), adalah salah satu pengikut Ats-Tsauri. Hanya saja mazhab ini, sebagaimana mazhab Auza’i, tidak berkembang lebih lanjut.
Syaibani juga mengunjungi Madinah pada umur 30 tahun, dan berguru pada tokoh yang nantinya juga guru Syafi’i, yakni Imam Malik (93-179 / 712-795). Aktivitasnya menimba ilmu dari ulama besar dengan berbagai latar belakang itu memberikan nuansa baru dalam pemikirannya. Ia mengombinasikan aliran ahlur ra’y (penalaran, mazhab Abu Hanifah) dan ahlul hadits (Imam Malik, dan di belakang hari terutama Ahmad ibn Hanbal). Syaibani tidak sepenuhnya sependapat dengan Abu ‘Hanifah yang mengutamakan metodologi nalar; ia bahkan mengutip hadis-hadis yang tidak dipakai gurunya itu, Meski demikian, ia masih terhitung berada dalam kerangka mazhab Hanafi, dan peranannya cukup besar dalam penyebarannya, bila tidak juga dalam konsolidasi atau bahkan formulasi. Terutama di Baghdad, tempat Syaibani berprofesi sebagai guru.
Di antara yang banyak mengunjungi majelisnya adalah Muhammad ibn Idris Asy-Syafi’i. Syafi’i bahkan mengkopi buku-buku Syaibani, atau sebagiannya. Posisi Syaibani itu banyak ditopang oleh kebijaksanaan pemerintah Dinasti Abbasiah yang menjadikan mazhab Hanafi sebagai mazhab resmi negara. Tidak mengherankan kalau Abu Yusuf, “tangan kanan” Abu Hanifah, yang diminta Khalifah Harun Ar-Rasyid menjadi hakim agung (qadhil qudhat), mengangkat Syaibani sebagai hakim di Ar-Riqqah. Abu Yusuf adalah orang pertama di dunia yang menulis masalah perpajakan: Harun Ar-Rasyid memintanya, dan keluarlah bukunya yang besar, Kitabul Kharaj.
Bantahan Syafi’i
Syaibani wafat pada 189/805 dalam usia baru 55 tahun. Masa hidupnya yang tidak panjang itu diisinya dengan kegiatan penulisan yang cukup produktif. Karya-karyanya dapat dikategorikan ke dalam dua golongan: “Zhahirur Riwayah” dan “An-Nawadir“. Yang pertama merupakan kumpulan pendapat Abu Hanifah yang dieditnya. Seperti diketahui, Abu Hanifah tidak meninggalkan karya tulis. Syaibanilah yang merekamnya. Kitab ini terdiri atas enam judul: Al-Mabsuth, Al-Jami’ul Kabir, Al-Jami’ush Shaghir, As-Siyarul Kabir, As-Siyarush Shaghir, dan Az-Ziadah. Lebih satu setengah abad kemudian, karya-karya itu dihimpun Al-Marwazi (w. 344) dalam satu kitab berjudul Al-Kafi—harap tidak dikacaukan dengan Al-Kafi karangan Kulaini, kitab hadis Syi’ah.
Sementara itu, “An-Nawadir” adalah kitab-kitab yang ditulis Syaibani berdasarkan pandangannya sendiri. Ini terdiri dari Amali Muhammad fil-Fiqh, Ar-Ruqayyat, Al-Makharijul Khial, Radd ‘ala Ahlil Madinah, dan Ziadatuz Ziadah. Kitab terakhir ini menimbulkan polemik dan ditanggapi murid Syaibani, Syafi’i. Bantahan khusus Asy-Syafi’i terhadap buku tersebut ditulisnya dalam dengan judul bab Ar-Radd ‘ala Muhammad ibn Hasan (Penolakan kepada Muhammad ibn Hasan).
Sebagai eksponen mazhab Hanafi, Syaibani tidak dapat melepaskan diri dari pemakaian analogi (qias), dan istihsan, yaitu beralih dari suatu dalil yang jelas kepada dalil yang tersembunyi untuk menetapkan hukum yang lebih baik. (Syafi’i, dalam pada itu, hanya mengambil qias). Pemakaian istihsan oleh Syaibani itu bahkan sering dinyatakan orangnya sendiri secara eksplisit dalam beberapa tulisan.
Walau demikian, dalam beberapa hal Syaibani menolak pendapat Abu Hanifah dan mengikuti pandangan penduduk Madinah yang menjadi rujukan mazhab Imam Maliki. Sebuah contoh kecil: ia menolak kesimpulan Abu Hanifah tentang posisi imam dalam memimpin makmumnya yang berdiri. Menurut Syaibani, imam harus memimpin saat dengan berdiri sementara Abu Hanifah membolehkannya duduk dalam keadaan itu. Kata Syaibani, tidak ada satu pun petunjuk bahwa Nabi s.a.w. maupun Khulafaur Rasyidin pernah memimpin salat dengan posisi duduk.
Aturan perang dan damai
Syaibani juga dikenal sebagai peletak dasar hukum internasional dalam Islam. Dialah orang yang pertama membahas masalah itu dalam sebuah studi yang sistematis. Kitab-kitab As-Siyarul Kabir dan As-Siyarush Shaghir adalah dua karyanya yang membicarakan tema tersebut.
Dalam kedua kitab itu ia mengupas hubungan negara Islam dengan negara-negara nonmuslim, baik dalam masa perang maupun masa damai. Untuk masa perang, Syaibani melandaskan pandangannya pada prinsip-prinsip etika yang dirujuknya dari Al-Our’an dan Sunnah Nabi. Ia berpendapat, peperangan hanya dibenarkan dalam kondisi darurat, bertujuan untuk mempertahankan diri (defensif), bukan menyerang atau mengganggu kedaulatan negara lain (ofensif). Kalau pun terjadi perang, tentara Islam tidak dibenarkan membunuh anak-anak, wanita, dan orang tua, membakar negeri musuh atau menebang pohon, serta hal-hal lain yang merusak (destruktif).
Bahkan orang musyrik yang meminta suaka ke sebuah negara Islam wajib dilindungi. Harta dan jiwanya tidak boleh diganggu, sebagaimana dijelaskan dalam Surah At-Taubah ayat 6 (“Dan jika salah seorang dari para musyrikin meminta perlindungan kepada engkau maka lindungilah dia, sampai dia mendengar kalam Allah, kemudian bawalah dia ke tempat yang aman”).
Sementara itu, dalam hubungan damai dengan negara nonmuslim Syaibani menekankan pentingnya mematuhi pakta-pakta perdamaian yang telah ditandatangani. Negara Islam tidak boleh memutuskan hubungan diplomatik secara sepihak. Di samping itu, negara Islam wajib menghormati duta negara sahabat: harta, jiwa, dan keluarganya harus dilindungi. Kalau negara sahabat membebaskan duta negara Islam dari pajak impor dan pajak lainnya, duta negara tersebut juga harus diberi privilege yang sama.
Pemikiran-pemikiran Syaibani inilah, yang hakikatnya perumusan dari ajaran baku agama, yang dikatakan kemudian mengilhami para pemikir hukum internasional Barat, seperti Pierre Bello, Ayala, Victoria, dan Gentili serta Grotius. Bahkan Grotius, yang dianggap sebagai bapak hukum internasional, banyak mengambil bahan-bahannya dari karya-karya Arab umumnya, terutama Syaibani.
Penulis: Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag, dosen Fakultas Syari’ah, UIN Sumatera Utara, Medan. Sumber: Panji Masyarakat, 19 Mei 1997. Tulisan ini dimuat saat penulisnya menempuh pendidikan S3 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.