Ads
Cakrawala

Perang Opini dan Tanggung Jawab Sosial

Avatar photo
Ditulis oleh Arfendi Arif

Salah satu perubahan besar yang dibawa oleh kemajuan teknologi komunikasi adalah munculnya kebebasan berpendapat di negara kita. Saat ini kita melihat mudahnya setiap orang untuk nimbrung atau ikut serta berkomentar dalam apapun masalah yang muncul. Dari persoalan  kehidupan yang terjadi di masyarakat sampai ke persoalan yang memiliki lingkup nasional atau politik, ekonomi, hukum dan bidang lainnya.

Kondisi untuk menyampaikan pikiran dan pandangan ini sangat mudah dengan adanya fasilitas internet, gawai dan ponsel. Tinggal hanya memainkan jari dan mengklik untuk di share ke publik, maka pendapat kita akan dibaca masyarakat luas.   Kemudian bisa memilih tayangan di medsos yang amat beragam, mulai dari FB,Twitter, Instagram atau melalui whatshapp.

Pandangan yang disampaikan tidak hanya terbatas dalam bentuk kata-kata, tapi juga bisa melalui video, mirip televisi dan bisa dalam bentuk tayangan langsung (live) atau rekaman yang dipublish.

Kemudian berbagai jenis berita bisa kita nikmati saat ini tanpa ada pembatasan atau sensor, baik berupa berita maupun tayangan gambar hidup yang patut atau yang tidak patut dilihat, terutama dinilai dari aspek kedewasaan usia seseorang. Dengan demikian pada era digital ini kita hidup dalam suasana kebebasan yang luar biasa, yang tentu ada segi positif dan negatifnya.

Perang Opini

Jika kita tamsilkan kehidupan dunia komunikasi kita saat ini–dengan  meminjam istilah militer– tidak salah kalau dikatakan,  hampir setiap hari kita melihat adanya perang opini dalam masyarakat. Memang, kita cermati ada beberapa peristiwa yang memantik pro dan kontra yang muncul. Baik yang terkait dengan persoalan politik, agama, ekonomi, sosial dan lainnya.

Perang opini terjadi bukan hanya di kalangan masyarakat, tetapi juga di kalangan para elit, baik elit masyarakat maupun elit pemerintah. Mungkin perang opini di kalangan elit ini karena dikemas dalam bentuk yang spesial melalui tayangan televisi ia menggunakan kosa kata yang lebih halus seperti talk show dalam bentuk diskusi, bincang-bincang, catatan demokrasi dan bentuk lain. Tetapi, melihat acara perdebatannya juga tidak kalah seru karena saling bersitegang dan keras. Sehingga ada yang rada mirip pertengkaran.

Sedangkan di masyarakat perang opini terjadi melalui medsos, seperti facebook, twitter, grup whatsapp dan lainnya. Untuk twitter, ini juga tempat saling adu opini di antara para elit, termasuk elit selebriti.

Salah satu contoh perang opini di bidang politik adalah  perbincangan hangat di masyarakat masalah pencalonan Anies Baswedan sebagai capres oleh Partai Nasdem. Pro- kontra berkisar antara yang mendukung, menolak, mengkritisi hingga menjadi pembicaraan dan sorotan yang hingar bingar di masyarakat.

Dalam melihat adu opini di masyarakat kita perlu mempertimbangkan aspek edukatif. Artinya, bagaimana perdebatan tersebut mampu memberikan sentuhan pendidikan, memperluas cakrawala pemikiran, mencerahkan dan memajukan nalar atau logika berfikir. Sekarang ini terkesan, debat yang dilakukan menonjol aspek fanatisme, orang cenderung berpihak pada suatu kebijakan atau figur tertentu atau kebijakan tertentu. Dan, pola ini terjadi bukan hanya di lapisan masyarakat biasa, tetapi juga di kalangan elit, baik elit pemerintah maupun elit masyarakat atau kalangan intelektual. Bahkan, seorang intelektual yang terekrut ke dalam birokrasi pemerintahan atau partai politik pemikirannya tidak lagi independen.

Keterbelahan masyarakat baik di tingkat elit maupun di lapisan masyarakat, inilah yang menyebabkan debat-debat atau perang opini menjadi sangat keras dan panas, dan terkadang tidak rasional. Terutama, yang terjadi di tingkat masyarakat (nitizen) debat opini bisa sampai tingkat saling sindir, kecam dan tuding. Bahkan, menimbulkan  keterbelahan masyarakat,  terkotak -kotak dan saling hujat ” cebong dan kampret”.

Intinya adalah bahwa  kemajuan digital atau kemajuan teknologi informasi sekarang ini selain menimbulkan kebebasan kehidupan demokrasi, tetapi ada segi dampak negatifnya yang juga laten dan mencemaskan integrasi dan keutuhan  bangsa.

Karena itu di tengah keriuhan (euphoria) kebebasan demokrasi sekarang ini perlu dikembangkan suatu perilaku berinformasi yang bertanggung jawab. Dalam teori kebebasan pers ada yang disebut teori Tanggung Jawab Sosial. Teori ini menyebutkan bahwa orang yang memonopoli media harus memiliki rasa tanggung jawab kepada masyarakat (Prof. Dr. H. Anwar Arifin, Komunikasi Politik dan Pers Pancasila, Suatu Kajian Mengenai Pers Pancasila, Penerbit Media Sejahtera, Jakarta, 1992).
Artinya, bahwa dalam menggunakan informasi dan teknologi baru ini setiap penggunanya harus berfikir apa manfaat setiap ide dan lontaran pendapat yang disebarkan. Adakah manfaat atau segi edukatif yang bisa dipetik masyarakat. Dengan berfikir asas manfaat dan tanggung jawab sosial ini maka status atau ide yang disampaikan diharapkan mampu meminimalisir munculnya konflik dan ketegangan dalam masyarakat. Saat ini kita melihat media sosial cenderung menjadi ajang pertarungan dan perang status untuk membela, nembenarkan dan menyerang figur ataupun tokoh, pendapat atau kebijakan yang dijagokannya. Jadi saat ini  suatu debat atau perbenturan ide bukan lagi mencari kebenaran, tetapi upaya membenarkan kelompok atau figur yang dipilihnya. Karena itu debat atau pertukaran pemikiran model ini hanya menimbulkan rasa saling tidak suka, dan menimbulkan bibit-bibit perpecahan atau disintegrasi bangsa.

Jika dalam berbagi pemikiran unsur tanggung jawab sosial  yang dominan melarbelakangi, maka secara tidak. langsung kita mengajak masyarakat menjadi dewasa dan berorientasi pada kemajuan. Demokrasi yang matang salah satu indikatornya masyarakat akan saling menghargai dan menghormati dalam berwacana.

Memang, sekarang kita seperti menghadapi  soal yang rumit dalam membangun kedewasaan ber-opini ini. Sejak ada dunia digital informasi bisa diselewengkan dalam bentuk hoax, pengeditan gambar dan video, munculnya profesi buzzer yang dibayar. Semua ini adalah lawan dari informasi dan opini yang bertanggung jawab sosial. Namun, dengan keteguhan membuat opini yang bertanggung jawab maka opini hoax dan perilaku fanatik bisa diatasi. Masyarakat selalu berkembang menuju kecerdasan dan cenderung berpihak pada kebenaran.

Tentang Penulis

Avatar photo

Arfendi Arif

Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten

Tinggalkan Komentar Anda