Ahmad Azhar Basyir terpilih sebagai ketua PP Muhammadiyah pada muktamar Muhamadiyah ke- 42 tahun 1990 di Yogyakarta. Ia menggantikan A.R. Fachruddin, yang sudah 22 tahun menjadi orang nomor satu Muhammadiyah dan tidak bersedia dipilih lagi. Belum lagi merampungkan masa khidmatnya ia meninggal pada 28 Juni 1994. Muhammadiyah pun kehilangan tokoh dengan dua bobot sekaligus yaitu ulama dan cendekiawan.
“Saya kehilangan teman dekat. Kepergiannya tak hanya dirasakan keluarga besar Muhammadiyah, tapi juga seluruh bangsa Indonesia. Kita kehilangan orang alim yang mempunyai pengetahuan mendalam tentang Islam, teguh pendirian, dan punya integritas tingg, ” kata Munawir Sjadzali, menteri agama waktu itu. Dikabarkan, Munawir Sjadazali sempat meneteskan air mata saat menerima berita Kiai Azhar sudah tutup usia.
Seperti diungkapkan Ahmad Syafii Maarif dalam otobiografinya (2006), kematian Ahmad Azhar Basyir “Benar-benar menggoncangkan. Muhammadiyah berduka dalam, tetapi itulah kenyataan yang harus dihadapi oleh seluruh warga persyarikatan modern itu. PP Muhammadiyah pun segera mengadakan sidang untuk memilih dan menetapkan siapa yang akan menggantikan Pak Azhar sebagai Pejabat Ketua sebelum tanwir menentukan yang definitif.”
Azhar mulai aktif di persyarikatan ketika duduk di bangku sekolah menengah. Dia mengawali kegiatannya di Muhammadiyah dengan mengambil tugas-tugas kecil semisal menjadi juru ketik dan tukang mengantar surat. Pada masa-masa pembentukan ini pula dia kerap mengikuti kegiatan tablig. Kecerdasan dan bakat kepemimpinannya kian terasah, sehingga PP Muhammadiyah menunjukkanya sebagai ketua muda Pemuda Muhamadiyah, yang dikukuhkan pada muktamar Pemuda Muhammadiyah pada tahun 1959 di Palembang. Setahun kemudian dia menyerahkan jabatan ini karena harus bertolak ke Irak untuk melanjutkan studinya di Timur Tengah. Ahmad Azhar baru bergiat kembali di persyarikatan pada tahun 1968 setelah kembali di Tanah Air. Dia mengemban tugas sebagai wakil ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah sampai tahun 1985. Sesudah itu dia naik menjadi ketua Majelis Tarjih sampai akhirnya dipilih sebagai Ketua PP Muhammadiyah untuk masa khidmat 1990-1995.
Tampilnya Ahmad Azhar menandai era baru kepemimpinan Muhammadiyah. Jika dalam sepanjang sejarahnya Muhammadiyah selalu dipimpin ulama, kini organisasi ini dinakhodai intelekual kampus. Tapi mengingat Azhar sendiri juga ulama, bolehlah dia disebut the last of kiai haji yang memimpin ormas keagamaan yang memiliki amal usaha terbesar di dunia ini. Tantangan zaman memang menuntut kualifikasi dan kompetensi baru, yang tidak terbatas pada penguasaan ilmu-ilmu keagamaan, tetapi tetap bukan orang yang buta agama juga. Meminjam istilah Hajriyanto Y. Thohari, mereka yang duduk di elite kepemimpinan Muhammadiyah tetaplah harus seorang alim. Apalagi tentunya orang yang menempati posisi nomor satu.
Tetapi seperti dikatakan Syafii Maarif di tahun 1995, mendapatkan seorang alim guna duduk pada posisi tertinggi di Muhammadiyah tidaklah mudah, sekalipun sebenarnya sumber daya ulama-cendekiawan Muhammadiyah lumayan tersedia. Menurut dia, kategori kecendekiaan dan keualamaan semata tidak cukup untuk menjawab kepemimpinan di Muhammadiyah. “Ada beberapa nilai plus yang harus menyatu dengan kealiman dan kecendekiaan seseorang untuk menjadi pemimpin [Muhammadiyah]. Di antara nilai plus itu adalah wawasan keislaman dan kemanusiaan yang luas, dikenal dan diterima secara nasional, punya waktu, dan memahami budaya Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amrun bil-ma’ruf wa nahyun ‘anil-munkar,” ungkap Syafii Maarif.
Azhar Basyir lahir di Yogyakarta 21 November 1928, dan dibesarkan di lingkungan Kauman, Yogyakarta yang dikenal kuat berpegang pada nilai agama. Pendidikan formalnya dimulai di Sekolah Rendah Muhammadiyah di Suronatan, Yogyakarta (tamat 1940). Kemudian nyantri di Madrasah Salafiyah, Ponpes Salafiyah Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Setahun kemudian pindah ke Madrasah Al-Fallah di Kauman hingga (tamat 1944). Kemudian melanjutkan pendidikan di Madrasah Mubalighin III (Tabligh School) Muhammadiyah Yogyakarta, yang dirampungkan dua tahun.
Pada zaman revolusi, Azhar Basyir bergabung dengan kesatuan TNI Hizbullah Batalion 36 di Yogyakarta. Seusai kemerdekaan, dia kembali ke bangku sekolah, masuk ke Madrasah Menengah Tinggi Yogyakarta (1949 – 1952). Selanjutnya, ia meneruskan ke Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Yogyakarta, gelar sarjana diraihnya tahun 1956.
Tahun berikutnya ia lulus seleksi tes untuk belajar di Universitas Baghdad Irak, tapi kemudian pindah ke Universitas Darul Ulum Mesir, hingga mencapai gelar master tahun 1968. Tesis bertema Nizam Al-Mirats fi Indonesia, bainal `Urf wa-al-syari`ah al-Islamiyah (Sistem Warisan di Indonesia, Menurut Hukum Adat dan Islam). Hampir setengah usianya selama kurang lebih 34 tahun digunakan untuk menempuh pendidikan formal mulai dari dasar hingga bergelar master, di dalam dan luar negeri.
Sekembalinya ke Tanah Air, dia diangkat sebagai dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM), hingga pensiun pada usia 65 tahun. Ia juga mengabdikan ilmunya dengan mengajar di Fakultas Hukum UGM, IAIN Sunan Kalijaga, dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Ia juga aktif di beberapa organisasi, antara lain: salah seorang ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (1990-1995), anggota Dewan Pengawas Syariah Bank Muamalat Indonesia, anggota MPR-RI (1993-1998), dan anggota tetap Akademi Fikih Islam, Organisasi Konferensi Islam.
Bersambung