Sebelum menikah, kehidupan malam saya jika tidak ada tugas liputan, hampir tak lepas dari gedung bioskop. Bahkan pernah di Taman Sari, saya bersama tiga teman wartawan harian Suara Karya, nonton sampai dua putaran pertunjukan untuk film yang sama.
Kebiasaan itu ternyata berubah setelah menikah (1977), apalagi setelah beban kerja menguras waktu, sehingga tidur pun hanya kebagian 3 – 4 jam ditambah beberapa kejap di dalam mobil.
Rasanya sudah puluhan tahun saya nyaris tidak menonton film, kecuali demi silaturahmi dengan ramai-ramai nobar – nonton bareng – terutama untuk menghargai pengundangnya.
Dari sedikit film yang saya tonton bareng-bareng, ada dua yang mengesankan. Pertama adalah film Kadet 1947, yaitu film drama biografi perang Indonesia yang diilhami oleh peristiwa heroik, kisah nyata serangan udara oleh para kadet atau calon penerbang Angkatan Udara Republik Indonesia ke markas pertahanan Belanda di Semarang, Salatiga, dan Ambarawa pada pagi buta 29 Juli 1947, oleh kadet Sutardjo Sigit, Suharnoko Harbani dan Mulyono. Serangan ke tiga kota akhirnya berhasil dan para kadet kembali dengan selamat di Pangkalan Udara Maguwo. Serangan ini tidak hanya menurunkan mental kubu Belanda, tetapi juga meningkatkan semangat juang bangsa dan menjadikan kedaulatan Negara Republik Indonesia diakui dunia.
Namun pada sore hari 29 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan balasan. Pesawat Dakota VT-CLA yang membawa sumbangan obat-obatan dari Palang Merah Malaya untuk Palang Merah Indonesia ditembaki tatkala hendak mendarat di Pangkalan Udara Maguwo. Akibatnya, pesawat oleng dan jatuh di Desa Ngoto, Yogyakarta. Musibah ini menewaskan tiga tokoh perintis TNI AU, yakni Komodor Muda Adisucipto, Komodor Muda Abdulrachman Saleh dan Opsir Muda Adisumarmo.
Di kemudian hari rangkaian peristiwa heroik itu diperingati setiap tahun sebagai Hari Bhakti TNI Angkatan Udara. Saya bersyukur, pada minggu terakhir November 2021, bersama sejumlah tokoh dan sahabat antara lain Marsekal (Purn) Imam Sufaat, mendapat kehormatan diajak nonton bareng mbak Maya Suharnoko, puteri almarhum Suharnoko Harbani.
Film kedua yang mengesankan adalah Like & Share, Lihat Dengar & Rasakan, saya tonton bersama tim produksi beserta para artisnya, tepat setahun setelah film pertama di atas, yaitu Kamis 24 November 2022.
Film ini menggambarkan kehidupan remaja masa kini dan masalahnya, termasuk kekerasan seksual yang meninggalkan trauma mendalam pada para korbannya, khususnya anak-anak perempuan.
Anda punya anak, adik atau cucu remaja terutama perempuan? Apakah dia atau mereka suka bahkan senang menghabiskan waktunya dengan bermain gawai, atau lebih tepatnya alat komunikasi canggih seperti aneka jenis komputer dan telepon genggam? Membuat dan menonton tiktok, podcast ataupun youtube?Pasti mereka sangat paham dengan simbol dan istilah Like atau Dislike, Copy, Share, Comment serta Subscribe. Maka ayo Like & Share, Lihat Dengar & Rasakan. Tetapi bagaimana jika yang mereka lihat, dengar dan rasakan di media sosial itu masalah kekerasan seksual dan pornografi? Itulah yang dihadapi dua sahabat gadis remaja, Lisa (diperankan oleh Aurora Ribero, 18 tahun) dan Sarah (diperankan oleh Arawinda Kiran, 21 tahun), yang selalu ingin bersama-sama menerima keadaan meski teramat pahit, serta berjuang menjalaninya.
Gambaran kehidupan remaja yang seperti itu, yang mampu membuat penonton meneteskan air mata. Semoga dapat menumbuhkan serta menggalang kepedulian para orangtua, agamawan, pendidik, ahli hukum dan tokoh-tokoh masyarakat. Film yang insya Allah akan tayang di bi0skop 8 Desember 2022 ini, digarap oleh produser Chand Parwez Servia dan Orchida Ramadhania dengan sutradara dan penulis: Gina S Noer serta para pemain yaitu Aurora Ribero, Jerome Kurnia, Arawinda Kirana, Kevin Julio dan Unique Priscilla