Ads
Cakrawala

Jejak Langkah Pemimpin Muhammadiyah (11): A.R.  Fachruddin

Avatar photo
Ditulis oleh A.Suryana Sudrajat

Dua puluh dua tahun Kiai Haji Abdur Razzaq Fachruddin menjadi ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, atau dua kali lebih lama dari masa kepemimpinan pendiri  organisasi ini. KH Ahmad Dahlan memang hanya 11 tahun menjabat hoofdbestuur Muhammadiyah, yakni dari tahun 1912 sampai tahun 1923. Dalam sejarah Muhammadiyah, AR Fachruddin, atau Pak AR, demikian orang memanggil namanya, mungkin akan terus tercatat sebagai orang yang paling lama memimpin Muhammadiyah. Hanya karena sudah merasa capek dan tua, dia menolak untuk dipilih  kembali pada muktamar tahun 1990 di Yogyakarta.  “Saya sudah tua, jadi ganti saja dengan yang lebih muda,” katanya.  Waktu itu usianya memang sudah mencapai  74 tahun.

A.R.  Fachruddin menjabat ketua Muhamadiyah pada tahun 1968,  menggantikan KH  Faqih Usman. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta, A.R.  Fachruddin  sebenarnya memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan calon ketua. Namun demikian, dari sembilan orang  calon, yang terpilih sebagai ketua PP Muhmmadiyah adalah KH Faqih. Kiai Fakih sendiri tidak hadir dalam muktamar tersebut  karena sakit.

Dua hari setelah muktamar, delapan pimpinan teras Muhammadiyah itu pun berangkat ke Jakarta untuk bermusyawarah, sekalian menjenguk Kiai Fakih. Seperti diceritakan Pak AR dalam memoarnya, yang dmuat Majalah Tempo (15 Desember 1990), secara fisik KH Faqih Usman tampak sehat, bisa berjalan-jalan, meskipun tidak mampu mengeluarkan suara. Rupanya dia sudah menulis pesan, bahwa dia akan berobat ke Negeri Belanda, dan selama dia di luar negeri, kepemimpinan  PP Muhammadiyah sehari-hari  untuk kantor PP di Yogyakarta diseahkan kepada AR Fachruddin dan Djindar Tamimi, sedangkan untuk yang di Jakarta dia serahkan kepada Prof. Dr. HM Rasyidi dan Prof. Dr. Hamka.

Ketika para anggota pimpinan itu  mulai bersidang, tiba-tiba ada telepon dari kediaman  KH Faqih Usman yang mengabarkan wafatnya ketua PP yang baru itu  Sorenya, Buya Hamka yang datang bersama  Dokter  Koesnadi,  anggota PP Muhammadiyah  dan  pendiri RS Islam di Jakarta, mengatakan bahwa dia membawa pesan  dari Buya AR Sutan Mansyur, yang juga pamannya itu. Kata Buya Mansyur,  seperti dikatakan  Buya Hamka  dan kemudian diceritakan kembali oleh Pak AR,  “Yang meninggal bukan Faqih Usman pribadi, tapi Faqih Usman ketua PP Muhammadiyah, imam orang Muhammadiyah seluruh  Indonesia.” Karena itu, Buya Sutan Mansyur menyarankan, KH  Faqih Usman jangan dikubur sebelum diperoleh penggantinya. Lalu siapa yang akan menggantikannya? Menurut mekanisme yang berlaku, kedelapan anggota pemimpin teras itulah yang mestinya bersidang untuk memilih secara aklamasi maupun voting untuk menentukan siapa yang menjadi Ketua PP.  Lalu datanglah saran dari Buya Hamka.   “Begini saja, Ini sudah ada surat, kita anggap saja surat ini sebagai wasiat.” Surat yang dimaksud adalah pesan Kiai Fakih tadi, yang  memang bukan wasiat.  Oleh karena itu, kata   Buya Hamka, pengganti Faqih Usman  adalah Saudara AR Fachruddin. “Saat itu, tahun 1968, tanpa dimusyawarahkan, semua menyetujui sehingga saya menjadi pejabat ketua PP Muhammadiyah,” kenang  Pak AR. Dalam sidang Tanwir Muhammadiyah di Ponorogo pada 1969, yakni sidang pimpinan Muhammadiyah seluruh Indonesia, AR Fachruddin ditetapkan secara definitif  sebagai ketua PP Muhammadiyah sampai Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Ujung Pandang (Sulawesi Selatan) pada tahun 1971. Sejak saat itu ia terpilih secara berturut-turut dalam tiga kali Muktamar Muhammadiyah berikutnya untuk periode 1971-1974, 1974-1978, 1978-1985, 1985-1990

“Terus terang, saya sama sekali tidak menyangka ditetapkan menjabat ketua PP Muhammadiyah waktu itu. Usia saya 52 tahun kala itu. Ilmu agama saya tidak seberapa, apalagi saya hanya lulusan Tsanawiyah. Merasa belum pantas memimpin Muhammadiyah. Buat saya, itu tanggung jawab besar, bukan kepada Muhammadiyah, tapi kepada Allah. Saya sampai shock dan mengalami stres. Bapak-bapak yang lain mencoba menggembirakan saya,” kata Pak AR dalam memoarnya.

Menjadi Anak Panah Muhammadiyah

Dilahirkan di Clangap, Purwanggan, Yogyakarta, pada 14 Februari 1916. Ia adalah anak ketujuh dari 11 bersaudara pasangan KH Fachruddin dengan Nyai Hajjah Maimunah  binti KH Idris. KH Fakhruddin adalah seorang lurah naib (penghulu) dari Istana Pakualaman.

Masa kanak-kanak Pak AR dihabiskan di Pakualaman. Pada tahun 1923, untuk pertama kalinya Abdur Rozak bersekolah formal di Standaad School Muhammadiyah Bausasran Yogyakarta.  Setelah ayahnya tidak menjadi Penghulu dan usahanya dagang batik juga jatuh, maka ia pulang ke desanya di Bleberan, Galur, Kulonprogo. Pada tahun 1925, ia pindah ke sekolah Standaard School (Sekolah Dasar) Muhammadiyah Prenggan, Kotagede, Yogyakarta. Setamat dari Standaard School di Kotagede pada tahun 1928, ia masuk di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Baru belajar dua tahun di Muallimin, ayahnya memanggilnya untuk pulang ke Bleberan, dan belajar kepada beberapa kiai di sana, seperti ayahnya sendiri, KH. Abdullah Rosad, dan KH. Abu Amar. Sehabis Mahgrib sampai pukul 21.00, ia juga belajar di Madrasah Wustha Muhammadiyah Wanapeti, Sewugalur, Kulonprogo.

Pada tahun 1930 ayahnya wafat dalam usia 72 tahun. Waktu itu usia Abdur Rozak baru  menginjak 16 tahun. Sepeninggal ayahnya Abdur Rozak masuk belajar di Madrasah Darul Ulum Muhammadiyah Wanapeti, Sewugalur, pada 1932. Dua tahun kemudian (1935) dia  melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Tabligh School (Madrasah Muballighin) Muhammadiyah. Pada tahun yang sama dia  dikirim oleh Hoofdbestuur Muhammadiyah, yang waktu iu dipimpin oleh KH Hisyam,  ke Talangbalai (sekarang dikenal dengan Ogan Komering Ilir), Sumatra Selatan,  untuk mengembangkan gerakan dakwah Muhammadiyah.

Di sana, ia mendirikan Sekolah Wustha Muallimin Muhammadiyah setingkat SMP. Pada tahun 1938, ia juga mengembangkan hal yang sama di Kulak Pajek, Sekayu, Musi Ilir (sekarang dikenal dengan Kabupaten Muba, Musi Banyu Asin). Tiga tahun kemudian, pada tahun 1941, ia pindah ke Sungai Batang, Sungai Gerong, Palembang sebagai pengajar HIS (Hollandcse Inlandevs School) Muhammadiyah yang setingkat dengan SD. Pada tanggal 14 Februari 1942, Jepang menyerbu pabrik minyak Sungai Gerong. Dengan sendirinya sekolah tempat mengajarnya ditutup. Kemudian Abdur Rozak dipindahkan mengajar di Sekolah Muhammadiyah Muara Maranjat, Tanjung Raja, Palembang, Sumatra Selatan sampai dengan tahun 1944. Sejak di bangku sekolah, AR sudah dikenal pandai berpidato.  Ia mendedikasikan diri sebagai guru di Palembang selama 10 tahun. Setelah itu, ia pulang ke kampung halamannya, Bleberan. Tahun 1944, atas permintaan kepala sekolah Darul Ulum, ia mengajar di sana dan menjadi anggota pengurus Muhammadiyah Sewugalur. Aktivitas Abdur Rozak di Persyarikatan dimulai sejak usia remaja dan memulainya dari bawah. Ia menjadi pimpinan mulai di tingkat ranting, cabang, wilayah, hingga sebagai Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Jadi Pegawai Negeri

Pada masa Perang Kemerdekaan,  ia ikut menjadi anggota Barisan Keamanan Rakyat (BKR) tingkat kecamatan atau pasukan Hizbullah Yon 39. Ia juga pernah menjadi pamong desa Kelurahan Galur, Brosot, Kulonprogo, selama setahun. Pada awal kemerdekaan, dia  diangkat menjadi pegawai Departemen Agama. Berbagai jabatan pernah ia emban, seperti kepala Kantor Urusan Agama di Adikarto, Wates, pada tahun 1974. Tidak lama kemudian, ia pindah ke Kulonprogo, Sentolo, dalam jabatan yang sama. Selama sembilan tahun (1950-1959), ia menjadi pegawai jawatan agama Provinsi

Pengabdiannya bukan saja di lingkungan Muhammadiyah, tapi juga di pemerintahan dan perguruan tinggi. Pak AR misalnya, pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama, Wates (1947). Pada 1950-1959, ia menjadi pegawai di kantor Jawatan Agama wilayah Yogyakarta, lalu pindah ke Semarang, sambil merangkap dosen luar biasa bidang studi Islamologi di Unissula, FKIP Undip, dan STO (Sekolah Tinggi Olah Raga).

Pak A.R.  adalah ulama-mubalig   berwajah sejuk dan bersahaja. Kesejukannya sebagai pemimpin umat Islam juga bisa dirasakan oleh umat beragama lain. Selain itu, ia juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Karya tulisnya banyak dibukukan untuk dijadikan pedoman dalam beragama. Di antara karya-karyanya ialah Naskah Kesyukuran; Naskah Entheng, Serat Kawruh Islam Kawedar; Upaya Mewujudkan Muhammadiyah Sebagai Gerakan Amal; Pemikiran Dan Dakwah Islam; Syahadatain Kawedar; Tanya Jawab Entheng-Enthengan; Muhammadiyah adalah Organisasi Dakwah Islamiyah; Al-Islam Bagian Pertama; Menuju Muhammadiyah; Sekaten dan Tuntunan Sholat Basa Jawi; Kembali kepada Al-Qur`an dan Hadist; Chutbah Nikah dan Terjemahannya; Pilihlah Pimpinan Muhammadiyah yang Tepat; Soal-Jawab Entheng-enthengan; Sarono Entheng-enthengan Pancasila; Ruh Muhammadiyah; dan lain-lain.

Ulama karismatik ini tidak bersedia dipilih kembali menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta, walaupun masih banyak yang mengharapkannya. Ia berharap ada alih generasi yang sehat dalam Muhammadiyah. Ia wafat pada 17 Maret 1995 di Rumah Sakit Islam Jakarta pada usia 79 tahun.

Surat  Paus Yohannes II

Bulan Oktober tahun 1989 Paus Yohannes Paulus II berkunjung ke Indonesia sebagai tamu negara. Selain Jakarta, pemimpin umat Katolik sejagat itu singgah di Yogyakarta, Maumere (Flores), Dilli (waktu itu masih Timor Timur, dan Medan. Jauh-jauh hari sebelum kedatangannya, media massa sudah ramai memberitakan rencana kunjungan itu.

Tak urung, kabar yang teramat gencar itu, membuat pikiran Ketua Umum A.R. Fachruddin yang sedang dirawat di RS Gatot Subroto, Jakarta, tidak bisa diajak beristirahat. Rupanya Pak A.R., demikian ia biasa dipanggil, sudah lama menyimpan uneg-uneg sehubungan dengan praktek dakwah melalui pemberian materi. Maka dia pun memutuskan untuk  menulis surat terbuka  kepada Paus mengenai praktik dakwah  semacam itu, dan bahwa di Indonesia sudah diatur cara yang baik dalam kerukunan hidup beragama. Yang unik, Pak A.R. menulis suratnya dalam bahasa Jawa halus dan dia namakan “Sugeng Rawuh Sugeng Kondur.”   “Paus itu kan pimpinan umat Katolik seluruh dunia. Saya berpikir, jangan-jangan dia sudah bisa bahasa Jawa,” seloroh Pak A.R. 

Semula, menurut A.R. Fachruddin, surat tersebut akan dicetak agak banyak, tapi akhirnya hanya 2.000 eksemplar, termasuk yang disebarkan kepada  kalangan saudara-saudara dari Nasrani. Tetapi pihak percetakan tidak berani mencantumkan identitasnya. “Di surat itu, saya beri gambar saya dan gambar Paus. Saya hendak memancing kerukunan hidup beragama. Surat terbuka kepada Paus situ rupanya berbuntut. Pak A.R. ditelepon Korem Pamungkas dan menanyakan apa betul dia yang menulis sendiri surat untuk Paus dan apa maksudnya. Masalah pun beres, setelah dia menjelaskan bahwa tidak ada maksud apa-apa dari surat itu. Anehnya,  di masyarakat sudah beredar kabar bahwa A.R. Fachruddin  ditangkap Korem. ”Ada juga orang Katolik yang bilang, Pak A.R itu orang baik, kok nulis surat begitu. Sekarang Pak A.R ditahan. Mereka lalu mengadakan misa memohon pada Tuhan agar saya lekas dikeluarkan,” cerita A.R. Fachruddin dalam memoarnya.

Adapun Sri Paus, dia  tidak memberi tanggapan terhadap surat tersebut. “Entah disampaikan atau tidak,” kata A.R. Fachrudin. Meski begitu, dia  yakin surat tersebut akan sampai juga kepada Paus. Terbukti, lama setelah Paus pulang, dia mendenga kabar  dari orang Timor Timur (sekarang Timur Leste) , bahwa Paus berterima kasih atas suratnya tersebut.

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading