Ads
Cakrawala

Bukan Narasi Utama IFA

Avatar photo
Ditulis oleh Iqbal Setyarso

Di balik perhelatan Indonesia Fundraising Award 2022, ada beberapa hal yang mungkin menggelitik perhatian publik. Hal ini sempat saya rekam dari pertemuan dewan juri dan panitia IFA. Salah satunya –dalam proses penjurian, serasa ada yang kurang. Ada kategori yang belum muncul.  Atas inisiatif dewan juri, muncul apresiasi untuk kategori  Indonesia Timur.

Ini muncul dengan dua sebab penting: Pertama, untuk kawasan ini, penanggulangan masalahnya sungguh menantang. Sulit dilakukan: kemiskinan pada sejumlah spot termasuk parah, dan stabilitasnya keamanannya pun secara umum rendah; Kedua, tingkat kesehatan juga rawan: kesehatan jasmaniah menunjukkan kondisi rentan, diperparah tingkat kematian ibu dan bayi juga tinggi. Dewan juri secara aklamasi menyetujui ada kategori itu. Kategori itu diraih nominator dari LAZ As-Salam, Jayapura, Papua. Pemenangan itu, meskipun tidak luarbiasa pencapaiannya, dewan juri secara sadar berempati dengan beratnya area jelajah LAZ As-Salam dengan jangkauan dan sebaran wilayah pengabdian yang luas. Maka, sadar tingkat layanan dan aktivitas mereka yang berat, nilai pencapaian yang kecil menjadi bukan ukuran tunggal prestasi kemanusiaannya. Ditambah, sejumlah pihak swasta yang mengeksplorasi bumi Papua, rata-rata berkantor pusat di Jakarta, hal yang belum memungkinya LAZ As-Salam mengakses dana kemanusiaan ke pihak eksploitator bumi Papua itu.

Apresiasi Inspiratif

IFA 2022 juga mengapresiasi tokoh filantropi inspiratif dengan mengganjar penghargaan Lifetime Achievement untuk allahyarham Dr. Azyumardi Azra. Penghargaan itu disematkan kepada beliau karena sepanjang kariernya intelektualnya, dipandang demikian besar jasanya dipanggung akademik maupun praksis filantropi. Secara intelektual, allahyarham Dr. Azyumardi Azra menelurkan pandangan-pandangannya yang inspiratif, dipadu karya praksis di jagat filantropi. Hal itu termasuk keterlibatan beliau dalam perdamaian dunia, isu yang digelutinya sampai berpulang ke Rahmattullah.

Masih dalam chapter anugerah, IFA memberi penghargaan kepada tokoh yang dipandang ikut menggelorakan filantropi, istilah kekiniannya, influencer. Apresiasi itu diberikan kepada Fadil Jaidi, seorang aktor, pengusaha, youtuber yang sedang hip. IFI memberi anugerah kepada Fadil Jaidi atas prestasinya sebagai Fundraising Influencer –dengan harapan apresiasi itu dapat meluaskan kepedulian filantropi masyarakat banyak –khususnya di Indonesia- sebagai masyarakat paling dermawan versi World Giving Index (WGI) yang dirilis oleh CAF (Charities Aid Foundation) 2021.

Institusi lainnya yang dipandang inspiratif dengan profesionalitasnya, adalah Radio Fajri FM, Bogor. Dengan jangkauan siarannya di Bogor dan sekitarnya, melalui radio, Fajri fm mengajak audiensya menyalurkan kepeduliannya. Wabilkhusus, wilayah Bogor “langganan” terpapar bencana alam. Dengan siaran-siarannya, Fajri fm bukan saja mengabarkan kejadian bencana, namun sekaligus menghimbau audiens unjuk kepedulian, salah satunya melalui radio ini.

Penghargaan yang penting diapresiasi, pihak IFI juga memberi apresiasi kepada Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas (DKK). Seperti halnya Fajri fm, Kompas melalui harian Kompas bukan saja mengabarkan bencana, sembari mengajak pembacanya, bersama sumbangan konkret harian Kompas juga mengajak para pembaca Kompas unjuk kedermawanan melalui harian Kompas. Langkah kedermawanan harian Kompas telah berlangsung lama. Kalau tahun ini mendapat anugerah, bagian apresiasi IFI kepada harian ini, sekaligus merupakan wujud apresiasi masyarakat filantropi Indonesia.

Saling Mengapresiasi

Saya menyebutnya “apresisiasi berganda” untuk IFI dengan IFA nya. Langkah awarding itu sendiri, jelas menjadi sebuah pencapaian, pengakuan publik, bahwa ikhtiar itu dinilai positif. Dengan penyelenggaraannya menjadi event tahunan, masyarakat menerima awarding itu sebagai “kepatutan sosial”, sebagai hal yang diterima dengan baik, seperti halnya publik menerima idol di ajang kompetisi dangdut, festival film bahkan cerdas-cermat sekalipun.

Kendati pun demikian, sebagai kompetisi, fundarising itu juga harus memperhatikan  yang sangat mungkin dialamatkan kepadanya. Angan memperkaya nominasi. Batasi nominasi untuk menjaga wibawa kompetisi. Jangan ubah citra baik yang ada dengan penambahan jumlah nominasi. Benar, bahwa makin banyak yang bisa dilahirkan dari kompetisi ini, baik. Tetapi ada saatnya untuk mencukupkan nominasi. Konsentrasilah pada langkah penyeimbang kompetisi itu: edukasi khalayak. Khalayak yang kian aware dengan kedermawanan, juga perlu memahami bagaimana kedermawanan itu digalang dan didayagunakan.

Event awarding itu adalah pintu memahamkan publik pada social responsibility secara teknis, tetapi lebih hakiki, bahwa tanggungjawab sosial itu adalah perintah langit, amanah setiap insan yang hidup di bumi-Nya. Maka, dengan atau tanpa award, setiap orang niscaya memiliki tanggung jawab unjuk kebaikan. Karena naluri berbuat baik itu kebutuhan manusiawi. Rasa untuk menolong, tidak digerakkan regulasi. Ia harus senantiasa lahir dalam keseharian seorang manusia hidup yang membutuhkan uluran orang lain. Bahkan untuk membantu orang lain, juga memerlukan bantuan. Karena itu ada “lembaga filantropi” yang diatur agar tak ada abuse, penyalahgunaan dalam penyalurannya. Secara sosial, ada yang regulasinya ditangani kementerian sosial (yang non keagamaan) dan sebagian yang lain diatur  kementrian agama (filantropi keagamaan, dalam hal ini kementerian agama Islam).

Tentang Penulis

Avatar photo

Iqbal Setyarso

Wartawan Panji Masyarakat (1997-2001). Ia antara lain pernah bekerja di Aksi Cepat Tanggap (ACT), Jakarta, dan kini aktif di Indonesia Care, yang juga bergerak di bidang kemanusiaan.

Tinggalkan Komentar Anda