Jika A.R. Fachruddin tercatat sebagai ketua PP Muhammadiyah terlama, maka orang yang digantikannya merupakan pemegang rekor tersingkat dari mereka yang pernah menempati jabatan ini. Kiai Haji Fakih Usman memang hanya satu minggu menjabat ketua PP Muhammadiyah. Namun, jika dihitung dari tahun 1922 ketika pertama kali terlibat di Muhammadiyah sampai akhir hayatnya, maka kurang lebih 45 tahun Fakih Usman, dua per tiga usianya, berkhidmat di organisasi ini.
Kiai Fakih Usman terpilih pada muktamar Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta tahun 1968, sekalipun tidak hadir dalam muktamar karena sakit. Selain Fakih Usman, Muktamar memilih delapan anggota lainnya menjadi pengurus Pimpinan Pusat, yaitu A.R. Fachruddin, Djindar Tamimy, Prof. Dr. H.M. Rasyidi, Prof. Dr. Hamka, Prof. H. Kasman Singodimedjo, Dokter H. Kusnadi, Ir. H.M. Sanusi, Drs. Muhammad Djazman, dan H. Hasyim. Seusai muktamar mereka bersama-sama bertolak ke Jakarta untuk menyusun komposisi kepengurusan dan program kerja. Mereka sempat bertemu dengan Kiai Fakih Usman yang masih bisa berjalan, tertawa dan tersenyum tapi tidak bisa bicara.
Menurut rencana, Fakih Usman akan berobat ke luar negeri, dan untuk itu dia sudah menyiapkan surat kepada delapan pengurus PP tadi. Dalam surat itu dia berpesan, sementara dia di luar negeri pimpinan Muhammadiyah di Yogyaakarta dia serahkan kepada A.R. Fachruddin dan Djindar Tamimy, sementara untuk pimpinan di Jakarta dia serahkan kepada H.M. Rasyidi dan Buya Hamka. Kiai Haji Fakih Usman akhirnya urung berangkat ke luar negeri karena pada 3 Oktober 1968 dia berpulang ke tempat peristirahatannya yang terakhir, di alam baka, menghadap Sang Khalik. Berita duka ini diterima oleh pengurus PP yang sedang rapat. Kedatangan mereka ke Jakarta ternyata sekaligus untuk bertakziah kepada nakhoda persyarikatan yang baru mereka pilih itu.
Santri-pedagang
Fakih Usman dilahirkan pada 2 Maret 1904 di Gresik, sebuah kota pelabuhan yang cukup sibuk di Jawa Timur. Masyarakat di daerah yang kini berbatasan dengan Surabaya ini, dulunya Gresik bagian dari Surabaya, sudah berabad-abad mengenal Islam, bahkan boleh dibilang termasuk yang paling awal masuk Islam di Tanah Jawa. Di wilayah ini pula Maulana Malik Ibrahim, pelopor penyebaran Islam di Jawa, dimakamkan, dan sampai sekarang kuburnya ramai diziarahi orang. Begitu juga Sunan Giri, salah satu Wali Sanga yang menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa pada abad ke-15 dan ke-16. Tapi sebelum kedatangan Islam pun, Gresik sudah menjadi kota pelabuhan yang penting pada zaman kerajaan Majapahit.
Fakih Usman tumbuh dan dibesarkan di lingkungan keluarga santri-pedagang. Ibunya anak seorang ulama, sedangkan ayahnya, Usman Iskandar , adalah seorang pedagang kayu dan pengusaha galangan kapal. Dia anak keempat dalam keluarga yanga gemar akan ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum. Tak heran jika sejak kecil pendidikaan agamanya sudah memperoleh perhatian yang serus dari orangtuanya. Mula-mula dia belajar belajar membaca Al-Qur’an dan pengetahuan dasar keislaman kepada ayahnya sendiri.
Usianya baru sekitar 10 tahun ketika Fakih melanjutkan pendidikannya ke sejumlah pesantren di sekitar kota Gresik. Setelah sekitar empat tahun, 1914-1918, Fakih belajar di pesantren-pesantren di sekitar Gresik, dia pun belajar ke pesantren-pesantren di luar kota Gresik yakni antara tahun 1918-1922. Di antaranya adalah Pesantren Maskumambang di Bungah, yang sekarang berubah menjadi pesantren modern Muhammadiyah. Dengan demikian, ia juga banyak menguasai buku-buku yang diajarkan di pesantren-pesantren tradisional, karena penguasaannya dalam bahasa Arab. Dia juga terbiasa membaca surat kabar dan majalah berbahasa Arab, terutama dari Mesir yang berisi tentang pergerakan kemerdekaan. Apalagi pada abad 19 dan awal abad 20 di dunia Islam yang pada umumnya sedang terjadi gerakan kebangkitan.
Usman Iskandar, sang ayah, rupanya tidak memimpikan putranya menjadi ulama atau kiai besar model Jawa Timur. Maka, alih-alih meneruskan ke pesantren-pesantren besar yang ada di Jawa Timur, atau meneruskan studi ke Mekkah seperti Wahid Hasyim, putra KH Hasyim Asy’ari, dari Jombang atau Al-Azhar seperti Mahmud Yunus dari Minangkabau, Fakih justru diminta untuk membantu usaha ayahnya. Usman bahkan lebih banyak mempercayakan usahanya kepada Fakih, padahal ia mempunyai tiga kakak. Waktu itu, kegiatan bongkar muat di pelabuhan Gresik sangat aktif karena lalu-lintas perdagangan masih melalui pelabuhan ini. Keadaan ini tentu sangat menguntungkan usahanya di bidang perkayuan dan galangan kapal.
Besarnya kepercayaan yang diberikan Usman kepada Fakih ketimbang anak-anaknya yang lain, mungkin karena dia melihat putra keempatnya itu lebih memiliki jiwa dagang atau semangat kewirausahaan dibandingkan dengan saudara-audaranya yang lain. Lebih dari sekadar membantu usaha keluarga, Fakih bahkan mengembangkan bisnisnya sendiri dengan mendirikan beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan alat-alat bangunan, galangan kapal, dan pabrik tenun di Gresik. Bahkan, dia juga diangkat sebagai Ketua Persekutuan Dagang Sekawan Se-Daerah Gresik.
Sebagai pengusaha yang berhasil, hampir dipastikan taraf kehidupan ekonomi keluarga Fakih Usman cukup tinggi pada zamannya. Pada tahun 1930-an Fakih Usman sudah memiliki mobil, yang dia gunakan untuk pulang pergi Gresik-Surabaya, karena selain berdagang dia juga sibuk dalam dunia pergerakan. Kepemilikan kendaraan roda empat waktu itu, menunjukan bahwa Fakih Usman tergolong orang yang berada pada zamannya. Sebab kepemilikan mobil pada tahun 1930-an hanya bisa dicapai oleh orang yang berkecukupan. Ismed Usman, putra Fakih Usman, dokter spesialis anak dan pengajar pada Fakultas Kedokteran UI, masih menyimpan surat izin mengemudi (SIM) ayahandanya yang bertahunkan 1934 itu. Dengan kendaraan roda empat pula, mobilitas Fakih Usman sangat tinggi, dan tidak mengherankan pula dia dengan mudah bisa menyesuaikan diri dengan pergerakan di Surabaya.
Belajar secara Otodidak
Meski pendidikan pesantren Fakih Usman hanya di Gresik dan sekitarnya, Fakih Usman mempunyai dorongan yang kuat untuk mengembangkan pengetahuannya. Salah seorang yang paling berjasa dalam menumbuhkan semangat menambah pengetahuan ini adalah Kiai Cholil, Gresik. Fakih sempat menimba ilmu di pesntren kiai yang dikabarkan berpikiran maju ini. Menurut cerita pesantren Kiai Cholil ini kurang laku atau santrinya sedikit karena pengasuhnya yang sudah berpikir maju itu. Melalui kiai inilah pandangan dan wawasan Fakih Usman terbuka luas. Dan sejak itu pula dia memilih belajar secara otodidak. Keluasan pandangan dan keterbukaan dalam berpikir ini kelak ikut menentukan pilihan Fakih Usman dalam berorganisasi, yang kemudian makin mendorongnya untuk mengembangkan pengetahuan dan melebarkan wawasannya. Dia pun mulai mengenal pemikiran pembaruan Muhamad Abduh, dan bahkan memiliki magnum opus-nya, Tafsir Al-Manar, yang menjadi bacaan wajib kaum pembaru Islam itu. Bagi Fakih Usman, yang telah menguasai dasar-dasar bahasa Arab yang dia peroleh di pesantren, tidak ada masalah dalam membaca literatur berbahasa Arab.
Tetapi, modal bahasa Arab saja bagi Fakih Usman belumlah cukup. Dia merasa perlu untuk menguasai bahasa Belanda, yang waktu itu banyak digunakan oleh para pemimpin gerakan modern Islam, apalagi kalangan nasionalis sekuler, dalam percakapan mereka. Untuk itu, sebagaimana diceritakan istrinya, Fakih Usman sering belajar bahasa Belanda secara sembunyi-sembunyi kepada seorang tamatan sekolah Belanda. Selain menjadi bahasa pergaulan kalangan atas, kedudukan-kedudukan tertentu juga mengharuskan penguasaan bahasa Belanda. Pada tahun 1929-1940, misalnya, Fakih Usman menjadi salah satu anggota Dewan Kota Surabaya, yang sebagian anggotanya berpendidikan modern. Tuntutan pergaulan dan kedudukan semacam ini yang memaksa Fakih Usman untuk memahami percakapan dan menguasai literatur atau dokumen berbahasa Belanda. Dengan makin luasnya pergaulan, terbukanya cakrawala pemikiran, maka kita menyaksikan Fakih Usman bukan lagi santri yang biasa mengenakan sarung, tetapi seorang gentleman yang mengenakan pantalon lengkap dengan jasnya sebagaimana lazimnya para pemimpin gerakan modern Islam. Seperti diceritakan istrinya yang kemudian diceritakan kembali oleh putranya, Ismed Usman, masyarakat tradisi di sekitanya sering memandang aneh atas pandangan dan perilakunya. Secara sinikal mereka menyebut Fakih Londo silit ireng alias orang Belanda yang berpantat hitam. Tidak syak lagi, mereka melihat Fakih Usman orang yang sudah terbius budaya Belanda, yang notabene kafir. Bahkan rumah mereka di Gresik sering dilempar batu warga masyarakat, yang tidak menyukai keluarga ini, tentu.
Fakih Usman bukan hanya gemar dengan pengetahuan umum, yang antara lain tampak dari usahanya untuk menguasa bahasa Belanda, tapi juga sangat memperhatikan pendidikan keluarganya. Maka, ketika mengetahui ada klausul dalam Staatblad yang memperbolehkan seseorang mengikuti sekolah Belanda setelah membayar pajak tertentu, dia mendorong saudaranya, Rasyad, dari pihak ibu, untuk melanjutkan sekolah. Fakih pula yang mengurus sekolah Rasyad ke HIS, MULO, AMS dan Sekolah Kedokteran, sehingga dia menjadi dokter di Malang. Begitu juga ketika mengetahui putranya, Luthfi Usman, yang ikut latihan tentara TRIP di Mojo Agung, Jawa Timur, dia segera memanggil dan meyakinkannya untuk meneruskan sekolah daripada ikut latihan militer. “Saya dulu tidak sempat belajar. Sekarang kamu harus sekolah,” kata Fakih, seperti dikenang Ismed Usman. Dari ketujuh anaknya, kecuali satu yang hanya sampai HIK, semuanya berpendidikan tinggi: lima menjadi dokter dan satu lagi sarjana ekonomi. Kepada anak-anaknya, Fakih Usman selalu menekankan untuk tidak mengharapkan warisan harta, dan bahwa dirinya hanya bisa menyekolahkan mereka sampai sarjana. Menurut Ismed Usman, ayahnya tidak pernah sayang membelanjakan uang asal untuk hal-hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. “Soal beli buku, tidak ada kata boros,” katanya.
Jika kita mencermati pendidikan anak-anaknya itu, tampak jelas bahwa Fakih Usman punya perhatian besar terhadap pendidikan umum. Tidak satu pun dari mereka yang mengikuti jejaknya belajar di pesantren. Bahkan masuk Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah atau Pendidikan Guru Agama (PGA), dan IAIN pun tidak. Fakih Usman rupanya berpendapat, lebih baik memperbanyak ahli yang menguasai bidang-bidang pengetahuan umum dari pada pengetahuan agama, karena yang terakhir ini jumlahnya lebih banyak daripada yang pertama. Yang menarik, atau mungkin tepatnya mengherankan, Fakih Usman tidak pernah mendorong anak-anaknya untuk aktif dalam organisasi seperti Muhammadiyah. Dia membebaskan kepada pilihan mereka masing-masing.