Buya Hamka menyebutnya ideolog Muhammadiyah. Sedangkan Yunus Anis memberi laqab atau julukan “bintang barat” Muhammadiyah karena punya jasa besar dalam pengembangan Muhammadiyah di Sumatera Barat. Pujian semacam ini memang pantas dialamatkan kepada Buya Ahmad Rasyid Sutan Mansur, yang sampai akhir hayatnya tetap setia memberikan pengajian setiap minggu sekali kepada warga Muhammadiyah.
Tubuhnya yang uzur karena dimakan usia lanjut tidak menghalangi aktvitasnya di persyarikatan. Muktamar, tanwir, sidang-sidang yang umumnya memeras tenaga dan pikiran tidak lagi diikutinya karena stamina atau daya tahan tubuhnya tidak memungkinkan untuk itu. Tapi kehadirannya yang setiap minggu itu di Aula Gedung Muhammadiyah di Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, membuktikan semangat pengabdiannya untuk persyarikatan tak pernah padam.
Tetapi mengapa Sutan Mansur disebut ideolog?
Menurut Sutan Mansur, umat Islam saat itu berada di tengah pengaruh dua ideologi yang saling bersaing untuk melebarkan pengaruhnya. Di satu pihak ideologi dari luar yang berupa kapitalis-imperialis yang meniadakan Tuhan yang bersifat kebendaan. Menghadapi ekspansi kedua ideologi itu umat Islam mengalami kesengsaraan yang lebih besar dibandingkan masa-masa sebelumnya, karena dengan persaingan kedua ideologi itu maka seluruh umat Islam menjadi ajang perebutan. Karena itulah Sutan Mansur berpendirian bahwa umat Islam perlu “merebut kembali kesadaran” dengan suatu keinsyafan yang sebenarnya, sebagaimana yang diperintahkan surat Ar-Ra’d: 11 (Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada di dalam diri mereka)
Untuk itu, kata dia, perlu dihadirkan kombinasi antara kehalusan budi dengan keberanian. Letak persoalan yang harus dimodifikasi adalah segi “taktik” sebagai kaifiat alias cara melaksanakan, yang mencakup hal siasat dan hikmat keahlian atau hikmat kebijaksanaan. Sutan Mansur mengajukan konsep usulan kembali kepada “akhlak tauhid” sebagai akar akhlak yang terpuji sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Usaha yang demikian itu dikembangkan dalam bentuk perjuangan yang oleh Sutan Mansur disebut tathbiqul ‘amal. Yakni mengatur tatacara alamiah, dan tsaqafah islamiyah (peradaban Islam), yang disebut pula dengan jiwa Islam. Jika yang pertama itu bagaikan rel kereta api, maka yang kedua lokomotifnya.
Hubungan antara amalan dan jiwa keilmuan dalam kehidupan manusia ditentukan oleh jiwa pengajaran Islam yang diamalkan. Menurut dia, yang jadi persoalan adalah pengajaran Islam yang belum sampai pada tingkat yang proporsional karena nilai-nilai Qur’ani tidak diamalkan secara nyata sebagai ajaran yang mengandung musawah (persamaan), ukhuwah (persaudaraan), mahabbah (kasih sayang), dan sifat-sifat itulah yang akan mampu menghalau sifat kapitalisme-imperialisme. Untuk kepentingan tersebut maka yang perlu diubah tidak hanya pikiran, namun juga wijdan yaitu perasaan.
Mengembangkan Muhammadiyah
Nama kecilnya adalah Ahmad Rasyid. Dia lahir di Maninjau, Sumatera Barat, pada 27 Jumadil Akhir 1313 H/15 Desember 1895 M. Ayahnya bernama Abdullah Shamad. Dia menantu sekaligus murid kesayangan Haji Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul. Setelah menikah dengan Fathimah, kakak Buya Hamka, Haji Rasul memberinya gelar Sutan Mansur. Setelah itu Ahmad Rasyid lebih dikenal dengan sebutan AR Sutan Mansur.
Sejatinya, sebelum Sutan Mansur, pikiran-pikiran dari Muhammadiyah sudah lebih dulu disebarluaskan oleh H Abdul Karim Amrullah, bahkan beberapa cabang Muhammadiyah sudah berdiri di Maninjau dan Padang Panjang. Dengan kata lain, H Abdul Karim Amrullah telah membuka jalan bagi Sutan Mansur untuk lebih mengembangkan Muhammadiyah di Sumatera Barat. Dan penyebaran gerakan ini justru semakin pesat setelah dia mendapat dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dan sejumlah alim ulama ‘kaum muda’.
Di samping itu, selaku mubaligh tingkat pusat Muhammadiyah (1926-1929) dia ditugaskan mengadakan tabligh keliling ke Medan, Aceh, Kalimantan (Banjarmasin, Amuntai dan Kuala Kapuas), Mentawai serta beberapa bagian Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Aktivitasnya juga melatih pemuda-pemudi dalam lembaga Kulliyatul Muballigin yang didirikannya untuk menjadi kader Muhammadiyah.
Adapun metode yang digunakan untuk latihan itu adalah mujadalah (kelompok diskusi). Murid-muridnya antara lain Duski Samad (adik kandungnya sendiri), Abdul Malik Ahmad (penulis tafsir Alquran), Zein Jambek, Marzuki Yatim (mantan Ketua KNI Sumatera Barat), Hamka, Fatimah Latif, Khadijah Idrus, Fatimah Jalil, dan Jawanis.
Pada tahun 1930 diselenggarakan Kongres ke-19 Muhammadiyah di Minangkabau. Salah satu keputusannya adalah perlunya jabatan konsul Muhammadiyah di setiap karesidenan. Maka berdasarkan Konferensi Daerah di Payakumbuh tahun 1931, dipilihlah Sutan Mansur sebagai konsul Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Barat hingga 1944. Kemudian atas usul konsul Aceh, konsul-konsul seluruh Sumatera setuju untuk mengangkat Sutan Mansur selaku imam Muhammadiyah Sumatera.
Tahun 1953 dalam Kongres Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto, AR Sutan Mansur terpilih menjadi ketua, menggantikan Ki Bagus Hadikusumo. Tiga tahun kemudian, dalam pada kongres Palembang, dia terpilih kembali. Lantas pada kongres ke-35 tahun 1962 di Yogyakarta, Sutan Mansur diangkat sebagai Penasehat PP Muhammadiyah sampai 1980. Selama dua periode masa kepemimpinannya dia berhasil merumuskan khittah (garis perjuangan) Muhammadiyah. Antara lain mencakup usaha-usaha menanamkan dan mempertebal jiwa tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyuk dan tawadlu, mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, menggerakkan organisasi dengan penuh tanggung jawab, memberikan contoh dan suri tauladan kepada umat, konsolidasi administrasi, mempertinggi kualitas sumber daya manusia, serta membentuk kader yang andal.
Buya AR Sutan Mansur wafat pada 25 Maret 1985 di Jakarta dalam usia 89 tahun.