Cakrawala

Harapan Munculnya Model Kepemimpinan Baru Muhammadiyah

Avatar photo
Written by Arfendi Arif

Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi yang cukup unik terutama kalau dilihat dari segi kegiatannya dan kepemimpinan. Secara kategoris aktivitas Muhammaiyah bisa dikelompokkan pada tiga  bidang besar, yaitu pendidikan, sosial, dan keagamaan. Bidang pendidikan menggarap sekolah, mulai dari pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi, bidang sosial termasuk kesehatan, panti asuhan, anak yatim dan lainnya, kemudian bidang keagamaan termasuk dakwah dan pemikiran keagamaan yang dikenal dengan tajdid.

Dalam menjalankan roda kegiatan, Muhammadiyah  bisa disebut organisasi yang mandiri. Artinya, hidup berdasarkan pemasukan dari masyarakat, tidak mengandalkan bantuan dari pihak lain, misalnya bantuan penerintah. Dan, ini tentu suatu prestasi yang luar biasa dari Muhammadiyah, karena dalam usianya yang lebih dari 100 tahun, Muhammadiyah tetap eksis dan menunjukkan kemajuan yang terus meningkat.

Kalau melihat bidang kegiatan atau garapan Muhammadiyah yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini, ada dua aspek yang spesifik. Bidang pendidikan dan kesehatan bisa disebut terkait dengan pengelolaan kebutuhan “duniawi atau sekuler,” dan memerlukan pengelolaan secara manajemen profesional. Bidang kedua yang terkait dengan dakwah adalah bidang spritual menyangkut pembinaan mental, akhlak dan aspek keimanan dalam agama khususnya Islam.

Yang menjadi pertanyaan dalam konteks aktivitas Muhammadiyah ini, bagaimanakah bentuk kepemimpinan yang relevan dan cocok untuk Muhammadiyah. Kepemimpinan ini tentu yang dimaksudkan agar Muhammadiyah meraih kemajuan dalam kedua bidang tersebut, baik kegiatan yang bercorak keduniawiaan seperti mengelola sekolah, rumah sakit dan semacamnya, maupun yang terkait dengan bidang dakwah dan pembangunan mental, aqidah dan ibadah umat.

Bila ditelusuri sejarah kepemimoinan Muhamnadiyah sejak didirikan KH Ahmad Dahlan hingga sat ini, nampak dengan jelas bahwa yang dominan memimpin Muhammadiyah sejak awal hingga dekade 90-an umumnya para ulama. Urutannya mulai dari KH Ahmad Dahlan, KH Ibrahim, KH Hisyam, KH Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Buya AR Sutan Mansur, KHA Badawi, KH Fakih Usman dan KH AR Fakhruddin. Yang terakhir ini menjadi Ketua Umum Muhammadiyah sejak tahun 1968 sampai 1990.

Sejak Muktamar Muhammadiyah ke -42 di Yogyakarta tahun 1990 kepemimpinan Muhammadiyah mulai beralih ke kalangan intelektual, kalangan kampus dan termasuk yang berpendidikan barat. KH Ahmad Azhar  Basyir, MA pengganti Pak AR yang juga seorang ulama dan intelektual, adalah dosen Universitas Gajah Mada dan IAIN, merupakan lulusan Timur Tengah. Gelar ulama agak melekat pada tokoh ini. Setelah Ahmad Azhar Basyir berturut-turut penggantinya adalah Amin Rais, Syafi’i Ma’arif, Din Sysmsuddin dan Haedar Nashir. Amien Rais, Syafi’i Ma’arif dan Din Syamsuddin adalah ketua umum Muhammadiyah dengan latar belakang  lulusan universitas di Amerika Serikat.

Amal usaha Muhammadiyah yang terkait dengan pendidikan, klinik dan rumah sakit tentu membutuhkan kepemimpinan atau manajemen yang profesional. Profesional disini diartikan yaitu pengelolaan secara moderen dalam arti setiap waktu mengalami kemajuan baik secara kuantitas maupun kualitas.

Disini memang terjadi sebuah dilema bagi Muhammadiyah. Organisasi ini yang sejak didirikan sampai sekarang dengan semangat keikhlasan dan  tidak berpikir mencari profit atau keuntungan. Pasti berat bagi Muhammadiyah mengubah untuk berorientasi komersial atau profesional seperti pengelolaan dalam bisnis moderen. Sementara  Muhammadiyah dalam bekerja diutamakan pengabdian atau volountir.

Inilah kesulitannya bagi Muhammadiyah, namun seperti kata almarhum tokoh Muhammadiyah Lukman Harun, Muhammadiyah sudah saatnya menentukan pilihan dalam era kehidupan yang moderen ini. Menurut Lukman Harun, Muhammadiyah tidak bisa lagi dikelola dengan manajemen lama, sebaliknya Muhammadiyah harus dikelola dengan manajemen yang moderen. Memang ini termasuk pekerjaan yang susah, karena kita harus mengubah manajemen yang lama  dengan manajemen moderen, tapi menurut saya Muhammadiyah bisa melakukan itu melalui penggabungan keduanya,yaitu manajemen yang moderen dengan ruh dan jiwa Muhammadiyah yang diikuti kontrol keuangan yang ketat. Praktek manajemen moderen ini bukan hanya diterapkan di Pimpinan Pusat saja,melainkan juga di cabang-cabang, ranting, juga amal usaha yang dikelola Muhammadiyah ( Drs.H. Lukman Harun dalam Muhammadiyah dan Pemberdayaan Bangsa, Ruhama Intergraf, Jakarta, 1995).

Apa yang disampaikan Lukman Harun memang sudah keharusan zaman. Organisasi besar seperti Muhammadiyah dengan bidang garapan yang sangat strategis seperti pendidikan dan  kesehatan yang kini jumlahnya cukup besar sudah harus berfikir kompetitif. Artinya, Muhammadiyah sudah harus berusaha bidang amal usahanya ini bisa berdiri dan hadir sejajar kualitasnya dengan yang lain. Misalnya, bidang pendidikan mulai dari pendidikan usia dini, dasar, menengah dan perguruan tinggi harus menjadi lembaga pendidikan yang mampu menghasilkan output yang setara kualitasnya dengan lembaga pendidikan  lainnya, seperti yang dimiliki pemerintah atau milik swasta yang sudah dikenal.

Semuanya ini tidak lepas dari perubahan manajemen moderen yang berorientasi kualitas, hanya disini tentu ada aspek spesifik dari bidang garapan Muhammadiyah yakni ada warna nilai-nilai Islam dalam produk atau output lulusannya.

Kenyataan di atas menuntut adanya kebutuhan Muhammadiyah pada bentuk kepemimpinan yang juga mulai berpikir visioner ke depan..Dalam arti, membangun sebuah kepemimpinan di Muhammadiyah yang tidak hanya berfikir dominan soal dakwah dan keagamaan, tapi sisi penggarapan amal usaha Muhammadiyah mulai dikemas dengan sentuhan manajemen moderen agar lebih luas berkiprah di masyarakat dan diperhitungkan keberadaannya.

Karena itu dalam struktur kepemimpinan Muhammadiyah sudah saatnya hadir seorang yang memiliki kemampuan manajerial. Pemimpin dengan tipologi manajer mungkin perlu ditambah baik di level pusat, wilayah dan cabang. Jadi disamping ada kepemimpinan dengan latarbelakang spesialisasi agama atau ulama, diharapkan hadir pula sosok manajerial yang bisa memberikan kontribusi pada pembenahan manajemen moderen yang berorientasi kemajuan baik secara kualitas  maupun kuantitas, terutama  amal usaha Muhammadiah.

Srmoga Muktamar Muhammadiyah yang berlangsung di Solo sekarang ini menghasilkan keputusan baru yang memberikan dampak kemajuan lebih pesat bagi Muhammadiyah ke depan.

About the author

Avatar photo

Arfendi Arif

Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten

Tinggalkan Komentar Anda