Ads
Cakrawala

Jejak Langkah Pemimpin Muhammadiyah  (1): Kiai Ahmad Dahlan

Avatar photo
Ditulis oleh A.Suryana Sudrajat

Syahdan, di sebuah gerbong dalam sebuah perjalanan kereta api di  Jawa, seorang pria Jawa tampak asyik membaca sebuah kitab, yang mungkin tampak asing bagi para penumpang di situ, kecuali seorang asing yang duduk persis di hadapannya . Membaca di perjalanan memang bisa mengusir kebosanan, tapi sebuah bacaan berat mungkin tidak terlalu tepat sebab bisa-bisa bikin kepala penat. Tapi mungkin bukan itu yang membuat heran orang asing yang duduk berseberangan dengan orang Jawa tadi. Sebab yang mengherankannya adalah ini: ada seorang pribumi yang bisa membaca kitab yang sangat ilmiah itu. Merasa tertarik dia pun mengajak berkenalan dan mereka pun terlibat pembicaraan yang serius.

Cerita itu, dikatakan Deliar Noer (1980), amat populer  di kalangan pimpinan Muhammadiyah dan Al-Irsyad, dua organisasi Islam modern yang lahir pada awal abad ke-20. Tidak syak lagi, orang Jawa yang membaca kitab tadi tidak lain adalah Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri dan hoofdbestuur Persyarekatan Muhammadiyah. Kitab yang dibacanya Tafsir Al-Manar, karangan Syaikh Muhammad Abduh,  pembaru pemikiran Islam dari Mesir. Sedangkan orang asing yang duduk di hadapannya adalah Ahmad Soorkatti asal Sudan, pendiri Al-Irsyad. Di bordes kereta api itu pula mereka  berjanji akan bekerja untuk  menyebarkan pemikiran-pemikiran pembaruan Abduh di dalam masyarakat masing-masing yaitu kalangan Arab dan Indonesia.

Dari kisah itu juga bisa disimpulkan bahwa  pada tahun 1912, ketika KH Ahmad Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah pada 18 November, dia sudah mengetahui pemikiran-pemikiran Abduh. Pemikiran-pemikiran dari pembaru Mesir inilah Ahmad Dahlan memperoleh rangsangan untuk memperluas pembaruan yang dilakukannya, yang mula-mula hanya terbatas pada praktik-praktik  lahiriah seperti kiblat dan kebersihan kemudian berkembang ke masalah-masalah fundamental dalam umat Islam. Yakni tentang persoalan apakah ijtihad sudah tertutup atau belum.

Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada tahun 1869. Semula dia bernama  Muhammad Darwis. Ayahnya KH Abu Bakar bin Haji Sulaiman, adalah khatib amin di Masjid Keraton di Kauman, Yogyakarta, yang masih keturunan Maulana  Malik Ibrahim. Sedangkan ibunya, Siti Aminah, adalah puri seorang penghulu Keraton. Darwis adalah nomor empat dari tujuh bersaudara.

Darwis kecil tumbuh menjadi pemuda yang cerdas. Ia menunjukkan kelebihan dari anak-anak  senang membaca, dan salah satu bacaannya adalah majalah Al-Manar yang berisi ide-ide pembaruan Muhammad Abduh. Ia menerima majalah itu dari seorang kawan di Jamiat Khair, perkumpulan orang=orang Arab “progresif” di Jakarta, dan biasanya ia mendiskusikan isi majalah itu dnegan teman-temannya.

Selain itu, ia belajar ilmu-ilmu agama kepada sejumlah ulama, antara lain fikih kepada KH Muhammmad Shaleh, nahwu (KH Muhsin), ilmu falak (KH Raden Dahlan), hadis (Kiai Mahfud dan Syeikh Khayyat), ilmu Al-Quran (Syeikh Amin dan Sayid Bakri Satock), serta ilmu pengobatan dan racun binatang kepada Syeikh Hasan. Bahkan ia juga pernah sekamar dengan KH Hasyim Asy’ari ketika belajar kalam (teologi) kepada Kiai Shaleh Darat di Semarang.

Tahun 1889 Darwis menikah dengan Siti Walidah, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Nyai Ahmad Dahlan. Delapan bulan kemudian pasangan muda ini berangkat ke Tanah Suci, dan bermukim di Mekah selama satu tahun. Darwis memang masih ingin memperdalam ilmu agamanya pada sejumlah ulama. Salah satunya Syeikh Ahmad Khatib asal Minangkabau, yang juga guru KH Hasyim Asy’ari.

Sikap kritisnya terhadap lingkungan keagamaan di Yogya  tumbuh sepulang dari Mekah. Darwis begitu prihatin melihat berbagai praktik keagamaan yang bercampur dengan takhayul, bid’ah, dan khurafat. Islam menurutnya harus bebas dari praktik-praktik ritual yang bersumber dari kepercayaan lokal itu, dan karena itu pula “TBC” (singkatan tachajul, bid’ah, dan churafat) merupakan penyakit yang perlu mendapat prioritas untuk diberantas. Sebab penyakit ini bukan hanya merusak kemurnian akidah, tapi juga membuat jumud dalam berpikir, dan skeptis dalam memandang hidup.

Sikap prihatin juga ditunjukkan Muhammad Darwis ketika dia melihat umat Islam salah dalam menentukan arah kiblat. Karena itu, dibekali kemampuannya di bidang ilmu falak dan ilmu hisab, Darwis memelopori pembetulan posisi kiblat Majid Keraton Yogya yang kala itu masih menghadap lurus ke barat, tidak tepat menuju arah kiblat yang 24 derajat ke arah Barat Laut. Tindakan Darwis mengubah arah kiblat ini membuat heboh di masyarakat. Dan karena ditentang banyak ulama, usaha itu gagal. Lalu ia mendirikan langgarnya sendiri dengan meletakkan kiblat yang tepat. Tapi usaha ini memancing kemarahan penghulu Masjid Keraton, KH Muhammad Halil, yang memerintahkan agar surau yang dibuat Darwis dibongkar. Darwis pun tampak putus asa, dan ingin meninggalkan kota kelahirannya. Tapi seorang kerabatnya berhasil menghalangi keinginannya itu, dan membangunkannya sebuah langgar yang lain, dan memberi jaminan bahwa Darwis dapat mengajarkan dan mempraktikkan agama sesuai dengan keyakinannya di situ.

Toh ketegangan tidak surut juga. Itulah yang mendorong kepergian Darwis ke Mekah untuk yang kedua kalinya pada tahun 1903. Dalam rentang waktu 14 tahun antara keberangkatannya ke Tanah Suci yang pertama dan yang kedua, Darwis sempat mengawinkan ayahnya, setelah ibunya meninggal, juga menggantikan posisi ayahnya, yang meninggal pada 1896, sebagai khatib amin. Ia juga ikut membantu mengajar di pondok milik ayahnya, dan berjualan batik untuk menghidupi keluarganya.

Keberadaannya di Tanah Suci yang kedua itu dimanfaatkan untuk mendalami pokok-pokok pikiran kaum pembaru. Lewat jasa KH Baqir, keponakannya yang menjadi mukmin di Mekah sejak 1890, Darwis bisa bertemu dengan Rasyid Ridha, yang kebetulan sedang di Mekah. Mereka pun terlibat diskusi mengenai masalah Islam dan umat Islam. Ia juga sempat menimba pemikiran Ibn Taimiah dan muridnya, Ibn Qaiyim Al-Jauziyah, selain Al-Ghazali dan Imam Syafi’i.

Pada waktu itu gerakan Wahabi, yang bertujuan memurnikan kembali ajaran-ajaran Islam, sedang gencar-gencarnya menancapkan pengaruhnya. Dan rupanya Darwis amat tertarik dengan gerakan itu. Ia melihat, gerakan pembaruan keagamaan di Mekah itu cocok diterapkan di Indonesia karena ajaran Islam di negeri ini, seperti disaksikannya sendiri, sarat dengan takhayul, bid’ah, dan khurafat. Sekembalinya di Tanah Air, Darwis mengubah namanya menjadi (Haji) Ahmad Dahlan.

Aktif di BO dan mendirikan Muhammadiyah

Untuk meluaskan cita-cita pembaruannya, Dahlan tak hanya mengajar di lingkungannya. Pada tahun 1909 ia bergabung dnegan Boedi Oetomo(BO). Organisasi ini didirikan pada 1908 untuk kepentingan priyayi Jawa. Tekadnya masuk BO adalah untuk memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya yang notabene belajar di sekolah-sekolah Belanda. Upayanya tidak sia-sia, semangat keberagamaan para anggota BO meningkat.ide-ide pembaruannya pun mulai dikenal luas. Bahkan, beberapa dari mereka menyarankan Ahmad Dahlan untuk mendirikan lembaga pendidikan dengan dukungan organisasi permanen, untuk menghindari kelemahan pesantren yang biasanya ikut mati jika kiainya meninggal.

Atas anjuran kawan-kawannya itulah pada 8 Dzulhijah 1330 H/18 November 1912 Ahmad Dahlan mendirikan sebuah persyarikatan bernama Muhammadiyah, yang diambil dari nama Nabi dengan imbuhan huruf nisbat (yah), yang berarti umatnya Nabi Muhammad. Ini sesuai dengan pendiriannya, yaitu berarti umatnya Nabi Muhammad. Ini sesuai dengan pendiriannya, yaitu menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w kepada penduduk bumiputra. Deklarasi berdirinya Muhammadiyah diselenggarakan di sebuah gedung di sekitar Malioboro, Yogyakarta.

Selanjutnya ia dirikan madrasah ibtidaiyah dan madrasah diniyah di rumahnya di Kauman. Madrasah ini merupakan sekolah pertama yang dibangun dan dikelola pribumi dengan sistem klasikal-memakai bangku, kursi, papan tulis, dengan guru berdiri di depan kelas. Di sekolahnya itu, ia memasukkan kurikulum modern, yang memadukan ilmu umum dan ilmu agama.

Pembaruan sistem pendidikan yang dilakukan Ahmad Dahlan ternyata banyak mendatangkan kritik. Ia dituduh meniru perbuatan kaum penjajah dan kafir. Bahkan, Dahlan juga sempat dituding hendak membuat agama baru. Namun ia tidak peduli. Sebaliknya, murid malah semakin bertambah, dan sitem klasikal ini kemudian diikuti oleh pesantren-pesantren yang selama ini sistem pendidikan dan pengajarannya dilakukan dengan halaqah- murid mengelilingi guru dengan duduk di lantai.

Di bidang pendidikan dan sosial, Dahlan sesungguhnya banyak mengadopsi sistem penjajah dan kaum misionaris Kristen yang waktu itu tengah gencarnya melakukan propagandis di Pulau Jawa. Dahlan berpandangan bahwa tidak semua yang berasal dari penjajah atau umat agama lain itu buruk. Hal-hal yang baik boleh diikuti. Ini termasuk ketika ia memasukkan kurikulum pengetahuan umum seperti ilmu mantiq (logika). Di sekolahnya Dahlan juga membentuk Hizbul Wathan (kepanduan) yang diadopsi langsung dari kaum misionaris, dengan maksud agar murid-muridnya terampil dan kreatif. Ia juga mendirikan panti asuhan, panti jompo, panti korban perang, rumah sakit, hingg perpustakaan dan penerbitan media cetak berupa majalah Suara Muhammadiyah. Adopsi sistem yang dilakukan Ahmad Dahlan juga dimaksudkan untuk membendung gerakan misionaris yang sedang gencar-gencarnya menyebarkan agama Kristen.

Selain bergerak di bidang pendidikan, Muhammadiyah juga melakukan gerakan dakwah, dengan fokus pada perang terhadap segala hal yang berbau takhayul, bid’ah, serta khurafat. Untuk mencairkan kebekuan pemikiran di kalangan umat Islam, ia menyeru kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis serta meninggalkan taqlid buta dengan membuka pintu ijtihad lebar-lebar.

Bersambung

Tentang Penulis

Avatar photo

A.Suryana Sudrajat

Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyer, Serang, Banten. Ia juga penulis dan editor buku.

Tinggalkan Komentar Anda