Muhammadiyah pada 18 November ini akan mengadakan Muktamar di Solo, Jawa Tengah. Muktamar ini kabarnya akan dihadiri jutaan orang sehingga sekolah yang ada di sekitar acara muktamar akan diliburkan karena khawatir terjadi kemacetan.
Berita ini memberikan suatu sinyal bahwa Muhammadiyah memang sebuah organisasi masyarakat Islam terbesar dan namanya sangat lekat di hati masyarakat. Muhammadiyah kiprahnya diakui masyarakat sangat besar jasanya. Muhammadiyah memiliki amal usaha yang tidak terhitung besarnya di bidang pendidikan, rumah sakit, panti asuhan dan bidang sosial lainnya. Di bidang pendidikan Muhammadiyah bahkan menapaki sampai ke luar negeri membuka perguruan tinggi.
Melihat jasa Muhammadiyah yang sangat besar tersebut, tidak salah kalau almarhum cendekiawan Islam Dr.Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi kaum modernis terbesar di dunia. Itu bisa dilihat dari besarnya semangat dan kiprahnya serta volume kegiatan dan amal usaha Muhammadiyah. ” Ini membuktikan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang cukup riel memberikan kontribusi kepada bangsa dan masyarakat, khususnya umat Islam,” ujarnya dalam buku Muhammadiyah dan Pemberdayaan Bangsa ( Ruhama Intergraf, 1995).
Muhammadiyah sejak awal didirikannya menunjukkan sifat kreatif sebagai ciri organisasi pembaharuan. Didirikan oleh Muhammad Darwis yang kemudian dikenal sebagai Ahmad Dahlan, mendirikan Muhammadiyah di Kampung Kauman, Yogyakarta, 8 Dzulhijjah 1330 H bertepatan 18 November 1912. Ahmad Dahlan dikenal karena mendirikan sekolah model Belanda, tapi memasukkan unsur dan nilai Islam di dalamnya.
Kemudian Dahlan yang juga ahli ilmu falak memperbaiki arah kiblat yang benar sesuai mengarah ke Ka’bah. Disinilah Ahmad Dahlan, meletakkan dasar -dasar kemajuan berpikir dalam pengamalan dan pemahaman nilai-nilai Islam. Karena itu Muhammadiyah dekat dengan kemajuan dan cara berfikir yang moderen. Dalam menentukan puasa Ramadhan dan 1 Syawal Muhammadiyah berpatokan pada hisab yang lebih dekat pada penggunaan ilmu pengetahuan. Demikian juga halnya, Muhammadiyah memiliki doktrin kembali pada Al-Quran dan Sunnah Rasul yang dikenal dengan pemurnian Islam. Hal ini karena dalam perjuangan dakwahnya Muhammadiyah berhadapan dengan praktek tahayul, bidah dan khurafat ( dulu disebut pemberantasan TBC, tahayul, bid’ah, churafat).
Peran Muhammadiyah ke Depan
Tokoh Nahdlatul Ulama almarhum Drs. Slamet Effendy Yusuf memberikan ilustrasi menarik mengenai NU dan Muhammadiyah. Menurutnya, Muhammadiyah berangkat dari sesuatu yang tidak ada kemudian menjadi ada. Sedangkan NU hanyalah mewadahi sesuatu yang sudah ada. Karena itu NU seringkali disebut sebagai pelestarian tradisi, pranata, dan amalan-amalan yang sebenarnya tanpa NU pun sudah ada.
Pernyataan Slamet Effendi di atas menunjukkan Muhammadiyah organisasi yang kreatif dan sarat dengan karya atau amal. Dengan karya dan amal ini Muhammadiyah menjadi eksis. Bila dilihat faktanya memang demikian. Pada zaman penjajahan Muhammadiyah berkarya dengan memodifikasi konsep pendidikan Belanda menjadi pendidikan Muhammadiyah dengan diberi warna Islam. Sedangkan setelah kemerdekaan , Muhammadiyah mendirikan rumah sakit, pendidikan, lembaga sosial dan lainnya. Artinya, Muhammadiyah di setiap waktu dan zaman menciptakan sesuatu peran baru yang memberikan banyak manfaat buat masyarakat.
Memang sekarang sering muncul pertanyaan dalam masyarakat, setelah Muhammadiyah berkembang menjadi organisasi dengan banyak amal usaha yang besar peran apalagikah yang bisa dilakukan Muhammadiyah?
Menurut Nurcholish Madjid, Muhammadiyah dalam menjalankan perannya sebaiknya mengambil peran yang luas dan besar. Misalnya, kalau Muhammadiyah menggunakan jargon kembali pada Al-Quran dan Sunnah, tetapi secara adhock yang dikembalikan tidak cukup hanya secara fiqh. Persoalan ini terlalu kecil kalau dibandingkan dengan jargon kembali pada Al-Quran dan Sunnah. Misalnya, masalah shalat tarawih itu masih menjadi bahan perbincangan. Padahal, kalau jargonnya kembali pada Al-Quran dan Sunnah bisa menyangkut wawasan yang luas atau menyangkut pandangan dunia ( world view) maupun tentang kemanusiaan. Nurcholish mencontohkan, Al-Quran misalnya sangat menghargai ketinggian derajat manusia seperti dikatakan dalam firman Allah, ” Laqod kholaqnal insaana fii ahsani taqwiim”. (Kami jadikan manusia sebaik-baik bentuk). Ini merupakan pandangan kemanusiaan yang tinggi dan universal. Dan pandangan ini mulai hilang di kalangan manusia dengan terjadinya perilaku yang merendahkan manusia baik yang bersifat kriminalitas, kekerasan, penindasan manusia atas manusia dan kejahatan kemanusiaan lainnya.
Sebenarnya apa yang dikatakan Cak Nur, masalah perbedaan antara NU dan Muhammadiyah menyangkut soal khilafiyah atau furu’iyah yang tajam, kebanyakan terjadi hanya di tingkat akar rumput. Pada tingkat elit, mereka bisa saling memahami. Tapi, di lapis bawah memang masih terjadi sikap saling fanatik dan menganggap pahamnya yang lebih benar. Misalnya, masjid saja ada yang dikelola oleh orang yang dekat dengan paham NU, misalnya itu terlihat dalam praktek shalat Jum’at dengan azan dua kali, khatib khutbah pakai tongkat, dan shalat subuh pakai qunut, menentukan Ramadhan dan Syawal pakai rukyat dan shalat tarawih 23 rakaat . Sedangkan masjid yang dilola dengan paham yang dekat dengan Muhammadiyah azan shalat Jum’at satu kali, shalat subuh tidak pakai qunut, tarawih 11 rakaat, dan menentukan Ramadhan menggunakan hisab. Padahal, semua ini bersifat khilafiyah dan furu’iyah.
Jadi apa yang dikemukan Nurcholish Madjid jargon atau doktrin Muhammadiyah kembali pada Al-Quran dan Sunnah harus diterjemahkan pada bidang yang lebih luas, dan kita tentu saja mengharapkan Muhammadiyah selalu bersikap dinamis dan kreatif, yang sebenarnya bila dipahami konteks kelahirannya oleh Ahmad Dahlan memang menonjol karakter kreatif dan inovatifnya.
Bila konteks peran dinamis Muhammadiyah yang kita harapkan saat ini dikaitkan dengan problem nasional yang dihadapi, kiprah Muhammadiyah akan bertemu dengan berbagai problem yang cukup serius. Tentu disitulah peran Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan yang memiliki reputasi yang cukup baik sangat diharapkan. Misalnya, di bidang ekonomi masih terdapat tingkat ketimpangan yang tinggi antara kelompok yang kaya dengan yang miskin. Baik jika dilihat tingkat penghasilan maupun penguasaan asset penting yang ada. Laporan Bank Dunia, misalnya, menyebutkan 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 50,3 persen kekayaan bangsa ini. Sisanya 50 persen diperebutkan oleh 99 persen penduduk. Lebih parah lagi, 74 persen tanah di pelosok Tanah Air hanya dikuasai penggunaanya oleh 0,2 persen penduduk (Prof. Dr. Hafid Abbas,Editor Ensiklopedi Pemikiran Yusril Ihza Mahendra, Jakarta, 2016). Kenyataan ini sangatlah jauh dari harapan cita-cita reformasi dan cita-cita kemerdekaan yang mendambakan terwujudnya kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat Indonesia.
Tentu masalah ekonomi adalah salah satu masalah saja yang dihadapi Indonesia, masalah lain yang memprihatinkan antara lain soal korupsi yang makin parah dan sulit teratasi, demikian juga soal penegakan hukum yang belum dirasakan keadilannya dan memuaskan semua masyarakat. Kemudian ada soal keterbelahan masyarakat akibat atau efek dari pilpres
Tentu masalah-masalah di atas dan masalah lainnya mungkin belum menjadi “domain” Muhammadiyah selama ini, yang core aktifitasnya lebih terfokus ke masalah pendidikan, kesehatan dan sosial.
Namun, dengan karakter dinamis dan kreatif Muhammadiyah selama ini, Muhammadiyah bisa melakukan peran kreatifnya melakukan upaya dan berkontribusi mengatasi masalah yang dihadapi bangsa. Peran itu bisa dilakukan dengan Muhammadiyah berusaha mempengaruhi kebijakan politik pemerintah, mengajukan konsep dan pemikiran yang diyakini bisa mengatasi masalah yang dihadapi bangsa, mencari jalan keluar atau solusi yang tepat. Untuk hal ini Muhammadiyah punya potensi karena kader maupun anggota dan warga Muhammadiyah adalah orang-orang terpelajar dan memiliki pendidikan moderen dengan penguasaan ilmu pengetahuan yang baik. Karena Muhammadiyah adalah organisasi yang nirpolitik atau tidak dibenarkan melakukan politik praktis, maka jalur mempengaruhi kebijakan politik nasional itulah celah yang bisa dilakukan. Apalagi banyak anggota Muhammadiyah juga terlibat di birokrasi, bahkan menjadi menteri, dan tiap penyusunan kabinet ormas Muhammadiyah selalu dipertimbangkan masuk dalam jajaran kabinet.
Saya kira “berpolitik” dari dalam dengan kekuatan konsep dan pemikiran itulah peran ke depan Muhammadiyah yang strategis dan aman.