Pada era reformasi saat ini kita melihat begitu tingginya hasrat masyarakat untuk menjadi politisi dan anggota DPR. Bukan hanya mereka yang murni aktivis partai yang berhasrat jadi anggota DPR, tetapi juga datang dari kalangan pengusaha, profesional, akademisi, artis dan banyak bidang lainnya. Kita tidak tahu secara persis apa motivasi yang mendorong mereka menjadi politisi. Berbagai macam nawaitunya tentu bisa saja yang menggerakkan mereka untuk berkiprah di partai dan parlemen.
Walau banyaknya orang menjadi politisi saat ini dan juga banyaknya partai yang ada, namun satu hal yang rasanya kurang mampu dilahirkan partai adalah melahirkan politisi negarawan. Atau, sebutlah politisi dengan karakter berjiwa besar, mengayomi, berfikir untuk rakyat dan kepentingan yang lebih luas, dan mampu menjalin persahabatan meski berbeda pemikiran dan baju partai.
Akhir-akhir ini kita melihat suatu ciri dari kurangnya sikap negarawan itu adalah munculnya sikap yang menonjolkan rasa tidak suka satu aktivis partai pada partai lainnya karena partai tersebut melakukan langkah yang dianggap berbeda dengan sikap dan kecenderungan partai yang memerintah. Ambilah contoh kasus Anies Baswedan yang dideklarasikan oleh Partai Nasdem sebagai calon presiden. Nasdem dikritik tidak loyal karena dianggap bagian dari koalisi pemerintah, lalu diprovokasi agar menteri yang berasal dari partai tersebut dipecat. Kemudian, sebagaimana muncul dan viral dalam berita, para elit partai tersebut kehilangan sikap persahabatan, menghindar untuk bersalaman dan menghindar pula untuk berangkulan sebagai simbol hubungan baik selama ini.
Selain itu, suatu hal juga yang membingungkan kita, bahwa aktivis partai sekarang ini juga sangat mudah untuk pindah-pindah partai. Seharusnya, pada waktu masuk ke partai bersangkutan, ia harus sudah mantap dengan visi, idealisme dan cita-cita partai tersebut.
Dalam negara demokrasi memang hanya melalui partai seseorang bisa menapaki kekuasaan dan mencapai puncak hingga menjadi presiden. Sejatinya, haruslah disadari bahwa mereka yang aktif di partai sebagai calon pemimpin pada semua level pemerintahan, karena itu mereka harus membudayakan memiliki sikap dengan kualitas moral dan integritas yang tinggi di hadapan rakyat.
Sebab, kalau mereka sudah menjadi presiden, menteri, gubernur, bupati dan wakil rakyat, harusnya mereka mewakili rakyat dan bangsa, mereka seharusnya merasa tidak mewakili partai, golongan maupun kekompok tertentu. Mereka harusnya berfikir untuk rakyat dan bangsa.
Saat ini masih kuat anggapan di kalangan politisi bahwa mereka bekerja untuk partai dan kelompoknya, targetnya yang utama adalah meraih kekuasaan, kepentingan diri sendiri, keluarga dan partai. Berfikir secara sekat-sekat inilah yang menyebabkan kelahiran kader politisi negarawan menjadi kecil dan tipis peluangnya
Sebab itu pengurus partai harusnya sudah mulai berpikir untuk melahirkan kader yang terbaik dengan standard untuk menjadi politisi negarawan, politisi yang tingkat intensitas, kedekatan dan kepeduliannya pada rakyat sangat tinggi. Jadi, sebagai politisi jangan hanya diukur semata berapa suara yang diraihnya di dapil pemilihannya. Sebab, kalau ukurannya semata hanya kemampuan meraih suara, itu bisa dilakukan dengan memberikan iming-iming materi dan janji kepada pemilih.
Politisi sekarang ini lebih menonjol melakukan pencitraan, terutama menjelang pemilihan umum dan saat kampanye politik dengan mendekati rakyat. Pencitraan adalah bisa dikatakan sebagai upaya “kamuflase” bahwa ia seolah-seolah politisi yang merakyat, padahal itu penampilan sementara untuk mendapatkan dukungan dan suara rakyat.
Beberapa kiat mungkin bisa dilakukan untuk melahirkan politisi negarawan. Pertama, bisa dilakukan bahwa mobilitas dan jenjang karir partai diupayakan mereka yang akan naik ke top pimpinan berasal dari politisi karir. Artinya, kader yang tumbuh dari bawah yang telah merintis sejak dari kecamatan, kabupaten hingga provinsi dan lainnya diutamakan untuk menduduki posisi penting apakah di partai atau untuk menjadi anggota DPR atau DPRD. Dengan kader yang tumbuh dari bawah mereka diharapkan memiliki kepekaan dan kepedulian pada rakyat, sebab mereka lebih dekat dan paham dengan persoalan rakyat.
Kedua, untuk kader partai yang bukan berasal dari politisi karir, artinya kader partai yang masuk berasal dari ormas, akademisi, kampus, pengusaha dan semacamnya, karena pertimbangan kepakarannya dan lainnya, dan langsung menduduki posisi penting di partai, mungkin masih diperlukan “pengkaderan” , sosialisasi dan penghayatan, sehingga mereka tertanam atau terpateri dalam dirinya bahwa menjadi politisi itu adalah memperjuangkan nasib dan kesejahteraan rakyat. Dan, kalau itu dihayati dengan baik maka tidak mustahil mereka menjadi politisi negarawan yang berjuang untuk rakyat.
Ketiga, ada baiknya setiap partai politik memberikan pendidikan politik kepada setiap anggotanya untuk menjelaskan pungsi, tugas dan peran seorang politisi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Jadi, seorang politisi jangan hanya ditanamkan bagaimana mendapatkan kekuasaan dan jabatan, juga jangan hanya sekedar mengincar kursi DPR di Senayan. Setelah itu dianggap selesai dan dinilai sukses. Sementara persoalan memperbaiki nasib rakyat telah dilupakan.
Kurangnya politisi yang berjiwa negarawan inilah yang kemungkinan DPR sering dinilai tidak peka dengan aspirasi rakyat. Misalnya, ada undang-undang yang merugikan rakyat bisa lolos di DPR. Dan, kita melihat maraknya muncul demo dan unjuk rasa atau sebutlah parlemen jalanan, bisa marak karena DPR dinilai tidak banyak berperan menyuarakan kepentingan rakyat, sehingga wadah untuk menyuarakan permasalahan yang dihadapi rakyat dilakukan dengan unjuk rasa.
Dan, kalau kita lihat di DPR itu ada yang disebut fraksi pemerintah, kalau mereka mayoritas, tentu ruang untuk mengkritik kebijakan yang tidak pro rakyat akan sulit dilakukan. Padahal, seharusnya DPR itu adalah fraksi rakyat, sebab mereka dipilih oleh rakyat untuk memperjuangkan nasib rakyat. Karena kondisi demikian, akhirnya, kehadiran politisi negarawan makin jauh dari harapan.