KH Choer Affandi biasa dipanggil Uwa Ajengan. Pendiri Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya juga dikenal penulis produktif. Kelahiran Ciamis, Jawa Barat, 23 September 1921 ini datang ke Manonjaya pada akhir tahun 1962. Tepatnya di daerah Cisitu, bersama putra pertamanya Abdul Fatah. Nama kecilnya Onng Husen.
Uwa Ajengan pernah belajar di Pondok Pesantren Legok Ringgit, Kecamatan Singaparna, yang didirikan KH Zaenal Mustofa. Ia juga belajar di Pondok Pesantren di Leuwisari Panis, Singaparna; Pondok Pesantren Gunung Puyuh Sukabumi; Pondok Pesantren Tipar, Babakan, Sukabumi; Pondok Pesantren Kalangsari Cijulang, Ciamis
Pada zaman kolonial Belanda, berkat jiwa patriotisme yang diperoleh saat di pondok pesantren, ia aktif memelopori gerakan “Hizbullah” melawan Belanda. Melihat kuatnya akidah dan jiwa patriotismenya, Belanda pun menaruh curiga kepada pondok pesantren yang dianggap membahayakan. Uwa Ajengan dan para ulama lainnya yang berjuang melawan Belanda, di antaranya: KH Zaenal Musthafa dari Sukamanah, KH Ilyas Ruhiyat dari Cipasung, KH Ahmad Faqih dari Kampung Kebon Kelapa di kecamatan Cibeureum.
Sebelum pindah ke Manonjaya, Tasikmalaya, Uwa Ajengan sempat mendirikan Pondok Pesantren Winasuka di kampung halamannya. Pesantren ini kurang berkembang, karena kerap mendapat gangguan dari pemerintah Kolonial Belanda. Kemudian ia mendapat angin segar dari tiga orang alumni pesantrennya, yaitu Abdul Manan, Abdurrosyid, dan Abad. Ketiganya mengundang Uwa Ajengan untuk tinggal di Manonjaya.
Uwa Ajengan menganggap daerah Manonjaya sangat strategis untuk membangun pondok pesantren. Letaknya di pertengahan antara tempat kelahirannya di Cigugur Ciamis, dan Kota Bandung. Sejak kepindahannya, Uwa Ajengan membaur dengan masyarakat sekitar dan sering dimintai nasihat serta doa.
Banyak masyarakat yang tertarik dengan ceramahnya, sehingga ia ditawari untuk mengisi pengajian secara rutin di daerah tersebut. Uwa Ajengan sering diundang oleh berbagai kelompok di masyarakat: Muhammadiyah, NU, dan Persis secara bergiliran, dan dalam acara lainnya. Ia juga mengisi pengajian bulanan di pondok pesantren pimpinan KH Udin di Ciherang, Awipari, Kecamatan Cibeuheum, Tasikmalaya. Pimpinan pondok pesantren ini masih sahabat Uwa Ajengan ketika belajar di Pondok Pesantren Sukamanah, pimpinan KH Zenal Mustafa. Begitu simpatiknya masyarakat Ciherang kepada Uwa Ajengan, kemudian mereka bergotongroyong membelikan rumah panggung untuk Uwa Ajengan.
Pada 7 Agustus 1967, Uwa Ajengan mendirikan Pondok Pesantren Miftahul Huda. Sepeninggal Uwa Ajengan, 26 November 1994, Pesantren Miftahul Huda dipimpin oleh KH Asep A. Maoshul Affandi (juga dikenal sebagai anggota DPR RI dari Fraksi PPP) Uwa Ajengan memiliki banyak karya tulis, yang sampai saat ini menjadi pedoman dan rujukan para pembina dan santri Pondok Pesantren Miftahul Huda. Hampir semua karyanya ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Sunda huruf Pegon, di antaranya: Mutiara Hikmah Jalan Pikeun Ngahontal Darajat Kawalian: Kumpulan Royadloh Di Pesantren Miftahul Huda, Pangajaran Aqaaidul Iman: Majmu’atu Al-A’qidati Fi I’lmi Al-Tauhidi: Majmu’atu Al-A’qidati Fi I’lmi Al-Tauhidi, Al-Juz Al-Tsani, diedit dan ditulis kembali oleh KH Asep Ahmad Maoshul Affandy, Qiyasan. Taudlih Tijan Al-Dary, Aqidah Islamiyyah.
Dan inilah beberapa kunci jika kita ingin sukses di dunia dan akhirat menurut Uwa Ajengan: 1. Salat awal waktu berjamaah; 2. Jangan berhenti mencari ilmu; 3. Jangan berhenti mencari teman; 4. Pertahankan akidah Ahlus Sunnah; 5. Kalau mau maju jangan berhenti berpikir dan harus mau capek; 6. Jangan tidak mau disebut bodoh; 7. Jangan tidak mau disebut lebih bawah (pangkat, usia, umur dll); 8. Segala yang terjadi pada diri kita adalah karena kita; 9. Obat hati ada di hati; 10. Tak ada yang sayang sama diri kita kecuali kita sendiril 11. Harga diri itu tergantung bagaimana diri; 12. Jika berhitung harus dimulai dari angka satu, jangan tiba-tiba maunya langsung angka sembilan; 13. Kalau membuat pondasi rumah jangan pikirkan dulu masalah gentengnya; 14. Walaupun tidak berlari tapi janganlah berhenti; 15. Sebesar-besarnya jalan syariat, jangan sampai mengurangi tawakal kepadqqa Allah SWT; 16. Jangan berjalan selagi mau, jangan diam selagi enggan. Tapi berjalanlah karena harus, dan harus berhenti karena larangan; 17. Jangan sampai melupakan Allah SWT dalam keadaan apa pun sedih, susah, senang; 18. Seribu teman terlalu sedikit, tapi satu musuh itu terlalu banyak