Ads
Bintang Zaman

Umar ibn Abdul Aziz (2): Khalifah Populis Pengkodifikasi Hadis

Avatar photo
Ditulis oleh Hamid Ahmad

Suatu ketika, sebagian gubernur mengeluh kepada Khalifah Umar ibn Abdul Aziz.  Mereka melapor, telah terjadi gelombang besar-besaran masuk Islam di kalangan orang-orang kafir dzimmi (yang dilindungi negara) di wilayah mereka. Eh, apanya yang salah? Penerimaan pajak (jizyah) yang dipungut dari kaum dzimmi merupakan sumber pendapatan pemerintah daerah yang paling besar, kata mereka. Jadi, kalau orang-orang kafir itu masuk Islam (yang berarti mereka tidak wajib lagi membayar jizyah) maka pemerintah akan rugi besar; pendapatan pemerintah berkurang banyak. Apa jawab Umar? “Allah mengutus Nabi Muhammad SAW untuk mendakwahkan Islam, bukan sebagai penarik pajak.” 

Segala tindak tanduk dan kebijaksanaan Umar itu tidak hanya bisa kita pandang sebagai pantulan kesalehannya, tetapi juga pembalikan orientasi negara secara radikal: dari semula lebih pada istana atau aparat menjadi seluruhnya pada rakyat. Keputusannya untuk membuka lebar-lebar istana buat kaum muslim yang ingin berkunjung padanya—tanpa harus minta izin dulu—dan melarang orang berdiri untuknya, barangkali cukup mewakili kebijaksanaan politiknya yang populis itu. 

Dia juga melakukan berbagai pembaruan yang ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Ketika ia ditunjuk sebagai khalifah, ketidakpuasan sedang marak di kalangan kaum mawali (muslim non-Arab). Umar lantas menghapus diskriminasi kepada mereka dan membebaskan mereka dari kewajiban membayar pajak. Ia pun mengurangi beban pajak buat kaum dzimmi serta mengikis maks (semacam cukai yang dikenakan kepada khafilah pedagang dari luar) dan kerja paksa. Selain itu, ia pun membuat aturan mengenai timbangan dan takaran, memerintahkan penggalian sumur-sumur, pembangunan jalan, penyediaan tempat penginapan bagi musafir dan santunan buat fakir miskin. Pendeknya, masa dua setengah tahun pemerintahannya telah menorehkan kenangan manis di kalangan rakyat. Selama masa itu, mereka menikmati kemakmuran dan merasa diri sebagai subjek yang diperhatikan. 

Masih ada pula perbedaan lain antara dia dan para pendahulunya: Umar  lebih melihat ke dalam (untuk kemakmuran rakyatnya), bukan pada perluasan wilayah. Untuk itu, bahkan, ia memerintahkan agar pengepungan Konstantinopel (Is-tanbul) dan penyerbuan ke Asia Kecil dihentikan. 

Tak punyakah dia perhatian kepada dakwah Islam? Bukan begitu. Dakwah Islam, baginya, tidak harus lewat jalan militer. Dakwah dengan cara lemah lembut justru lebih efektif. Nyatanya, sebagian gubernurnya pun sampai mengeluh karena banyak warga-nya dari kalangan kaum dzimmi yang masuk Islam. Konon, raja-raja di India banyak yang masuk Islam setelah menerima suratnya. Ia pun, kabarnya, berkirim surat ke raja-raja Asia Tengah dan sebagian dari mereka memenuhi ajakannya masuk Islam. Begitupun dengan orang-orang Barbar di Magribi, mereka berbondong-bondong masuk Islam berkat dakwah Ismail bin Abdullah setelah ia berhasil menguasai  negara-negara di kawasan itu dan surat yang dikirimkan Umar melalui Ismail. 

Umar memang beda. Seperti halnya Umar ibn Khattab, ia telah menggelar banyak inisiatif bahkan sebelum ia menjadi khalifah. Ketika Khalifah Walid ibn Abdul Malik menunjuknya sebagai gubernur Hijaz pada usianya yang 24 tahun, ia menggagas pembentukan dewan penasihat yang beranggotakan 10 ulama di Madinah, tempat ia berkedudukan. Dewan ini bertugas membantu dia memecahkan masalah-masalah agama, rakyat, dan pemerintahan. 

Umar lahir di Madinah pada 63 H (682 M). Ayahnya, Abdul Aziz, pernah menjadi gubernur Mesir selama beberapa tahun. Umar sendiri dibesarkan di Kota Madinah hingga ayahnya meninggal pada 85 H. (704 M). Ia kemudian dibawa pamannya, Khalifah Abdul Malik ibn Marwan, ke pusat pemerintahan Dinasti Umayah, Damaskus, dan dikawinkan dengan putrinya, Fatimah. 

Meski dibesarkan di tengah keluarga penguasa, Umar yang memperoleh pendidikan di Madinah—pusat pengetahuan Islam kala itu—justru tumbuh sebagai pemuda yang terkenal salih dengan visi wara’. Paman ibunya, Abdullah ibn Umar ibn Khattab, menjadi tokoh identifikasinya. Maklum, di masa kecil, ia kerap berkunjung ke rumah ulama yang wara’ itu. Setiap kali pulang dari sana, ia selalu menyatakan keinginannya untuk hidup seperti sang kakek. 

Umar memang lain. Bagaimana kemudian ia menapak tangga puncak kekuasaan juga terhitung luar biasa atau mukjizat. 

Ceritanya begini. Khalifah Sulaiman sebenarnya telah menetapkan anaknya, Ayyub, sebagai putra mahkota. Tetapi, apa lacur, Ayyub mendahului ayahnya menghadap Allah. Maka, tinggallah pilihan kepada anak-anaknya yang lain. Namun mereka terlalu kecil. Ketika sakit mulai menggerogoti tubuh Sulaiman dan ia, konon, meminta Wazir (perdana menteri) Raja’ ibn Haiwah untuk menghadirkan anak-anaknya, mereka tak cukup pantas menyandang pedang dan mengenakan pakaian kebesaran. 

Terpikirlah olehnya nama Umar. Dan manakala ia bertanya kepada Raja’ tentang siapa kiranya yang pantas menjadi penggantinya, sang perdana menteri juga menyebut nama Umar. Maka, ditetapkanlah  Umar sebagai calon khalifah setelah Sulaiman, dan Yazid ibn Malik ditunjuk sebagai pengganti Umar nanti. 

Begitu dilantik menjadi khalifah, setelah Sulaiman meninggal pada 99 H, Umar tetap berjalan lurus dan meneruskan obsesinya yang dia pelihara sejak kecil. Bahkan, ia memutuskan untuk menuntaskan cara hidup zuhud-nya dengan menjual lahan pertaniannya dan perhiasan milik istrinya untuk disumbangkan ke kas negara. Pernah, anak-anak perempuannya menangis karena mereka, sebagai putri khalifah, hanya mendapati kacang adas dan bawang merah untuk dimakan. “Wahai putri-putriku, apa manfaatnya kalian hidup penuh warna, tetapi kelak kalian berjalan menuju api neraka bersama ayah kalian?” begitu ia menanggapi tangis mereka. 

Umar juga meneruskan tradisinya dulu untuk berkonsultasi dengan ulama. Ia mengajak kerja sama para ulama besar pada zamannya semisal Hasan Al-Basri dan Sulaiman ibn Umar untuk dimintai fatwa dan nasihat. 

Umar juga menanggalkan politik kekerasan yang dijalankan para pendahulunya kepada musuh mereka. Ia tidak lagi mengejar-ngejar keturunan Ali ibn Abi Thalib dan Bani Hasyim serta bersikap lunak kepada kaum Khawarij. Gubernurnya di Hijaz disuruhnya agar tidak lagi memerangi kaum Khawarij, kecuali bila mereka menggelar kerusuhan dan melakukan pengrusakan. Bahkan, pemimpin Khawarij, Syauzab, dikiriminya surat dan dimintanya datang ke Damaskus untuk bertukar pikiran. Dengan manuver-manuver ini, Umar telah menjadi tokoh konsiliasi sehingga kepemimpinannya diakui semua pihak, termasuk kaum Syiah. Bahkan, kepemimpinannya juga terukir indah pada ingatan raja-raja Dinasti Abbasiyah yang datang belakangan, menggantikan Dinasti Umayah. 

Tak berhenti di situ. Ia pun mengayunkan langkah besar dengan menggagas kodifikasi (pembukuan) hadis, yang saat itu masih tercerai berai. “Periksalah apa yang ada dari hadis Rasulullah s.a.w. dan tulislah,” katanya dalam suratnya kepada penguasa madinah yang jugasalah seorang-tokoh terkemuka ahli hadis, Abu Bakar ibn Muhammad ibn Hazm. Surat ini ditulis pada 100 H. “Saya mengkhawatirkan punahnya ilmu karena meninggalnya para ulama.” Tak cuma kepada Abu Bakar, ia pun menulis surat serupa kepada seluruh gubernurnya. 

Atas perintah itu, Abu Bakar lantas melakukan pembukuan hadis. Begitu pula para gubernur; segera mereka memerintahkan pembukuan hadis kepada para ahli hadis yang ada di daerah mereka. Sayang, buku himpunan Abu Bakar, yang merupakan buku hadis pertama, tidak sampai pada kita sekarang. Begitupun dengan buku-buku hadis himpunan para ulama sezamannya, termasuk buku Al-Imam Muhammad ibn Muslim ibn Syihab Az-Zuhri yang menghimpun seluruh hadis yang ada di Madinah. Sementara buku himpunan hadis tertua yang masih terpelihara hingga kini adalah Al-Muwaththa’. Buku ini ditulis oleh Imarn Malik atas perintah Khalifah Al-Manshur ketika ia menunaikan ibadah haji pada 144 H (143 H). 

Meskipun demikian, pengaruh perintah Umar itu cukup dahsyat. Para ulama besar di berbagai provinsi, semenjak itu, seperti berlomba-lomba melakukan pembukuan hadis. Karena itulah masa pemerintahan Umar menandai awal dari periode keempat perkem-bangan hadis: kodifikasi. 

Sekali lagi, ia menyaingi kakek buyutnya, Umar ibn Khattab, orang yang pertama kali mengusulkan peng-himpunan Al-Quran kepada Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Memang betul, sebelum Umar ibn Abdul Aziz, banyak ulama yang telah melakukan penghimpunan hadis. Tetapi, cobalah bayangkan, seandainya hadis-hadis yang telah dihimpun itu tidak dibukukan dan dibiarkan teronggok pada ingatan atau catatan para ulama yang tercerai berai. Di sini, jasa Umar ibn Abdul Aziz di bidang agama dan ilmu sangat besar. Setidaknya, buat kita sekarang, perintah Umar itu telah membuka cakrawala yang memungkinkan terbitnya buku-buku himpunan hadis semacam Al-Muwaththa’ dan yang ditulis oleh para pendekar hadis lainnya. 

Tentang Penulis

Avatar photo

Hamid Ahmad

Redaktur Panji Masyarakat (1997-2001). Sebelumnya wartawan Harian Pelita dan Harian Republika. Kini penulis lepas dan tinggal di Pasuruan, Jawa Timur.

Tinggalkan Komentar Anda