Ads
Bintang Zaman

Umar ibn Abdul Aziz (1): Membangun Pemerintahan di Atas Dataran Hidayah

Avatar photo
Ditulis oleh Hamid Ahmad

Syahdan, Khalifah Umar ibn Abdul Aziz berkata kepada salah seorang pembantunya, 

“Saya berniat pergi haji. Apakah ada sesuatu padamu?” “Ada beberapa dinar, Amirul Mukminin,” jawab sang pembantu. 

“Ah, apa yang bisa saya perbuat dengan uang itu?” 

Beberapa waktu kemudian, pembantu tadi mengha-dap. “Amirul Mukminin, bersiaplah! Baru saja kami menerima 17.000 dinar dari Bani Marwan.” 

“Tidak,” jawab Sang Khalifah tegas. “Serahkan saja duit itu ke kas negara (baitul mal). Kalau uang itu halal, kita mengambil sebagian darinya, secukupnya buat kita. Kalau itu haram maka cukuplah apa yang telah kita lakukan secara benar padanya.”.

Dialog itu, bagi kita yang hidup pada zaman ini, sungguh tidak lazim. Di samping, perilaku penguasa yang demikian teramat jarang, sehari-hari, terutama melalui media massa, kita sudah terbiasa menyaksikan pameran, perlombaan, kemewahan, dan menganggapnya sebagai hal yang lumrah. 

Juga untuk zaman ketika Khalifah Umar ibn Abdul Aziz hidup. Maka tak heran jika Dr. Abul Hasan Ali Al-Hasni An-Nadwi menyebut fenomena khalifah Dinasti Bani Umayah yang satu ini sebagai mukjizat. Umar memang naik takhta ketika kekacauan, kemaksiatan, dan kelaliman merajalela di daulahnya. Orang-orang berlomba memamerkan kemewahan, termasuk kalangan pejabat dan keluarga kerajaan. Pada saat yang sama, tokoh-tokoh agama kehilangan peranan dan jumlah mereka makin berkurang. 

Konon, Dinasti Bani Umayah-lah yang mesti ber-tanggung jawab akan berbagai kemerosotan itu. Oposisi moral pun berkembang biak di kalangan ulama yang melihat khalifah dan para pembesar negeri lebih mengutamakan kepentingan politik dan kenikmatan duniawi dan cenderung mengabaikan ajaran-ajaran agama. Orang pun berpikir, selagi kekuasaan masih berada dalam geng-gaman Dinasti Bani Umayah; tidaklah mungkin melakukan pembalikan keadaan. Pada gilirannya, orang kehilangan pengharapan bahwa moralitas agama di kalangan muslimin bisa ditegakkan kembali. 

Mengganti rezim? Jelas tidak mungkin, begitu orang kala itu berpikir. Betapa tidak. Pemerintah Umayah ber-diri di atas dasar-dasar militerisme yang kokoh, sementara tidak ada kekuatan—baik di dalam maupun di luar negeri—yang bisa menandinginya. Betapa banyak sudah pemberontakan digelar oleh mereka yang ikhlas me-negakkan kebenaran, tetapi seluruhnya—termasuk oleh Abdullah ibn Zubair—berakhir dengan kerontokan. Pada akhirnya, demikian orang berpikir, hanya mukjizatlah yang bisa mengubah ini semua. 

Nyatanya, mukjizat yang diharapkan itu muncul jua melalui Umar ibn Abdul Aziz yang datang dari dalam tubuh rezim sendiri. Sebenarnya ia bukan sekadar mukjizat. “Dia adalah seorang mujaddid (pembaru),” tulis An-Nadwi. 

 Hadiah dan Suap

Umar, yang dikenal salih, tak cuma berhasil melawan sinar kemewahan yang menyedot setiap raja dan kerabat dinastinya, tetapi juga berjuang untuk mengikis gaya hidup hedonisme di kalangan istana dan pemerintahan. Dan untuk ini, ia berani melewati—bahkan kalau perlu—batas-batas doktrinal, melalui ijtihad, guna mencapai titik pusat roh Islam, sesuai dengan tuntutan waktu. Satu hal yang dulu pernah dilakukan secara brilian dan berani oleh kakek buyutnya dari garis ibu, Khalifah Umar ibn Khattab. 

Misalnya, kala itu sudah lumrah bahwa para pejabat menerima hadiah. Ini mereka lakukan.–:-setidaknya demikian motivasi mereka pada awal mulanya—untuk mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW Tetapi, mata Umar ibn Abdul Aziz yang jeli melihat hadiah-hadiah itu telah berubah fungsi dan. karena itu seluruh pejabat dilarang menerimanya. 

Suatu kali, Umar menolak hadiah yang disodorkan kepadanya. Seseorang menukas, “Bukankah Rasulullah SAW. mau menerima hadiah?” 

“Betul,” jawab Umar. “Itu untuk Rasulullah, tetapi buat kita (hadiah) itu adalah suap dan saya tidak mem-butuhkannya.” 

Umar, memang, adalah seorang penggebrak. Hal-hal pertama yang dilakukannya begitu menjadi khalifah adalah memecat para gubernur yang zalim dan korup serta menolak segala yang diperuntukkan baginya oleh petugas istana—apakah itu kuda-kuda kendaraan pengangkut barang serta kuda tunggangan yang bagus dan penuh hiasan ataupun tenda-tenda (sekarang mungkin bungalow). Ia memerintahkan semua itu dijual dan uangnya diserahkan ke kas negara. Ia pun menolak penobatan yang wah, sebagaimana biasanya diterima para khalifah. Dan setiap kali orang datang ke kantornya pada malam hari, ia akan bertanya lebih dulu, apa keperluannya: dinas atau pribadi. Kalau keperluannya pribadi, ia segera mematikan lampu yang minyaknya dibeli dengan uang kas negara. 

Pendeknya, ia menekankan bahwa uang rakyat mestinya dipakai hanya seperlunya saja dan hanya untuk kepentingan negara. Dan itu menjadi kebijaksanaan negara yang harus pula dituruti oleh para bawahannya. Sudah barang tentu dengan begitu dia memutuskan benang yang merentang panjang pada garis kebijaksanaan para khalifah Dinasti Umayah sebelumnya. Coba simak suratnya kepada penguasa Madinah, Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm. “Saya sudah membaca surat Anda kepada Sulaiman (khalifah sebelumnya) di mana Anda mengingatkan bahwa telah diputuskan buat para gubernur Madinah sebelum Anda (anggaran untuk) lampu begini begitu, yang dipakai ketika mereka keluar rumah,” tulisnya. “Saya jadi tergelitik untuk menjawab surat itu. Demi umur saya, wahai Ibn Ummi Hazm, saya tahu, Anda dulu biasa keluar rumah pada malam gelap gulita tanpa lampu sama sekali. Demi umur saya, Anda ketika itu masih lebih baik ketimbang Anda sekarang.”

Umar bukannya tidak mau memperhatikan kesejahteraan pegawainya. Justru sebaliknya. Untuk menjauhkan mereka dari setan korupsi, ia menganggarkan gaji yang cukup tinggi, yaitu 300 dinar untuk tiap gubernur, sementara dia sendiri tidak pernah mengeluarkan belanja keluarga lebih dari dua dirham setiap harinya. 

Adapun yang diinginkan Umar adalah menyambung benang yang putus, yakni benang yang telah mengikat kebijaksanaan Khulafaur Rasyidun (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali), yang roh Islam. Pendeknya, ia ingin membangun sebuah pemerintahan di atas dataran hidayah. Dan salah satu aksesori yang memperindah bangunan itu adalah sikap suka berkorban dan berderma untuk kemaslahatan umat. Untuk ini, ia memulai dari dirinya dan keluarganya sendiri: ia mewakafkan harta dan ladangnya sebagai harta kaum muslimin dan mendermakan perhiasan istrinya kepada kas negara. 

Bersambung

Tentang Penulis

Avatar photo

Hamid Ahmad

Redaktur Panji Masyarakat (1997-2001). Sebelumnya wartawan Harian Pelita dan Harian Republika. Kini penulis lepas dan tinggal di Pasuruan, Jawa Timur.

Tinggalkan Komentar Anda