Ads
Cakrawala

Dakwah Tanpa Suara, Jejak Langkah M. Yunan Nasution

Avatar photo
Ditulis oleh Fuad Nasar

M. Yunan Nasution (1913 – 1996) adalah seorang tokoh pergerakan umat dan mujahid dakwah yang meninggalkan jejak berkesan dalam perjalanan dakwah islamiyah di negara kesatuan Republik Indonesia. Perjuangan dakwah Yunan Nasution bahkan terentang sejak zaman penjajahan Hindia Belanda dan invasi pendudukan Jepang. Pengalaman dari tiga zaman membentuknya menjadi pemimpin yang tangguh dan matang dalam sikap, ucapan dan tindakan. 

Yunan Nasution merupakan salah seorang perintis pers Islam Indonesia. Sejak sebelum kemerdekaan ia terlibat aktif dalam penerbitan majalah dan surat kabar serta menekuni profesi jurnalis dengan tulisan-tulisan yang berbobot dan mempunyai nilai sastra. Soebagijo I.N. dalam buku Jagat Wartawan Indonesia (PT. Gunung Agung, 1981) mencatat Mohammad Yunan Nasution lahir pada 22 Nopember 1913 di Kampung Botung, Kotanopan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Semasa mudanya menempuh pendidikan di Minangkabau (Sumatera Barat), yaitu Sekolah Thawalib Parabek Bukittinggi dan Sekolah Menengah Islam Bukittinggi di bawah pimpinan H. Muchtar Lutfi. Di Bukittinggi Yunan masuk dalam gerakan kepanduan Sarekat Islam Afdeling Pandu. Selain itu menjadi Ketua Pemuda Muslimin Indonesia Cabang Bukittinggi. 

Semasa muda ia pernah terkena “delik pers” karena tulisannya yang tajam mengkritik pemerintah kolonial Hindia Belanda hingga menyebabkannya masuk penjara. Pengalaman perjuangan Yunan Nasution membenarkan apa yang diungkapkan Hussein Umar bahwa perjalanan panjang bangsa ini merebut kemerdekaan sesungguhnya adalah tapak sejarah perjalanan dakwah. 

Sekitar 1935 Yunan Nasution memimpin majalah Pedoman Masyarakat di Medan dan diteruskan oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Pedoman Masyarakat dikenal sebagai majalah Islam terbesar dengan oplaag mencapai 4.500 setiap terbit. Untuk menghindari “ranjau-ranjau pers” masa itu Yunan Nasution mengisi rubrik pada Pedoman Masyarakat menggunakan nama samaran. Ia menulis rubrik Soal-Soal Tanah Air, Pergolakan Luar Negeri, Kritik dan Komentar, dan Pojok Keramat. Buah pena Yunan Nasution memikat pembaca dan pelanggan setia majalah tersebut. Tahun 1943 Yunan Nasution dan Hamka menerbitkan Semangat Islam pengganti Pedoman Masyarakat yang berhenti terbit ketika masuknya balatentara Jepang. Di awal kemerdekaan, ia menerbitkan dan memimpin surat kabar Islam Berjuang.

 Di zaman penjajahan dan revolusi kemerdekaan Yunan Nasution berjuang untuk kemerdekaan Indonesia di Sumatera Barat dan Tapanuli. Pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili wilayah Sumatera. Semasa revolusi kemerdekaan Yunan Nasution menjadi anggota Badan Eksekutif Karesidenan Sumatera Timur hingga diubah menjadi Badan Eksekutif Pemerintahan Sumatera Utara berkedudukan di Kutaraja (Banda Aceh). 

Setelah hijrah ke ibukota Jakarta, Yunan Nasution menjadi anggota DPR-RIS dan DPR-RI (1950-1959) mewakili Masyumi. Bersama Zainal Abidin Ahmad dan Suardi Tasrif, ia mendirikan Harian Abadi yang berhenti terbit tahun 1960. Setelah Orde Baru, Yunan Nasution kembali menjadi Ketua Dewan Redaksi Harian Abadi yang diizinkan terbit pada 1970 hingga 1974.

Sebagai organisator Yunan Nasution pernah menjadi Konsul Muhammadiyah Sumatera Timur dan Ketua Muhammadiyah Cabang Medan, di masa sebelum kemerdekaan. Pada 1956 Yunan Nasution terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Partai Masyumi di bawah kepemimpinan Mohammad Natsir. Ia sebelumnya Ketua Masyumi Wilayah Jakarta Raya. Yunan Nasution merupakan Sekretaris Umum (Sekjen) Masyumi “terakhir” di bawah pimpinan Ketua Umum Prawoto Mangkusasmito. 

Menjelang pembubaran Masyumi berdasarkan Keputusan Presiden RI No 200/Tahun 1960 tertanggal 17 Agustus 1960, selaku Sekjen Masyumi, Yunan Nasution bersama pimpinan Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yaitu Prawoto Mangkusasmito, Sutan Sjahrir, Subadio Sastrosatomo dan T.A. Murad menemui Presiden Soekarno dan Penguasa Perang Tertinggi (Peperti). Mereka diterima oleh Presiden Soekarno di Istana Merdeka dan berkesempatan dialog untuk meng-clear-kan tuduhan ketidakterlibatan Masyumi dan PSI dalam pergolakan PRRI/Permesta di Sumatera Barat. Pemerintah tetap pada keputusan pembubaran Masyumi dan PSI, dua partai politik yang terang-terangan anti Komunisme/PKI di era Demokrasi Terpimpin.  

Setelah pergantian pemerintahan, Yunan Nasution dan kawan-kawan yang secita-cita dan seorientasi selanjutnya berjuang untuk kemaslahatan umat dan bangsa melalui jalur dakwah dengan mendirikan yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di bawah pimpinan Mohammad Natsir. Yunan Nasution memimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Perwakilan Jakarta Raya. Setelah wafat Mohammad Natsir tahun 1993, Yunan Nasution, Prof. Dr. H.M. Rasjidi, K.H.M. Rusjad Nurdin, dan Dr. H. Anwar Harjono, SH diamanahi sebagai presidium Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Pusat.

Peran DDII dalam membina umat dijelaskan dalam wawancara majalah Panji Masjarakat No 64 TH IV, Radjab 1390 H- September 1970 M dengan Yunan Nasution. “Di Jakarta sudah ada lembaga-lembaga dakwah. Dewan Dakwah sebenarnya hanya turut mengkoordinir kegiatan-kegiatan mereka. Memberikan bantuan berupa buku-buku dan brosur-brosur untuk peningkatan materi dakwah. Juga dengan kerjasama antara Dewan Dakwah dengan lembaga kesehatan mubaligh di Jakarta mendirikan berpuluh poliklinik di bawah pengawasan dokter-dokter  alumni HMI. Meningkatkan mutu para mubaligh dan khatib juga termasuk tugas Dewan Dakwah. Jika para mubaligh dan khatib kurang menguasai materi yang akan disampaikan dan kurang menyadari sasaran seruan dakwahnya, serta kurang membaca, akibatnya dakwah kurang membawa efek positif bagi pendengarnya.” tutur Yunan Nasution.  

Dewan Dakwah dilukiskan ibarat sistem kerja mesin Dissel, memancarkan sinar pada seluruh penjuru dengan tidak usah suara gemuruhnya kedengaran pada semua tempat yang disinarinya. Kalau perlu sumber cahaya itu akan ditanam dalam tanah biar tak kelihatan ramai.  Menurut Yunan Nasution, “Kita langsung tunjukkan pada umat amal yang konkrit. Dakwah tidak selamanya dilakukan hanya dengan pidato. Tanpa suara pun dakwah tetap berjalan.”

Anwar Harjono dalam Catatan Perjuangan H.M. Yunan Nasution (Pustaka Panjimas, 1985) mengemukakan kegiatan Yunan Nasution dalam mengisi lembaran hidupnya hingga  usia 70 tahun saat itu, meliputi tiga bidang yaitu: (1) bidang tulis-menulis atau karang-mengarang, (2) bidang pergerakan, kenegaraan/politik. (3) bidang keulamaan.

Dalam dekade 1980-an Yunan Nasution aktif dalam kepengurusan YPI Al-Azhar, Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Selaku Pimpinan YPI Al-Azhar, Yunan Nasution membangun komunikasi yang efektif dan dekat dengan anak-anak muda aktivis Youth Islamic Study Club (YISC) Al Azhar.  

Sejak masa SMA saya menyimak tulisan-tulisan dan mendengar Kuliah Subuh Yunan Nasution di RRI Jakarta. Dalam berbagai kesempatan ia mengingatkan umat Islam Indonesia agar memperkuat ukhuwah islamiyah dan membangun solidaritas sosial serta menghindari perpecahan umat. Perilaku sebagian umat Islam setelah tidak ada ”musuh bersama”, lantas mencari musuh di kalangan sendiri. Menurut Yunan Nasution, akidah Islamiyah harus dipegang teguh sebagai landasan perjuangan. Bicara masalah ketahanan nasional, ia menandaskan bahwa ketahanan rohaniah merupakan landasan bagi terwujudnya ketahanan nasional yang didambakan itu. 

Selaku tokoh dakwah yang kaya dengan pengalaman, Yunan Nasution memiliki komitmen paripurna pada kepentingan Islam dan kaum Muslimin, melindungi kepentingan negara dan bangsa. Sebagai penulis yang produktif, puluhan buku dan ribuan artikel dihasilkannya. Menurut putranya, Nazaruddin Nasution, ayahnya menulis setiap habis shalat subuh, satu artikel satu hari. 

Mulai 1974 Yunan Nasution aktif sebagai Dewan Redaksi dan kemudian Pemimpin Majalah Suara Masjid yang diterbitkan oleh Yayasan Al-Hilal Ikatan Masjid Indonesia (IKMI) Jalan Kramat Raya 45 Jakarta. Ia mengisi rubrik “Editorial” majalah Suara Masjid setiap edisi. Di samping itu, sebagai pembantu ahli majalah Panji Masyarakat, Yunan Nasution sesekali mengisi rubrik “Dari Hati Ke Hati” yang sebelumnya diisi oleh Pemimpin Umum Panji Masyarakat Buya Hamka ketika masih hidup.    

Selama beberapa dekade sejak 1970-an sampai 1990-an Yunan Nasution aktif menulis untuk Buletin Dakwah terbitan DDII Perwakilan Jakarta Raya. Buletin Dakwah merupakan pelopor “buletin jumat” di Indonesia. Peredarannya tidak hanya di Jakarta, tetapi didistribusikan secara berlangganan di masjid-masjid pada berbagai kota seluruh Indonesia. Buletin Dakwah menyajikan “bunga rampai ajaran Islam” yang disajikan oleh para tokoh ulama dan cendekiawan secara ilmiah populer dan mudah dipahami oleh kalangan pembaca awam. Peredaran Buletin Dakwah dengan desain dan warna kertasnya yang khas terbit setiap hari Jumat sebanyak dua lembar (4 halaman). Kehadiran buletin dan juga buku seri Khutbah Jumat karya Yunan Nasution sangat bermanfaat, terutama bagi para da’i dan mubaligh sampai ke pelosok daerah terpencil di Tanah Air dan masyarakat pembaca pada umumnya.   

`    Pendekatan dakwah Yunan Nasution bersifat persuasif dan edukatif agar umat memahami dan melaksanakan ajaran Islam secara utuh dan komprehensif serta menjaga kerukunan antarberbagai kelompok dan golongan. Karena itu ia tidak pernah mengangkat atau mempertentangkan persoalan khilafiyah dalam tulisan-tulisannya. Sebagai seorang generalis dalam ilmu-ilmu keislaman, ia mengupas hampir semua segi ajaran Islam dalam tulisan atau ceramah dan khutbah, seperti  soal akidah, ibadah (shalat, zakat, puasa, haji), akhlak, hukum, sejarah, pendidikan, politik, sosial-ekonomi, keluarga, pembinaan generasi muda, amanat sejarah umat Islam, hak asasi manusia (HAM) dan sebagainya. Problema aktual yang tumbuh dan berkembang di masyarakat ditanggapinya dari sudut pandang ajaran Islam melalui bahasa dakwah yang mencerahkan dan tidak memprovokasi. Metode dakwah dengan cara bil hikmah, mau’idzah hasanah dan mujadalah billati hiya ahsan, senantiasa mewarnai tulisan dan pesan-pesan dakwah Yunan Nasution. 

Semenjak 1970-an, ia mengingatkan umat Islam bahwa tidak cukup hanya berdakwah dari mimbar masjid saja. Umat Islam perlu mengembangkan metode yang dilukiskannya sebagai “dakwah tanpa suara”, artinya berdakwah melalui tulisan dan perbuatan atau da’wah bilhal. Seandainya di masa itu telah lahir era digital, maka tentu Yunan Nasution akan mendorong para da’i dan mubaligh memanfaatkan media digital dan media sosial untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah Islamiyah. 

Berdakwah tanpa suara, istilah Yunan Nasution, sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan taraf hidup umat Islam agar terbebas dari keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan. 

Dakwah bijak dan santun Yunan Nasution yang dilandasi kedalaman berpikir dan keteguhan memegang prinsip menjadi panutan lintas generasi. Kepiawaian mengemukakan pikiran secara lisan dan tulisan dengan tenang saat merespon berbagai isu nasional terkait dengan kepentingan umat menunjukkan kualitas sebagai ulama pemimpin umat. Hal itu kita temukan antara lain pada sosok Yunan Nasution.

Cukup banyak tulisan Yunan Nasution mengupas tema Islam dan pemecahan isu-isu sosial-kemasyarakatan dan kemanusiaan. Dalam Editorial majalah Suara Masjid (Juli 1984) ia mengetengahkan nilai humanis dalam ajaran zakat. Menurutnya, memasyarakatkan dan meningkatkan gairah umat untuk menunaikan zakat merupakan bagian dari usaha membina umat yang dipertalikan oleh semangat persaudaraan (ukhuwah), solidaritas sosial (takafulul ijtima’i) dan mewujudkan kehidupan yang dipaterikan dengan semangat marhamah, saling cinta-mencintai di antara sesama umat.    

Pikiran, gagasan dan pesan dakwah Yunan Nasution dimuat di sejumlah media terutama Kiblat, Panji Masyarakat, Suara Masjid, dan Buletin Dakwah sampai dekade 90-an. Sebagai orang yang memiliki kepribadian perjuangan ia tidak mengenal lelah dalam menorehkan bakti untuk umat dan bangsa sampai batas kesehatannya betul-betul tidak memungkinkan untuk melakukan aktivitas karena usia lanjut atau mengutip kosa kata Minang yang beliau gunakan; telah laruik sanjo.   

Saya tiga kali berjumpa dengan Pak Yunan semasa hidupnya. Perjumpaan terakhir sempat berbincang singkat sehabis shalat Jumat di Masjid Al Furqan DDII, Kramat Raya 45 Jakarta, tahun 1994.  Yunan Nasution adalah tokoh umat yang patut dicontoh, terlebih di zaman yang langka keteladanan otentik. Dalam tulisan dan pidato ia mengingatkan risiko pribadi yang bersikap plin-plan, terombang-ambing tidak punya pendirian, dan analogi tukang pancing dilarikan ikan. Pada saat memberi ulasan hikmah Hari Raya Idul Fitri/Idul Adha dan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI, dua sikap mental yang diperlukan dan sering disampaikan oleh Yunan Nasution yaitu sikap tasyakkur kepada Allah SWT dan tafakkur berkenaan dengan kondisi yang ada di sekeliling kita.

Sewaktu menghadiri pemakaman jenazah almarhum Bapak Anwar Harjono tanggal 16 Februari 1999 di TPU Tanah Kusir, saya mendengar cerita salah satu pengurus Dewan Dakwah tentang kondisi kesehatan Pak Yunan Nasution saat itu yang sudah ‘udzur, namun pikiran dan ingatannya masih tajam. Sebuah buku karyanya di awal kemerdekaan tentang kehidupan dan perjuangan seorang tokoh besar nasional, ditawarkan mau dicetak ulang, sementara tokoh tersebut dalam sepak terjang politik dan perjalanan hidupnya telah bergeser jauh dari prinsip perjuangan semula. Pak Yunan mengatakan, “Jangan diterbitkan lagi. Dia telah berubah, isi buku saya juga berubah.” 

Yunan Nasution menghembuskan napas terakhir di Jakarta 29 November 1996. Ia wafat dalam usia 83 tahun. Jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir Jakarta Selatan. 

Sebagai ulama dan pengarang Yunan Nasution menulis sejumlah buku, antara lain: 

  • Dinamika Hidup
  • Seni Bergaul
  • Muhammad Rasulullah Anak Yatim Pemimpin Dunia
  • Pedoman Khutbah
  • Khutbah Jum’at (7 jilid)
  • Pegangan Hidup (4 jilid)
  • Kenang-Kenangan Di Belakang Terali Besi Di Zaman ORLA
  • Muhammad Rasulullah 
  • Nilai-Nilai Ibadah Puasa
  • Zakat dan Infak
  • Islam dan Problema-Problema Kemasyarakatan
  • Himpunan Khutbah Iedul Fithri dan Iedul Adha. 
  • serta puluhan buku kecil mengupas beragam topik agama/bimbingan rohani dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. 

Biografi 70 Tahun H.M. Yunan Nasution yang disusun oleh Badruzzaman Busjairi berjudul Catatan Perjuangan H.M. Yunan Nasution (Pustaka Panjimas, 1985) dicetak ulang dalam rangka memperingati 100 Tahun tokoh senior gerakan dakwah itu. Mengingat banyaknya karya-karya beliau yang bertebaran di majalah dan buku-buku, tentu sangat baik sekira ada pihak atau lembaga yang memprakarsai “Ensiklopedia Pemikiran Dakwah M. Yunan Nasution”.

Pada 28 Desember 2013 diselenggarakan acara “Refleksi 100 Tahun H.M.Yunan Nasution Berdakwah dengan Pena, Kata-Kata dan Perbuatan”. Kegiatan tersebut diprakarsai oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia bersama Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar. Nilai-nilai keteladanan Yunan Nasution yang selalu yakin dan gigih tak kenal menyerah untuk perjuangan umat layak dicontoh oleh generasi muda. 

Dalam refleksi 100 tahun M. Yunan Nasution saat itu digelar acara dialog dengan keynote speaker Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Tifatul Sembiring. Hadir sebagai pembicara politisi senior Akbar Tanjung, cendekiawan dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Ash Shiddiqi, dan K.H. Abd Rasyid Abdullah Syafi’i, dengan moderator Lukman Hakiem. Dalam acara refleksi tentang perjuangan dan pemikiran Pak Yunan yang diketuai Mohammad Noer itu, testimoni tentang sosok M. Yunan Nasution disampaikan oleh M. Yunan Yusuf (PP Muhammadiyah), Taufik Abdullah (sejarawan), dan Taufiq Ismail (budayawan). Sambutan atas nama keluarga disampaikan oleh putra Yunan Nasution yaitu Nazaruddin Nasution (mantan Duta Besar RI). 

Hadirin yang memenuhi Aula Buya Hamka Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan, di antaranya tampak mantan Wakil Ketua MPR Prof. Jusuf Amir Faisal, senator A.M. Fatwa, Dawam Rahardjo (pakar ekonomi), Sulastomo (mantan Ketua Umum PB HMI), Anwar Nasution (mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia), Abdulrahman Saleh (mantan jaksa Agung), Ramlan Mardjoned (aktivis DDII) dan ratusan hadirin lainnya, termasuk kalangan generasi muda dan mahasiswa. Acara ditutup dengan doa yang dipimpin oleh Ustadz H. Mas’adi Sulthani. 

Saya bersyukur pada hari itu dapat hadir dalam acara Refleksi 100 Tahun M. Yunan Nasution, setiba saya di Jakarta dari Medan usai menghadiri Rapat Koordinasi Daerah BAZNAS se-Provinsi Sumatera Utara. Dalam rangkaian tasyakuran tersebut dipamerkan foto-foto dokumenter perjuangan dan pengabdian Yunan Nasution semasa hidupnya.     

Tentang Penulis

Avatar photo

Fuad Nasar

Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama di lingkungan Kementerian Agama RI, pernah menjabat Sesditjen Bimas Islam.

Tinggalkan Komentar Anda