Ads
Cakrawala

Dunia Medsos yang Mengguncang Emosi Sosial

selective focus photography of person holding turned on smartphone
Avatar photo
Ditulis oleh Arfendi Arif

Hidup di era medsos atau media sosial tampaknya dituntut untuk mampu bersikap dan memiliki mental yang matang dan dewasa. Tidak gampang terpengaruh dan terbawa emosi ketika membaca sebuah peristiwa. Dalam beberapa minggu terakhir kita disuguhkan berita yang membuat emosi dan perasaan kita teraduk-aduk, dimana rasa simpati, sedih dan kemarahan bisa timbul tenggelam.

Salah satu peristiwa yang membuat nitizen dan audiens teraduk-aduk emosinya  adalah kasus kekerasan rumah tangga (KDRT) yang dialami kehidupan artis Lesti Kejora dan Rizky Billar.

Banyak masyarakat yang ikut bersedih ketika membaca Lesti Kejora yang diduga mendapat perlakuan teramat kasar dari suaminya Rizky Billar. Ia diberitakan sempat mengalami penderitaan yang berat dianiya seperti dipukul, dicekik bahkan dibanting hingga mengalami cedera berat.

Ketika Lesti membuat laporan ke polisi atas tindakan KDRT tersebut, suaminya sempat dijadikan tersangka dan ditahan dengan memakai baju orange. Masyarakat berharap Rizky Billar mendapat hukuman setimpal sesuai kejahatan yang dilakukannya. Namun, sayangnya saat masyarakat berharap pelaku KDRT itu  bisa disidangkan di pengadilan, tiba-tiba Lesti mencabut laporannya, dan ini akhirnya berujung jalan damai dan Rizky Billar bebas dari tuntutan hukum dan tidak jadi  mendekam di bui.

Banyak masyarakat yang kecewa dengan apa yang dilakukan Lesti. Sudah masalahnya hampir tiap hari diungkap di media yang menceritakan penderitaannya karena KDRT, tapi ketika suaminya di meja hijaukan, ia malah mencabut laporannya. Jadi, Lesti melakukan 2 hal sekaligus,  melaporkan suaminya ke polisi dan sekaligus pula mencabut laporannya  ke polisi, saat suaminya sudah menjadi tersangka.  Tentu Lesti punya pertimbangan khusus yang sudah dipikir secara masak, namun tidak urung sikapnya yang mencabut laporannya ke polisi telah menimbulkan ” histeria” di masyarakat. Masyarakat pada akhirnya membaca kasus ini secara beragam dengan tafsir yang beragam pula,  bahkan ada yang menganggap Lesti telah melakukan prank terhadap polisi dan masyarakat.

Kasus Lesti adalah situasi yang menggambarkan betapa media sosial sekarang ini bisa membuat orang intens mengikuti suatu peristiwa, namun juga sekaligus bisa terlibat secara emosional dengan kemungkinan munculnya sikap simpati dan antipati.

Bukan hanya pada kasus Lesti, pada kasus lainnya masyarakat juga terlihat aktif dan  terlibat, dan kadang bukan lagi sebagai orang yang berada di luar, tapi sudah menjadi bagian dari peristiwa tersebut.

Pada kasus yang bersifat politik, misalnya, masyarakat juga bingung. Ketika Anies Baswedan dideklarasikan sebagai capres oleh Partai Nasdem. Berbagai reaksi muncul serentak, terutama yang mengecam dengan berbagai alasan, padahal ini jelas peristiwa politik dan demokrasi biasa. Bahkan, ada upaya dan dugaan untuk menjegal Anies Baswedan dengan berusaha menjadikannya sebagai tersangka. Ini juga jelas mengaduk-aduk emosi publik dan munculnya kemungkinan anggapan yang bermacam -macam baik terhadap Anies Baswedan maupun Partai Nasdem. Yang terakhir ini misalnya dianggap tidak setia dengan koalisi pemerintah. Politik dalam hubungannya dengan medsos ini jelas makin memecah integrasi sosial publik dengan selalu menimbulkan keterbelahan dalam masyarakat. Dan, ini merupakan dampak yang ditimbulkan oleh makin akrabnya masyarakat dengan medsos yang tidak henti mendapat suplai berita.

Kasus Kanjuruhan yang menimbulkan korban 714 suporter sepakbola saat Persebaya lawan Arema, sebanyak 131 tewas dan 583 luka-luka adalah juga peristiwa yang menimbulkan keprihatinan publik Indonesia. Lebih lagi kemudian timbul polemik siapa yang bersalah munculnya musibah ini. Penonton yang masuk lapangankah atau gas air mata yang ditembakkan polisi. Semua peristiwa ini menimbulkan tanda tanya bagi publik, begitu mudahnya nyawa melayang dan sulitnya menentukan siapa yang bertanggung jawab dibalik peristiwa naas ini.

Indonesia ke depan akan banyak “,diguncang” dan ” dikejutkan” oleh berbagai peristiwa di era medsos ini. Baik peristiwa faktual yang terjadi di bidang politik, ekonomi, hukum dan lainnya. Peristiwa tersebut akan membuat masyarakat “guncang batinnya” karena dinilai mustahil terjadi, namun nyata. Siapa yang membayangkan kalau penegak hukum berbisnis narkoba, siapa mengira kalau petinggi polisi menembak mati bawahannya, dan siapa mengira kalau seorang polisi aktif di Luwu mencorat coret kantor dan institusinya : Sarang korupsi dan Sarang Pungli. Dan, siapa mengira kalau ada orang membuat video dengan konten palsu dan rekayasa.

Di bidang politik orang tidak segan-segan membuat foto setingan untuk menjelek-jelekan seseorang yang tidak disukainya dan dianggap musuhnya. Seorang pegiat sosial begitu ringannya menghina ustadzah, menjelek-jelekkan pesantren dan membully ulama.

Begitulah dunia medsos yang akan menguasai opini dan pendapat publik ke depan. Masyarakat kita tidak akan bisa lagi dipisahkan dari dunia informasi yang makin banjir dan melimpah. Jika masyarakat tidak memiliki filter dan penyaring jnformasi yang masuk secara cerdas, maka kehidupan sosial dan nasional kita akan berantakan, porak poranda dan menjurus anomali.  Seperti sekarang ini yang makin  terlihat gejala dan sinyalnya. Mari kita biasakan menapis setiap informasi yang masuk ke tangan dan gawai kita.

Tentang Penulis

Avatar photo

Arfendi Arif

Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten

Tinggalkan Komentar Anda