Ads
Tafsir

Membabat Riwayat Israiliat (2)

abstract painting
Ditulis oleh Panji Masyarakat

Riwayat yang diwarisi dari Nabi, para sahabat beliau dan para ulama tabiin (generasi di belakang sahabat) yang berhubungan dengan penafsiran Qur’an, kata Rasyid Ridha, ada yang bersifat dharuri alias mutlak dipegang. Karena hadis yang sahib dari Nabi tidak bisa diatasi apa pun.

Namun yang benar-benar sahih dari jenis itu sebenarnya sedikit. Kebanyakan tafsir ma’tsur (yang bersandar pada riwayat) cenderung kepada para perawi dari kalangan zindiq (gerpol) Yahudi, Iran, dan para ahli kitab yang masuk Islam, seperti disebut Al-Hafizh Ibnu Katsir.

Riwayat-riwayat mereka itu kemudian muncul dalam kisah-kisah para rasul dan kaum masing-masing: dalam cerita para Penghuni Gua (Ashhabul Khaf) kisah Kota Iram yang punya bangunan-bangunan tinggi, kisah sihir Babilonia, dan dalam berbagal ihwal gaib sekitar kiamat. Maka lahirlah berbagal khurafat dan cerita bikin-bikinan yang dibenarkan para rawi, bahkan sebagian sahabat r.a. Dan itu adalah hal-hal yang, menurut Ibn Taimiah, sebenarnya tidak berfaedah dan tidak kita butuhkan pengetahuannya. Seperti perselisihan mereka mengenai warna anjing para Penghuni Gua, atau bagian mana dari tubuh sapi yang dipukulkan ke badan orang yang dibunuh (dalam riwayat umat Nabi Musa) atau ukuran perahu Nabi Nuh dan jenis kayunya, atau nama bocah yang dibunuh Khadhir.

Karena itu, yang dinukil dengan sahih dari Nabi s.a.w. diterima. Sementara yang tidak, yang diambil dari ahli kitab sebangsa Ka’bul Ahbar dan Wahb ibn Munabbih, tidak kita benarkan atau salahkan karena adanya sabda Nabi, “Bila ahli kitab bertutur kepadamu, jangan kamu benarkan dan jangan kamu salahkan.”

Adapun yang hanya diketahui dengan asumsi, bukan lewat penukilan, inilah yang mengandung banyak kesalahan dari dua segi. Pertama, mereka membawa lafal Al-Qur’an ke makna yang sudah mereka yakini sebelumnya. Itu bisa kita beri contoh dengan cara orang Syiah menafsirkan Qur’an, yang menyeret banyak sekali ayat yang “netral” ke pengertian yang menguntungkan Ahlilbait versi mereka dan sangat merugikan tokoh-tokoh yang mereka anggap lawan mereka. Kedua, penafsiran yang semata-mata mengandalkan petunjuk dari bahasa Arab.

Rasyid Ridha menyimpulkan, dari kutipan di atas, antara lain bahwa Ibn Taimiah tidak menghukumi keabsahan mutlak penuturan para sahabat. Yang dikatakannya hanya, “hati kita lebih tenang menerima penuturan mereka dibanding menerima yang dinukil dari tabiin.” Dan ini membatalkan pendapat orang yang memutlakkan hukum bahwa semua yang dinukil dari sahabat mempunyai hukum hadis marfu’ (yang sampai kepada Nab).

Padahal sudah diketahui bahwa sebagian ulama sahabat membawa riwayat dari ahli kitab. Sampai-sampai juga dari Ka’b Al Ahbar, yang oleh Muawiah, seperti diriwayatkan oleh Bukhari, dinilai bersangkut paut dengan dusta. Di antara para sahabat itu adalah Abu Harairah dan Ibn Abbas, r.a. Bahkan ada sahabat yang meriwayatkan dari tabiin yang mengambil sumber dari ahli kitab.

Rasyid Ridha tidak menjelaskan mengapa para mufassir klasik gemar sekali mengangkut kisah-kisah para ahli kitab. Tak lain karena Qur’an sebenarnya kitab yang ringkas. Ayatnya yang berjumlah 6.236 sebagian nya merupakan pengulangan, meski bukan mengulangan lafal. Diwahyukan dalam bahasa puitis yang kuat, penuh tenaga, dan musikal, kitab suci ini dimaksudkan sebagai petunjuk, peringatan, pembeda (antara yang hak dan yang batil). Ia juga pemberi pelajaran (‘ibrah) lewat penuturan kejadian, tapi ia tidak dimaksudkan sebagai kitab sejarah.

Pengulangan itu dilakukan sehubungan dengan penekanan segi tertentu dari kejadian, atau sesuai dengan konteks, dan terutama konteks puisi, yang menyebabkan satu bagian Qur’an tidak sama dengan bagian lain. Ini yang menjadikan Qur’an sebuah kitab tercinta, yang enak dilagukan dan dihafal. Jutaan orang hidup dan mati dengan menghafal penuh kitab ini, jutaan orang menyanyikannya, secara tidak ada yang menyamainya sehubungan dengan kitab mana pun dalam sejarah kemanusiaan.

Karena ini pemberi ibrah, dan karena ia tidak harus memberikan detail kejadian. Berlainan dengan Bibel, yang berpotensi menjadi buku sejarah Israel, dan mengawali penuturannya dengan kejadian alam semesta, dan dengan segera berhadapan dengan penemuan-penemuan biologi, Quran bahkan tidak memberikan nama-nama. Tidak ada nama Zulaiha, wanita yang menggoda Yusuf. Tidak ada nama suaminya, yang konon sebenarnya Polifor. Bahkan tidak ada nama Hawa, yang menjadikan sebagian orang (filsosof Muhammad lqbal, misaInya) berpikir bahwa sebenarnya ayat-ayat tentang Adam dalam Qur’an, berlainan dengan pemahaman Perjanjian Lama, tidak dimaksudkan sebagai cerita tentang awal manusia, melainkan sebuah pengajaran moral. Yakni tentang kekhalifahan manusia di bumi, tentang tiadanya dosa asal (pengampunan Adam), dan tentang awal taklif, pembebanan moral atas manusia, sesuai dengan tahap evolusi kejadiannya.

Nah, karena Al-Qur’an begitu ringkas, mereka yang ingin menafsirkannya dengan pendekatan buku sejarah kemudian berusaha mencari kelengkapannya. Dan didapatilah kisah-kisah model Yahudi. Penggunaan bahan ini sebagai sumber memang bisa didukung oleh pengakuan Qur’an sebagai pembenar kitab terdahulu.

Dengan melonggarkan pengertian pembenar itu, yang mestinya adalah pembenar di dalam prinsip (bahwa dalam prinsip kitab-kitab itu, yang dulunya berasal dari wahyu, diakui adanya), nasihat Nabi untuk tidak membenarkan maupun menyalahkan berita dari ahli kitab itu tidak mereka tafsirkan sebagai larangan untuk memuat. Bukankah larangan itu memang tidak ada? Dan bukankah yang menuturkannya, sepanjang mengenai Ka’bul Ahbar atau Wahb Ibn Munabbih, tokoh-tokoh yang resminya sudah masuk Islam? Maka, banyaklah kitab tafsir yang dipenuhi kisah yang aneh.

Adapun yang ingin dikatakan Rasyid Ridha, dengan segala pemaparan yang sudah disebut, adalah, seperti dituliskannya, kebanyakan yang diriwayatkan dalam sebagian besar tafsir malsar sebenarnya merupakan penghalang dari Al-Qur’an yang sekaligus menyibukkan para pembacanya dari tujuan-tujuan Qur’an yang luhur, dengan banyaknya dimuat kisah-kisah yang tidak punya harga dari segi sanad (mata rantai periwayatan) maupun topik.

“Maka kebutuhan terasa mendesak kepada tafsir yang mengarahkan pertolongannya yang pertama ke arah petunjuk Quran, bersesuaian dengan tujuannya sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira, bimbingan, dan kemaslahatan, dengan mengoyak berbagai syubhat dari mereka yang tenggelam dalam filsafat”, dan seterusnya.

Dan itulah tafsir yang ditulis Rasyid Ridha, yang kemudian dikenal dengan nama majalah yang didirikannya dan yang mula-mula memuatnya secara bersambung. Yakni Al-Manar. Hanya saja, sebuah karya yang paling lurus belum tentu yang paling kaya. Sebagai wakil sebuah gerakan, juga gerakan kebangkitan, yang lebih dipentingkan biasanya tujuan, dan bukan khazanah.

Penulis: Syu’bah Asa. Sumber: Panji Masyarakat, 21 April 1997

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda